Idham Chalid
Idham Chalid adalah politisi terkemuka Nahdlatul Ulama pada masa pemerintahan Sukarno. Ia lahir di Setui, (dekat wilayah Kotabaru–bagian tenggara Kalimantan) Kalimantan Selatan, titimangsa 27 Agustus 1922. Ayahnya adalah orang Amuntai dan ibunya orang Setui, dan inilah yang menjadi alasan mengapa Idham lahir di Setui. Ayahnya bernama H. Muhammad Chalid, seorang penghulu (pemuka agama yang berwenang untuk mengawinkan orang). Ia memiliki empat saudara kandung dalam keluarga, dua laki-laki dan dua adik perempuan (Chalid, 1966: 133). Saat berumur sekitar enam tahun, Idham dan keluarganya pindah ke kampung halaman ayahnya di Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Di Amuntai, keluarga ini tinggal di daerah Tangga Ulin dimana sanak familinya telah tinggal secara turun-temurun. Menurut cerita, kepindahan ini didahului oleh suatu kejadian dimana Idham dan orang tuanya diserang oleh sekelompok orang. Walaupun mereka selamat, tak pelak kejadian itu menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman, sehingga orang tua Idham memutuskan untuk meninggalkan daerah tersebut (Muhajir, 2007: 18).
Di Amuntai Idham menghabiskan masa kecilnya. Ia adalah seorang anak yang cerdas dan berbakat. Idham langsung ditempatkan di kelas II ketika mendaftar masuk ke Sekolah Rakyat (SR) Amuntai. Selain itu, kemampuannya berpidato sudah mulai kelihatan sejak Idham bersekolah di SR. Teman akrabnya sejak kecil, H. Napiah, bercerita bahwa dengan penuh percaya diri Idham berpidato di depan teman-teman sekolahnya pada 31 Agustus 1934. Berarti usia Idham saat itu baru sekitar 12 tahun. Pidato buatan gurunya tersebut disampaikan dengan lantang tanpa teks. Hari itu merupakan hari yang tak terlupakan, dan sejak itulah Idham semakin sering berpidato di depan khalayak ramai dan berproses menjadi seorang pembicara yang ulung. Kelak kemampuan berpidatonya diakui secara luas baik di Amuntai maupun di kancah Nasional, baik sebagai penceramah, juru kampanye ataupun pengajar. Dan tak tanggung-tanggung, dai kondang selevel Zainuddin MZ dan Syukron Makmun pun pernah berguru padanya. Kemampuannya ini pula -yang dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati, yang menjadi modal bagi perjalanannya di dunia politik. Pada tahun 1935, ia menamatkan pendidikan dasarnya (Muhajir, 2007: 19-20).
Idham kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah al Rasyidiyyah (dulunya bernama Arabisch School), sebuah lembaga pendidikan agama Islam. Didirikan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid pada tahun 1922. Beliau merupakan lulusan universitas Al-Azhar yang saat itu terkenal sebagai pusat studi agama Islam. Lembaga ini awalnya hanya pengajian yang dilangsungkan di rumah dengan sistem halaqah (para santri duduk di sekeliling guru sambil mengikuti pelajaran). Bertambahnya jumlah santri menyebabkan tempat pengajian dipindah ke surau (musala). Tetapi, yang cukup menarik dan terbilang maju saat itu adalah penggunaan perlengkapan belajar seperti meja, kursi dan papan tulis. Meningkatnya animo masyarakat membuat sang guru membangun gedung dan dinamainya Arabische School (sekolah Arab) (Hidayatullah, 2016: 12). Titimangsa 22 Agustus 1931 kepemimpinan sekolah ini diserahkan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid kepada H. Juhri Sulaiman, karena dia akan pergi ke Kandangan (HSS) untuk mendirikan perguruan Islam di sana. Pada saat itulah sekolah ini diganti namanya menjadi Madrasatur Rasyidiyyah dengan pengertian bahwa perguruan Islam ini adalah warisan sekaligus cita-cita Tuan Guru Abdurrasyid yang harus terus diperjuangkan (Panitia Pelaksana, 1972: 23-32).
Sekolah ini merupakan alternatif bagi sekolah yang didirikan Belanda. Selain faktor ke-pribumi-annya, sekolah ini mendapat respon positif karena latar belakang keagamaan masyarakat Amuntai yang mempengaruhi pilihan pendidikan bagi putra-putri mereka.
