Konferensi Islam Asia Afrika I

From Ensiklopedia

Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) I diselenggarakan pada 6-14 Maret 1965 di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi ini merupakan upaya menyatukan umat Islam di seluruh wilayah Asia dan Afrika dalam melenyapkan penindasan praktik penjajahan yang dilakukan oleh Barat.

Sebelum konferensi ini dimulai, ada beberapa konferensi sebelumnya; dan semua berawal dari Konferensi Asia Afrika yang berlangsung 18-24 April 1955. Konferensi itu dinilai oleh dunia internasional berhasil membentuk kekuatan baru yang disebut sebagai gerakan non-blok, menjadi alternatif di tengah Perang Dingin yang terjadi antara Amerika dan sekutu dengan Uni Soviet. Beberapa negara, termasuk Indonesia, kemudian mengupayakan konferensi sejenis dengan nama KIAA. Namun, sebelum KIAA berlangsung, ada beberapa pertemuan awal dalam merumuskan KIAA, seperti Konferensi Pendahuluan yang diselenggarakan pada 6-14 Juni 1964 di Markas Besar Ganefo Senayan, Jakarta. Dalam Konferensi Pendahuluan ini, setidaknya ada delapan negara yang hadir saat itu, yakni Indonesia sendiri sebagai negara penyelenggara, Irak, Nigeria, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Thailand, dan Republik Persatuan Arab.

KIAA sendiri dihadiri paling tidak oleh 37 negara (Sudewo 1989: 46). Beberapa negara yang mempersiapkan KIAA seperti Republik Persatuan Arab, Pakistan, dan Nigeria datang lebih awal, yakni pada 25 Februari 1965. Mereka bertindak sebagai panitia penanggungjawab. Lalu pada 26 Februari 1965, berlangsung rapat presidium panitia penyelenggara konferensi untuk menetapkan tata tertib konferensi, daftar negara peserta dan peninjau konferensi, serta rangkaian acara konferensi (Warta Bhakti, 27 Februari 1965, tahun LV hlm. 2).

Hari pertama KIAA, 6 Maret 1965, Presiden Sukarno membuka konferensi di ruang sidang Gedung Merdeka Bandung. Setelah itu, ada beberapa rangkaian acara seremonial seperti pembacaan Qur’an dan doa sampai akhirnya ketua panitia KIAA, Idham Chalid, menyampaikan pidatonya. Dalam pidatonya, Idham Chalid menekankan pentingnya persatuan di kalangan negara-negara Asia dan Afrika dalam melawan praktik imperialisme:


... bahwa rakyat Asia Afrika masih tetap menghadapi imperialisme. Tentang alismaalisme harus secepat mungkin kita selesaikan di muka bumi Asia Afrika chususnja dan umumnja di dunia, … Itulah sebabnja kita harus memperkuat persatuan dan solidaritas demi mewujudkan dunia baru jang diinginkan melalui Konperensi Islam Asia Afrika I ini.” (AAIO Secretariat, 1965, Dokumen, h. 5-11).


Pada hari kedua, 7 Maret 1965, sidang pleno pertama berlangsung dimulai sejak pukul 09.00 WIB. Sidang Pleno pertama ini dipimpin oleh Hamid Ahmad Khan dari Pakistan. Acara pleno ini kemudian dilanjutkan dengan memilih pimpinan konferensi. Delegasi dari Irak, H. M. Gailani mengusulkan Indonesia sebagai pimpinan (Duta Masyarakat, 9 Maret 1965). Usulan ini pun diterima oleh delegasi negara-negara lain. Sebagai tambahan, delegasi Thailand juga mengusulkan agar Nigeria menjadi bagian dari pimpinan KIAA, lantaran negara tersebut berperan penting dalam mempersiapkan keberlangsungan konferensi ini (Harian Rakyat,  8 Maret, 1965). Akhirnya, susunan kepanitiaan konferensi terbentuk dengan Ketuanya adalah Idham Chalid (Indonesia). Adapun wakil-wakil ketua adalah Habullah (Republik Persatuan Arab), Alhaji Y. K. Apeba Yakub (Nigeria), Hamid Ahmad Khan (Pakistan), Azis B. Mohammad (Saudi Arabia). Sementara itu bertindak sebagai sekretaris jenderal adalah Ahmad Sjaichu (Indonesia).

