Konferensi Kolombo
Konferensi Kolombo merupakan pertemuan yang diinisiasi Perdana Menteri Ceylon/Sri Lanka, Sir John Kotelawala, dengan mengundang empat pemimpin negara-negara Asia yang baru merdeka ke ibu kota Ceylon. Dalam pertemuan yang dikenal sebagai Kekuatan Kolombo (Colombo Powers), hadir perdana menteri dari Indonesia, Burma/Myanmar, India, dan Pakistan. Awalnya, sebagaimana disarankan Kotelawala, konferensi tersebut dimaksudkan sebagai pertemuan informal, bukan merupakan agenda tetap, dan pada dasarnya hanya dimaksudkan untuk menunjukkan blok negara-negara Asia Tenggara yang baru merdeka dan menjadi kekuatan baru yang efektif dalam urusan internasional (Utama, 2016, p. 19).
Sementara itu, situasi di Asia Tenggara dibayangi oleh krisis di Vietnam. Perang di Vietnam memaksa negara-negara Asia lainnya seperti Indonesia dan India untuk mengusulkan agenda khusus membahas situasi Vietnam di Konferensi Kolombo. Pertemuan tersebut menyambut baik prakarsa Konferensi Jenewa, yang telah diadakan dua hari sebelum konferensi Kolombo, untuk mengambil sikap atas kesulitan di Vietnam (Utama, 2016, p. 19).
Melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 1954, Presiden Sukarno menunjuk Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk mewakili Indonesia dalam Konferensi Kolombo 28 April 1954. Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan pula rombongan delegasi yang mendampingi perdana menteri selama pelaksanaan konferensi. Anggota delegasi yang ditunjuk, diantaranya adalah penasehat Kementerian Luar Negeri Ahmad Soebardjo Djojoadisoerjo, Direktur Biro Perancang Negara Ir. Djuanda, pegawai Kementerian Penerangan Muljadi Notowardojo, pegawai Kementerian Luar Negeri M. Maramis, sekretaris pribadi Perdana Menteri, wartawan Suluh Indonesia Sajuti Melik, wartawan Antara Djawoto, wartawan/wakil PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Abdul Aziz, dan pegawai Kementerian Luar Negeri Ary Subagjo (SK, 1954 p. 1-3).
Konferensi dibuka pada 28 April 1954 dengan John Kotelawala sebagai ketua di Gedung Senat di pusat kota Kolombo. Meskipun tidak ada alasan khusus dalam penyelenggaraan Konferensi Kolombo, konferensi tersebut mampu menarik perhatian internasional karena peristiwa geopolitik saat itu bersamaan dengan dilaksanakannya Konferensi Jenewa (The Geneva Conference) yang dibuka pada tanggal 26 April 1954 di Swiss (Ewing, 2019, p. 7). Dalam pertemuan tersebut, perdana menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo mengusulkan kepada forum untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia-Afrika. Usulan itu mendapat tanggapan beragam. Nehru dan U Nu menolak usulan tersebut dengan alasan bahwa penyelenggaraan konferensi yang dimaksud tampak agresif (Ewing, 2019, p. 12). Namun, berkat usaha delegasi Indonesia meyakinkan segenap peserta konferensi, akhirnya disetujui untuk mengadakan penyelidikan terhadap kemungkinan diselenggarakannya konferensi negara-negara Asia-Afrika. Konferensi kemudian dilanjutkan di Bogor pada tanggal 28-31 Desember 1954 untuk mempersiapkan penyelenggaraannya. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa Panca-negara Kolombo akan mensponsori penyelenggaraan konferensi yang kemudian dikenal dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) (Deppen, 1965, p. 7).
Penulis: Azrohal Hasan
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
(Ed.). 1965. “Konperensi Asia Afrika dan Sedjarahnja”, dalam Mimbar Penerangan Volume 15, Edisi 1-3. Djakarta: Departemen Penerangan.
Cindy Ewing (2019) “The Colombo Powers: Crafting Diplomacy in the Third World and Launching Afro-Asia at Bandung”, dalam Cold War History, Vol 19, No. 1. New York: Routledge Taylor & Francis Group.
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 94 Tahun 1954.
Utama, Wildan Sena (2016) “From Brussels to Bogor: Contacts, Networks and the History of the Bandung Conference 1955”, dalam Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities (JISSH); Vol. 6, Issue 1.