Tahun 1938, Idham dikirim bersama beberapa orang temannya melanjutkan pendidikannya ke Pondok Modern (PM) Gontor Ponorogo dalam “misi studi” almamaternya. Selama lima tahun menimba ilmu di sana Idham menyelesaikan pendidikannya. Tiga tahun di Kulliyah al Mu’allimin al Islamiyah (pendidikan guru agama Islam) dan sisanya di tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw. (Panitia Pelaksana, 1972: 133). Hal ini kembali menunjukkan kecerdasannya karena lazimnya hingga tingkat tersebut seorang santri harus menghabiskan waktu 7 hingga 8 tahun. Tahun 1943 Idham meneruskan pendidikannya ke Jakarta dan setahun kemudian menjadi guru di Gontor, sekaligus menjabat wakil direktur di sana (Chalid, 1966: 133). Di Gontor kesadaran berorganisasi Idham semakin meningkat dan menemukan salurannya dalam gerakan kepanduan. Kelak, ketika Idham menjadi kepala pesantren di Amuntai, gerakan kepanduan menjadi organisasi penting dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan bagi murid-muridnya. Gerakan kepanduan yang dikembangkannya juga mengandung nuansa keislaman yang sangat kental sehingga melengkapi kesadaran kebangsaan yang ingin ditularkannya (Martimbang, 2003: 57-8).
Pada tahun 1945 Idham kembali ke Kalimantan Selatan dan tak berapa lama kemudian diminta menjadi kepala di sekolahnya dulu, Madrasatur Rasyidiyyah. Sekolah tersebut mengalami kekosongan pimpinan dalam rentang waktu hampir satu tahun, sejak 1944, terkait dengan semakin ketatnya pengawasan dari pihak Jepang (Muhajir, 2007: 26). Idham yang telah mendapat pengetahuan dan pengalaman di tanah rantau kembali dengan membawa semangat perubahan ke dalam almamaternya. Oleh Idham, nama sekolah diubah menjadi Normal Islam Amuntai. Normal berasal dari bahasa Belanda Noormaal yang berarti sekolah lanjutan. Nama ini nampaknya merujuk kepada sekolah “Normal Islam” Padang (Sumatera Utara) yang merupakan almamater sebagian besar guru yang mengajar Idham di Gontor. Perubahan nama ini seiring dengan perubahan sistem pengajaran dan pendidikan yang disesuaikan dengan yang diikuti Idham di PM Gontor. Sistem pengajaran ini sudah mendapat fondasi, karena pimpinan sekolah sebelum Idham telah mengenalkannya. Kepala sekolah tersebut adalah H. M. Arif Lubis yang merupakan lulusan Normal Islam Padang dan pernah mengajar di Gontor (Panitia Pelaksana, 1974: 34-35).
Kecenderungan aktivisnya dan kemampuannya mengorganisir terlihat ketika Idham bersama teman-temannya membangun jaringan pesantren yang dinamai Ittihad al Ma’ahid al Islamiyyah (IMI) atau Ikatan Sekolah-sekolah Islam. Jaringan pesantren ini dibangun pada saat kekuasaan Jepang di Hindia Belanda hampir lumpuh. Idham melihat bahwa saat itu sangat tepat bagi perguruan-perguruan yang masih tersisa untuk bangkit kembali. Maka didirikanlah IMI dengan tujuan mempersatukan dan membangun kerja sama di antara perguruan-perguruan Islam. Ada tujuh perguruan yang saat itu bergabung dalam IMI, yaitu Normal Islam–Pekapuran, Amuntai; Al Fatah–Paliwara Hilir; Zakhratun Nisaa–Paliwara Hulu; Al Hidayah- Sungai Durian; At Tadlhiyyah–Pekapuran; Al Fajar–Paringin; As Sullamun Najah–Telaga Selaba; dan Asy Syafi’iyyah–Lok Bangkai. Mereka menyadari hanya dengan bekerja sama maka umat Islam dapat maju ke depan dan terus menyebarkan ajaran Islam dan pengetahuan umum. Idham Chalid pun diangkat menjadi Ketua Umumnya dan Normal Islam sebagai pusat segala kegiatan (Chalid, 1966: 114).