Pada hari ketiga, 8 Maret 1965, selain melanjutkan kegiatan pleno di hari sebelumnya, ada ketidaksetujuan dari beberapa anggota tentang diundangnya Uni Soviet dalam kegiatan KIAA I ini. Tanggapan ini misalnya disampaikan oleh delegasi Pakistan dan Republik Rakyat Cina. Namun, setelah menjelaskan bahwa beberapa bagian wilayah Uni Soviet juga merupakan bagian dari Asia dan Afrika, maka persoalan ini pun dianggap selesai. Beberapa peserta juga mempermasalahkan kenapa Saudi Arabia tidak hadir dalam konferensi yang penting ini (Duta Masyarakat, 11 Maret 1965).

Sementara itu,  hari keempat, 9 Maret 1965, menjadi salah satu tonggak penting bagi pengakuan Indonesia di dunia internasional. Sebab, para delegasi-delegasi yang hadir saat itu menobatkan Presiden Sukarno sebagai Pahlawan Islam dan Kemerdekaan atau Champion of Islam and Freedom (Harian Rakyat, 10 Maret 1965). Selain itu, setelah melalui beberapa sidang, terbentuk komisi-komisi yang membahas persoalan penting di Asia Afrika, yakni 1) organisasi; 2) perjuangan dan kemerdekaan; 3) perdamaian dan kesejahteraan; 4) pendidikan dan kebudayaan; 5) ekonomi dan pembangunan; 6) perlindungan terhadap golongan minoritas Islam; 7) gerakan wanita Islam; 8) penerjemah hasil komisi 1-7 (Sudewo 1989: 50-51).

Sidang paripurna digelar pada hari kedelapan, 13 Maret 1965, dan menghasilkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Konferensi Islam Asia Afrika (Antara, 14 Maret 1965). Deklarasi tersebut dibacakan oleh Supeni Natakusumah dari Indonesia. Selain itu, di hari itu juga diberikan kesempatan kepada delegasi dari Uni Soviet untuk menyampaikan pandangan umumnya. Mufti Zijauddin Baba Khan sebagai delegasinya saat itu menyampaikan pandangannya dengan bahasa Arab yang fasih:


“… Konperensi Islam Asia Afrika I ini merupakan dorongan jang kuat untuk memperhebat perlawanan terhadap neo-kolonialisme dan sekaligus merupakan alat pemersatu Asia Afrika. Saja bangga atas usaha Indonesia melaksanakan konperensi dan semoga presiden Sukarno senantiasa dilimpahkan taufik dan hidajah.” (Antara, 15 Maret 1965).


Setelah delegasi Soviet memberikan pandangan, acara ditutup oleh ketua konferensi dengan membaca Al-Fatihah dan pengetukan palu sebanyak tiga kali. Lalu pada 12.45 WIB, Ahmad Sjaichu mengadakan juma pers dan mengatakan bahwa KIAA telah selesai dengan sukses (Duta Masyarakat, 16 Maret 1965). Acara seremonial penutupan kemudian dilaksanakan pada 14 Maret 1965 di stadio utama Gelorang Bung Karno Senayan Jakarta.

KIAA I merupakan peristiwa penting yang menunjukkan bahwa Indonesia berusaha menghapuskan penjajahan. Fokus umumnya pada negara-negara berpenduduk mayoritas Islam – meski ada juga yang tidak – di benua Asia Afrika. Pemerintah Indonesia saat itu telah mengajak umat Islam Indonesia untuk meluaskan wawasannya membina kekuatan di benua Asia dan Afrika. Terlihat juga usaha politik luar neger Indonesia saat itu yang menampakkan diri sebagai negara non-blok, berpolitik bebas aktif, tidak saja berhubungan dengan negara-negara komunis, tetapi juga mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam.

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

AAIO Secretariat. 1965. Main Documents of the Africa Asia Islamic Conference, Held at Bandung From 6 to 14 March 1965.

Antara, Minggu, 14 Maret 1965, no. 72/A-B, 5

Antara, Senin, 15 Maret 1965, no. 73/A, 47

Duta Masyarakat, Kamis, 11 Maret 1965, tahun XII, 1

Duta Masyarakat, Selasa, 16 Maret 1965, tahun XII, 1

Harian Rakyat, Rabu, 10 Maret 1965, Tahun XV, 1

Warta Bhakti, 27 Februari 1965, tahun LV hlm. 2

Sudewo, Pudjiastuti. 1989. Konferensi Islam Asia Afrika I. Skripsi Universitas Indonesia tidak dipublikasikan, 1989.