Setahun kemudian Idham bergabung di Serikat Muslimin Indonesia (Sermi) dan duduk sebagai Anggota Pengurus Besar dan Komisaris Daerah Hulu Sungai Utara dan Selatan. Sermi juga merupakan organisasi politik dari kalangan masyarakat muslim setempat dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia sesuai cita-cita proklamasi. Penduduk Kalimantan bagian Selatan mayoritas beragama Islam sehingga Sermi mendapat sambutan yang luas. Didirikan di Banjarmasin tahun 1946 dengan pimpinan seorang ulama bernama H. Abdurrahman Siddik. Sebagai organisasi pergerakan Sermi secara diam-diam membentuk Laskar Saifullah yang tugasnya menyambut kiriman senjata dari Pulau Jawa. Senjata-senjata tersebut kemudian digunakan untuk melawan Belanda.
Idham bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK) pada 1947, sebuah organisasi bawah tanah yang melakukan perang gerilya melawan Belanda. Pemimpinnya adalah seorang yang pernah berguru padanya, Brig. Jen Hassan Basry. Hassan Basry sebelumnya adalah pemimpin Laskar Saifullah. Mulai bergerilya sejak akhir September 1946 ketika banyak pimpinan Laskar tersebut ditangkap Belanda. Ia berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di hutan sambil menyusun kekuatan. Baik Hassan Basry maupun Idham pernah “nyantri” di Pondok Modern Gontor-Ponorogo dan besar kemungkinan bertemu di sana sebagai guru dan murid (Mandan, 2008: 85).
Organisasi ini kemudian dilebur menjadi ALRI divisi IV. Di sini Idham menjadi Penasehat Staf Umum. Keterlibatannya di SOPIK menyebabkan dia ditangkap dan ditahan tentara NICA titimangsa 27 Maret 1949 dengan tuduhan menjadi penasihat, pelatih, dan mendalangi gerilya. Tuduhan tersebut didasarkan pada fakta bahwa pimpinan gerilya adalah Hassan Basry yang pernah jadi muridnya ditambah sebuah fakta lain. Yaitu, ditemukannya selembar foto oleh tentara NICA ketika menggerebek sebuah studio photo Banjarmasin. Photo tersebut memuat Idham Chalid bersama J. Hamdi dan Chairul Lima dengan seragam masing-masing sebagai pelatih, ketua dan penulis Kwartir Cabang Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI) di Amuntai. Sekaligus ketiga orang itu juga dituduh sebagai onderbouw gerakan bawah tanah Gerpindom. Di tahun 1948 Idham bersama Hassan Basry dan anggota ALRI divisi IV mendirikan Fonds Nasional Indonesia Kalimantan (Fonik) di Banjarmasin.
Pada tahun yang sama pula Idham dicalonkan oleh Badan Koordinasi Partai-partai Republiken (SKI, Sermi, Gappika) sebagai Anggota Dewan Daerah Banjar untuk daerah pemilihan Amuntai Utara. Pemilihan ini diadakan Belanda dalam rangka plebisit untuk mendirikan Negara Kalimantan. Negara Kalimantan akhirnya gagal didirikan Belanda karena calon-calon yang didukungnya kalah dalam plebisit tersebut. Pada bulan Maret 1950, Idham diangkat menjadi Anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), mengganti anggota-anggota yang semula dipilih oleh Dewan Daerah Banjar, tetapi dibatalkan. Kemudian ia menjadi anggota Parlemen Sementara Negara Kesatuan sampai tahun 1955 mewakili Kalimantan.
Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara (DPRS) 1950 sebagai wakil Masyumi (Van Bruinessen, 1994: 231). Tatkala NU memisahkan diri dari Masyumi, Idham memilih terlibat di NU dan aktif dalam melakukan konsolidasi ke dalam, antara lain dengan menjadi anggota Majelis Pertimbangan Politik PBNU yang pada garis besarnya bertugas mengikuti perkembangan politik di tanah air, membuat analisa dan menyimpulkannya untuk diserahkan kepada PBNU, sebagai suatu saran atau usul. Majelis ini dibentuk pada 2-3 September 1951 (Zuhri, 1987: 397).
Pada awal 1950-an Idham sering menemani Wahab Chasbullah, Rais ‘Aam PBNU yang sangat besar pengaruhnya dalam berpisahnya NU dari Masyumi, mengikuti ‘safari’ rutin ke cabang-cabang NU. Wahab inilah juga yang memiliki peranan penting dalam karir Idham di NU. Dengan kelihaian Wahab, namun penuh kehati-hatian serta faktor insting politik yang tajam membuat Idham mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingannya, dengan belajar banyak mengenai teknik berorganisasi, berdebat dan berpidato, sambil juga membangun jaringan dukungan sendiri dalam partai (Fealy, 2003: 26). Kedekatan dengan Wahab inilah yang antara lain membuatnya bertahan lama sebagai Ketua Umum.
Idham Chalid memulai kariernya di Jakarta dengan aktif di gerakan Pemuda Ansor, kemudian sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi yang berafiliasi kepada NU dengan konsentrasi pada penanganan masalah pendidikan, pada tahun 1952. Pada tahun yang sama ia diangkat PBNU menjadi Sekretaris Jenderal partai dan dua tahun kemudian, terpilih sebagai Wakil Ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955 ia memegang jabatan penting sebagai Ketua Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (Lapunu) (Zuhri, 1987: 432). Pemilu 1955 adalah ujian pertama bagi NU yang pada tahun 1952 keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Walaupun pemilu tersebut juga yang pertama kali dihadapi semua partai peserta, akan tetapi partai-partai lain, khususnya partai-partai besar mempunyai lebih cukup waktu dan kesempatan menanamkan pengaruh politik kepada rakyat. Akan halnya NU, partai ini hanya memiliki waktu yang singkat: tiga tahun. Dengan demikian Ketua Lapunu memiliki tugas penting bagi partai di kancah politik selanjutnya. Dan terpilihnya Idham menjadi anggota DPR pada Pemilu 1955 dengan tiket NU adalah konsekuensi logis belaka (Kanumoyoso, 1996).
Dengan peningkatan jumlah kursi di Parlemen, pengaruh NU menjadi semakin besar dalam pembentukan Kabinet. Sewaktu masih bergabung dengan Masyumi, NU hanya berharap mendapat jatah Menteri Agama dan kadang harus bersaing dengan golongan muslim Modernis untuk posisi tersebut. Pada 1956 lima Menteri menjadi jatah NU dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II, termasuk Wakil Perdana Menteri yang diserahkan pada Idham. Fealy menilai naiknya Idham Chalid ke jabatan Wakil Perdana Menteri merupakan hal yang luar biasa. Dengan usianya yang baru 35 tahun dan tanpa pengalaman sebagai menteri, pengangkatannya mencerminkan bahwa NU tidak hanya menaruh harapan besar terhadap perkembangan karir Idham, tetapi juga tidak mempunyai calon lain yang layak. Idham menyatakan bahwa pada awalnya ia enggan untuk menerima jabatan itu dan mengusulkan Dachlan sebagai penggantinya. Namun ia dibujuk Ali Sastroamijoyo untuk menerima penunjukan itu (Fealy, 2003: 225).
Pada Muktamar NU ke-21 yang diselenggarakan di Ibukota Sumatera Utara, Medan, di bulan Desember tahun 1956 Idham terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Ia dengan telak mengungguli Mohammad Dachlan yang telah memegang jabatan tersebut sejak April 1953. Pesatnya perkembangan karirnya sangat mengagumkan mengingat bahwa, berbeda dengan para pengurus PBNU lainnya, ia bukan orang Jawa dan merupakan lulusan Pesantren Modern Gontor di Ponorogo, lembaga yang tidak punya kaitan dengan NU dan oleh banyak ulama banyak dipandang sebagai tulang punggung modernisme Islam. Jabatan ini terus dipertahankannya hingga diminta mundur pada tahun 1982 oleh para kiai (Barton, 2002: 150-161). Secara keseluruhan, Idham Chalid memimpin NU selama delapan periode dalam waktu hampir tiga dekade.
Tahun 1956 hingga 1957 adalah tahun yang penuh dengan pergolakan politik di negara ini. Pertikaian partai-partai di parlemen dan kabinet, perdebatan di konstituante, pergolakan di beberapa daerah yang melibatkan pimpinan-pimpinan militer dan akhirnya manuver-manuver politik Sukarno yang hendak mendirikan Demokrasi Terpimpin. Harapan besar masyarakat terhadap wakil-wakilnya di parlemen dan pemerintahan hanya menjadi angan-angan kosong. Kabinet hasil Pemilu pun tak bertahan lama sampai ketika Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya pada Presiden 14 Maret 1957. Dalam pembentukan Kabinet selanjutnya, Idham Chalid terpilih kembali sebagai wakil NU pada Kabinet pimpinan Djuanda sebagai Wakil Perdana Menteri. Jabatan ini dipegangnya sampai terjadi momen yang merubah secara total konfigurasi politik dan arah pembangunan demokrasi politik di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada bulan Juli 1959. Dekrit 1959 seringkali dipatok sebagai titik dimulainya masa Demokrasi Terpimpin.
Sebulan sesudah Sukarno mengumumkan Dekrit, pada bulan Agustus, Idham diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Badan ini berfungsi memberikan pertimbangan kepada presiden dan pemerintah, dan pada saat itu nampak lebih berpengaruh dari pada parlemen. Oleh Bruinessen pengangkatan Idham menjadi anggota DPAS ini adalah karena kedekatannya dengan Sukarno, sebagaimana mayoritas tokoh-tokoh NU lainnya. Idham bahkan menjadi pembela blak-blakan dari manifesto ideologis nasionalistik populis Sukarno, Manipol Usdek. Pada 1964, Idham dan Saifuddin Zuhri, Menteri Agama, mendirikan sebuah Yayasan (Jajasan Api Islam) yang fungsi utamanya nampaknya adalah mempropagandakan gagasan-gagasan Sukarnois di kalangan Muslim Tradisional (Martin, 1994: 75).
Selanjutnya di tahun 1960, Idham menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang antara lain tugasnya membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam sejarahnya, penyusunan GBHN ini didasarkan pada pidato-pidato Presiden Sukarno, yaitu pidato pada 17 Agustus 1959 atau yang biasa disebut Manifesto Politik, pidato di depan Dewan Perancang Nasional pada 28 Agustus 1959, pidato 17 Agustus 1960 dan pidato di depan Sidang Umum PBB pada 30 September 1960. MPRS setelah membahas keempat pidato tersebut kemudian memperkuatnya dan meresmikannya menjadi GBHN. Hal ini antara lain karena belum ada preseden tentang bagaimana pembentukan GBHN dan dari mana saja bahan-bahannya dicari. Perlu dicatat bahwa MPRS tidak mempunyai staf ahli yang dapat dimintai bantuannya (Chalid, 1966: 135).
Para anggota MPRS yang berjumlah lebih dari 500 orang itu, pada waktu itu merupakan suatu jumlah yang besar karena belum pernah ada lembaga negara yang sedemikian besar jumlah anggotanya. Berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan sebagian besar dari mereka belum pernah menangani masalah-masalah politik kenegaraan. Rupa-rupanya bagi keanggotan MPRS yang pertama ini yang diutamakan adalah pencerminan masyarakat dari pada kemampuan atau keterampilan di bidang politik kenegaraan. Selain itu, suasana politik pada waktu itu didominasi oleh Presiden Sukarno yang dipuji-puji dan diagung-agungkan karena dekritnya tanggal 5 Juli 1959 telah berhasil menyelamatkan negara Pancasila dari jurang kehancuran. Posisi Wakil Perdana Menteri Kedua kembali dijabat Idham pada tahun 1966 dalam jajaran Kabinet Dwikora hasil reshuffle, walaupun dalam jangka waktu yang sangat pendek- hanya empat bulan. Jabatan ini pula yang terakhir didudukinya di masa Orde Lama.
Walaupun Idham mempunyai hubungan dekat dengan “Orde Lama”, dia tetap dianggap penting oleh pemerintah Orde Baru hingga dua kali menjabat dalam Kabinet. Pada kabinet Orde Baru yang pertama Idham diangkat menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam kurun waktu 1967 hingga 1970. Kemudian dia menduduki posisi Menteri Sosial di tahun 1970 sampai 1971 (Van Bruinessen, 1994: 291).
Pemilu pertama di masa Orde Baru dilangsungkan pada tahun 1971. Pemilu ini merupakan yang kedua sekaligus yang terakhir bagi partai Nahdlatul Ulama karena Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan penyederhanaan partai yang lebih ekstrim dari yang dilakukan Sukarno. Kebijakan tersebut ditempuh melalui fusi atau penggabungan beberapa partai yang memiliki kedekatan atau kesamaan ideologi. Hal ini dilakukan oleh Orde Baru sebagai bagian dari programnya menata kehidupan berpolitik. Demikianlah, NU akhirnya bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan di tahun 1973 (Van Bruinessen, 1994: 101).
Hal ini tentu saja merugikan Nahdlatul Ulama karena perolehan suara yang didapatnya di Pemilu 1971 tidak melorot, melainkan naik 0,2 persen. Jika pada 1955 NU meraih 18,4%, maka pada Pemilu ini NU mendapatkan 18,6% atau 10,2 juta lebih suara dari total pemilih 54.696.887. Penggabungan menjadi PPP muncul sebagai kenyataan yang harus diterima bagi kebanyakan politisi NU; Idham Chalid dan kawan-kawan terdekat langsung menerima campur tangan yang sangat jauh ini tanpa terlebih dulu bermusyawarah dengan anggota PBNU lainnya. Dapat dimengerti, hal ini menyebabkan munculnya ketidakpuasan di lingkungan NU, tetapi semua tampaknya setuju untuk berbuat yang terbaik dalam kondisi baru ini daripada menentang secara aktif. Idham Chalid diberi kedudukan bergengsi, tetapi tidak sangat berpengaruh, sebagai presiden partai sampai tahun 1989 (Haidar, 1998: 175). Idham dipilih menjadi Ketua DPR dan MPR sesudah Pemilu 1971 dalam masa bakti 1971-1977. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Ketua DPA. Jabatan ini tidak lagi punya pengaruh besar dalam kehidupan bernegara, dan sering dianggap posisi kehormatan bagi para pejabat tinggi atau tokoh politik sebelum dipensiunkan (Van Bruinessen, 2015: 494-495).
Di masa Orde Baru, NU tidak lama jadi partai, karena NU harus dilebur lagi ke dalam satu organisasi besar bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di sini Idham pernah lama jadi presiden partai. Posisi Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU kemudian digantikan oleh oleh Gus Dur tahun 1984 (Feillard, 1999: 371-373; Mujiburrahman, 2021: 30-31). Idham Chalid lalu turun dari gelanggang politik hingga dirinya tutup usia pada 11 Juli 2010, tepat hari ini 9 tahun lalu. Idham dianugerahi gelar Pahlawan Nasional titimangsa 7 November 2011. Idham Chalis pun menjadi satu dari empat urang Banjar yang mendapat gelar itu (Mansyur, Mursalin, Wajidi, 2019: 95-143).
Penulis: Muhammad Iqbal
Referensi:
Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah (Bappelda) Pem. Prov. Kal-Sel. (2003). Sejarah Banjar. Banjarmasin: Pem. Prov Kal-Sel.
Barton, Greg. (2002). Biografi Gusdur. terj. Lie Hua (Yogyakarta: LKiS.
Chalid, Idham. (1966). Mendajung dalam Taufan. Jakarta: Endang-Api Islam.
Fealy, Greg. (2003). Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. terj.: Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtiar. Yogyakarta: LKiS.
Feillard, Andréé. (1999). NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. terj.: Lesmana. Yogyakarta: LKiS.
Haidar, Ali. (1998). Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hidayatullah, Nur. (2016). Pahlawan Nasional Idham Chalid: Dimensi Spiritual Negarawan Agamis. Amuntai: Yayasan Rakha Amuntai.
Kanumoyoso, Bondan. (1996). “Kepemimpinan di dalam NU pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965”. Skripsi. Depok: Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Makmur, Ahdi, et.all. (1999). Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di Kalimantan Selatan (1928-1984). Laporan penelitian. Banjarmasin: IAIN Antasari.
Mandan, Arief Mudatsir. (ed.). (2008). Napak Tilas Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Mansyur, Mursalin, dan Wajidi. (2019). Terima kasih untukmu Pahlawan: Biografi 4 Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran & Dewan Harian Badan Penerus Pembudayaan Kejuangan 45 (DHD 45) Provinsi Kalimantan Selatan.
Martimbang, Eka Dolok. (2003). Profil H. Syafriansyah: Pikiran dan Prilaku Islami. Banjarmasin: Keluarga Besar H. Syariansyah.
Muhajir, Ahmad. (2007). Idham Chalid: Guru Politik Orang NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Mujiburrahman. (2021). Glokalisasi: Islam Banjar, Nusantara dan Dunia. Pati: Maghza Pustaka.
Rahmadi, et.all. (2013). Elite Muslim Banjar di Tingkat Nasional. Banjarmasin: IAIN Antasari Press.
Tim Penulis Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia ‘85/86, (Pusat Data dan Analisa Tempo).
Van Bruinessen, Martin. (1994). NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. terj.: Farid Wajidi .Yogyakarta: LKiS.
______. (2015 [1994]). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Cetakan II. Yogyakarta: Gading Publishing.
Zuhri, Saifuddin. (1987). Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung.
______. (2001). Guruku Orang-orang dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS.