Ahmad Soebardjo
Raden Achmad Soebardjo Djojoardi Soerjo atau Achmad Soebardjo adalah tokoh yang memegang peranan penting pada saat situasi genting menjelang proklamasi Indonesia. Ia termasuk “golongan tua” yang disimbolkan oleh generasi Sukarno-Hatta, termasuk Ahmad Soebardjo, yang berbeda dengan “golongan muda” seperti Wikana, Chaerul Saleh, Sayuti Melik pada masa menjelang proklamasi kemerdekaan. Para pemuda ini kemudian yang “menculik” Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan dan bukan menunggu pemberian dari Jepang. Situasi ketegangan itu, segera mereda setelah Ahmad Soebardjo menjadi “penengah” dengan menjamin dirinya untuk menyegerakan Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Soebardjo adalah orang yang menjembatani dari progresifitas golongan muda serta menjalankan kehati-hatian golongan tua. Kedudukan Ahmad Soebardjo yang menjadi “penengah” yang dapat meredakan ketegangan dua golongan aktivis pergerakan ini, bukan hal yang muncul tiba-tiba. Aktivitas pergerakannya telah teruji sejak ia menjadi mahasiswa. Perluasan pergaulannya membuat ia selalu hadir di dalam fase-fase penting perjalanan bangsa ini, mulai dari menjadi Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK), menjelang proklamasi, revolusi hingga menjadi diplomat.
Achmad Soebardjo berasal dari Teluk Jambe, Jawa Barat, dan lahir tanggal 23 Maret 1896. Ia putra dari seorang pegawai gubernemen Hindia Belanda, yang memberikan kesempatan baginya untuk mengenyam pendidikan di sekolah modern yakni di Hogere Burger School (HBS) yang selesai tahun 1917 di Batavia, lalu melanjutkan pendidikan di bidang hukum di Universitas Leiden hingga lulus dengan gelar Meester in de Rechten (Sarjana hukum). Masa kecil dilalui di Karawang dalam lingkungan Jawa dan Islam yang kuat. Ayahnya seorang keturunan Jawa dan Aceh, sedangkan ibunya berdarah Sunda.
Pembentukan diri pribadi menjadi aktivis pergerakan yang aktif dimulai ketika ia bergabung dengan para tokoh pergerakan lainnya dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging) di Belanda. Bahkan kemudian ia menjadi ketua Indische Vereeniging tahun 1919-1921 (Poeze, 2008). Dalam perkembangan selanjutnya perkumpulan ini kemudian berganti menjadi Perhimpunan Indonesia yang semakin radikal karena lebih banyak mengarah pada kegiatan politik. Pada masa inilah, aktivitas Soebardjo mengikuti berbagai kegiatan yang terhubung dengan kelompok aktivis kiri di berbagai negara di Eropa.
Ia mengikuti berbagai kegiatan dalam rangka menyebarkan kesadaran kemerdekaan bagi siapa saja. Anti imperialisme diejawantahkannya dengan memasuki Liga Anti Imperialisme. Perpaduan kepintaran dan semangat nasionalisme membawanya malang melintang di dunia pergerakan semasa di Eropa selama kurang lebih 15 tahun. Ia mengikuti seminar Hukum Internasional di Peace Palace, Hague sejak tahun 1922 sampai tahun 1923. Lalu mengikuti seminar-seminar pemikiran filsafat baik itu di Jerman dan Austria (Manus dkk., 1991: 54).
Selain hukum dan filsafat, ia menaruh perhatian dalam sastra. Ia sempat tinggal di Perancis untuk mengikuti sejarah dan kesusastraan Prancis. Ia melakukan pula perjalanan yang bertujuan untuk propaganda kemerdekaan Indonesia di ibukota-ibukota Eropa Barat seperti Paris, London, dan Berlin sebagai perwakilan dari Perhimpunan Indonesia. Kegiatan politik ini dilakukan sebagai bagian dari keanggotaan dari PI saat menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Kongres Anti Imperialis di Brussel dan Frankfurt tahun 1927 sampai 1928 (Ibid.). Selain mengikuti pergerakan PI, Achmad Soebardjo juga memiliki gagasan-gagasan pemikiran yang ia tuangkan dalam berbagai tulisan di media-media pergerakan pada masa itu di Belanda. Akibat kegiatannya ini, ia diawasi oleh pihak pemerintah Belanda. Subsidi yang seharusnya diberikan tidak berjalan lancar karena laporan dari intel (Raadsman) yang mengatakan mereka dibiayai oleh gerakan komunis Eropa (Rivai, 2000: 149) maka dari itu, akibat pengurangan subsidi ini, Soebardjo harus mendapatkan tambahan kiriman dana dari keluarga.
Setelah kelulusan, Soebardjo kemudian pulang ke Indonesia. Berdasarkan aktivismenya di PI yang non-kooperasi, ia memilih bekerja swasta menjadi pengacara. Tidak memakan waktu lama, ia pun langsung bergabung dengan perkumpulan Jong Java. Jiwa aktivismenya tidak pernah surut. Di dua pergerakan ini, karakter Soebardjo dapat dinilai. Ia menjadi orang yang paham arti pergaulan dalam negeri dengan menemukan kesadaran nasional, serta memiliki ketenangan dalam menata sikap namun tetap kritis (Matanasi, 2019). Kemampuannya di dalam pergaulan luar negeri inilah, nantinya membuatnya dipilih oleh Sukarno menjadi menteri luar negeri pertama dalam kabinet pertama.
Setelah kembali ke Indonesia, ia menjadi kontributor harian Matahari, pimpinan Iwa KusumaSumantri, di Jepang. Selama menjadi kontributor di Jepang, Soebardjo menjalin jaringan internasional pula yang nantinya berguna bagi kemerdekaan Indonesia. Selama setahun ia di Jepang, Subardjo kemudian kembali ke Indonesia. Pada saat penjajahan Jepang, ia memilih berkolaborasi dengan bekerja di pusat riset di bawah Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Sehingga pada masa pendudukan Jepang ia dipercaya memimpin Asrama Mahasiswa Indonesia yang menjadi markas perjuangan para pemuda. Ia bersama tokoh-tokoh pergerakan lainnya memberikan kursus politik di asrama ini (Anderson, 1988).
Menjelang kemerdekaan, Achmad Soebardjo terpilih menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Sidang BPUPK membahas berbagai macam hal termasuk filosofisch grondslag, dasar negara, serta UUD 1945. Sebagai ahli hukum, ia terpilih dari tokoh pergerakan bersama 17 orang lainnya. Achmad Soebardjo memberi banyak masukan-masukan seperti kepemimpinan negara, bentuk negara,turut menyusun pembukan UUD, serta selalu terpilih menjadi anggota panitia kecil sebagai upaya untuk mempercepat proses-proses sidang jika terjadi kemacetan-kemacetan. Ia termasuk pula ke dalam Panitia Sembilan (yang merumuskan piagam Jakarta), dan juga panitia kecil dalam sidang-sidang ini karena sifatnya yang tenang dan memiliki keluasan pandangan serta basic nya sebagai ahli hukum diperlukan (Daradjadi dan Osa, 2018; Kusuma, 2004).
Titik krusial dari peran Soebardjo pada periode ini adalah saat terjadi penculikan Sukarno dan Hatta oleh golongan pemuda yang terdiri dari Wikani, Chaerul Saleh, Sayuti Melik. Setelah diberitahu Sukarno “menghilang”, dengan kecermatannya dengan sangat hati-hati, ia menghubungi Laksamana Maeda dari Kaigun agar terhindar dari penangkapan Tentara Angkatan Darat (Rikugun) Jepang yang berbeda cara pandang politiknya dengan Kaigun terhadap kemerdekaan Indonesia. Ia kemudian menjadi penjamin dari tuntutan para pemuda itu, karena kedekatan Subardjo dengan kelompok pemuda ini dalam asrama mahasiswa, serta mendapatkan dukungan dari Laksamana Maeda, ia akhirnya dapat meyakinkan semua pihak agar mengembalikan Sukarno Hatta ke Jakarta.
Setelah Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta, mereka segera mempersiapkan langkah memproklamasikan kemerdekaan (Suhartono, 2001) Dalam proses persiapan proklamasi itu, dipilih rumah Laksamana Maeda untuk keamanan para pemimpin pergerakan, dan menghilangkan kecurigaan dari pihak patroli tentara Jepang. Upaya ini sebagai bagian dari strategi yang dipikirkan Subardjo dan diterima semua pihak. Lalu bersama Sukarno dan Hatta mulai menyusun naskah proklamasi. Paragraf pertama dari proklamasi pun berasal dari ide Subardjo. Setelah terjadi beberapa revisi dan perbaikan, naskah itu kemudian diketik rapi oleh Sayuti Melik. Setelah selesai, naskah proklamasi itu kemudian dikumandangkan di rumah Sukarno pada pagi harinya, bersamaan dengan pengibaran bendera sang saka merah putih jahitan Fatmawati (Direktorat Sejarah, 1991; Sudiyo dkk., 1997) .
Sebagai seorang politisi sekaligus negarawan, kiprah Ahmad Soebardjo yang krusial adalah keterlibatannya dalam masa revolusi antara tahun 1945-1946, saat upaya pemerintahan yang baru berdiri ini, terbagi-bagi dalam berbagai pendapat. Terutama bagian dari strategi-strategi untuk menghadapi kembalinya Pemerintah Belanda yang mendompleng Sekutu. Dalam situasi revolusi dimana antar kelompok memiliki perhatian dan kecenderungan sesuai dengan pilihan politiknya inilah, revolusi harus memakan korban, anak kandung revolusi sendiri.
Strategi diplomasi yang diusung oleh Perdana Menteri Syahrir yang ditentang para oposisinya membentuk serangkaian peristiwa sensitif setelahnya. Kecenderungan mengikuti pergerakan progresif dari masa mahasiswa, Soebardjo tidak ragu untuk bergabung dan menjadi penghubung bagi Tan malaka dengan Sukarno dan Hatta. Tan Malaka adalah seorang tokoh pergerakan, pemikir serta pejuang kemerdekaan sepanjang hidupnya sejak periode awal periode pergerakan. Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Thailand pasca pemberontakan PKI 1926-1927 yang gagal dan menyebabkan pergerakan lumpuh karena banyak penangkapan-penangkapan terhadap para aktivis yang menentang Belanda, siapapun itu, ke Boven Digul. PARI tidak dapat masuk ke Hindia Belanda karena dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda lalu ia menjadi buronan Internasional sehingga ia sering berganti nama (Malaka, 2000).
Ahmad Soebardjo dengan keluasan pergaulan sejak masa mahasiswa tersebut mengkomunikasikan para pemimpin pada masa revolusi ini dengan Tan Malaka. Pertemuan Sukarno dan Hatta bersama Tan Malaka difasilitasi di rumahnya. Sukarno menawarkan Tan Malaka bergabung dengan pemerintahan republik namun Tan Malaka menolaknya dengan alasan bahwa ia akan terus berada sebagai pendukung dari pemerintahan Sukarno dan Hatta dengan cara-cara yang seperti saat ini ia lakukan. Lalu Sukarno memberikan mandat, melihat situasi revolusi genting dan selalu berubah, apabila terjadi penangkapan terhadapnya, maka pemerintahan harus dilanjutkan kepada Tan Malaka. Hanya sayangnya, kemudian, pasca dilanggarnya perjanjian Linggarjati, Pemerintahan Sukarno dengan perdana menterinya Syahrir berselisih dengan kelompok Tan Malaka dan pendukungnya, termasuk Ahmad Soebardjo yang mengusung kemerdekaan 100 persen (Poeze, 2008). Saat itu, sebagai seseorang yang bekerja dengan Kaigun, Soebardjo dianggap bekas kolaborator Jepang, dan Soebardjo harus disingkirkan dari kabinet, karena Syahrir ingin memberi kesan kepada sekutu bahwa kemerdekaan Indonesia terbebas dari pengaruh Jepang (Yudotomo, 2021; Poeze, 2008). Keterhubungan Ahmad Soebardjo dengan Tan Malaka, membuatnya kemudian harus mengalami penangkapan dari pemerintah dan menjalani dari penjara ke penjara (Poeze, 2009: 178-179).
Namun, peristiwa 3 Juli 1946 tidak membuatnya terhenti tergabung dengan pemerintahan. Ia kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sakirman (Fakih, Winardi dan Utama, 2019: 280-281). Perjalanan kariernya menjadi diplomat mulai tahun 1968 pada masa Orde Baru. Soebardjo meninggal pada tanggal 15 desember 1978 dalam usia 82 tahun. Ia dimakamkan di Cipayung, Bogor. Dengan berbagai perjalanannya mengawal perjalanan bangsa melewati berbagai kegentingan ini, baru tahun 2009, ia diberi gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya.
Penulis: Anna Mariana
Referensi
Abdul Rivai, Student Indonesia di Eropa. Jakarta: KPG, 2000.
Anderson, Benedict. Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.
Sarasjadi dan Osa Kurniawan Ilham, Pejambon 1945: Konsensus Agung Para Pendiri Bangsa, Surakarta: Puspa Wedha, 2018.
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta: Dirjen kebudayaan Depdikbud, 1991.
Farabi Fakih, Uji Nugroho Winardi dan Wildan Sena Utama, Perdana Menteri Republik Indonesia 1945-1959: Pergumulan Menegakkan Proklamasi. Jakarta: Direktorat Sejarah, 2019.
Imam Yudhotomo, PSI yang Saya Kenal. Yogyakarta: Kasan Ngali, 2021.
MPB Manus dkk. Tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
Patrik Matanasi, "Achmad Subardjo: Sang Penjamin Proklamasi Kemerdekaan Indonesia", dari: https://tirto.id/em7M
Poeze, Harry. A. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Jakarta: KPG, 2008
Poeze, Harry A, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Poeze, Harry A. Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946-Maret 1947, Jakarta: KITLV-Jakarta dan YOI, 2009.
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Memuat salinan Otentik Badan oentoek Menyelidiki Oesaha–Oesaha Persiapan Kemerdekaan), Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2004.
Sartono Kartodridjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jilid Dua. Jakarta: Gramedia, 1990.
Sudiyo dkk., Sejarah Pergerakan Nasional: dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1997.
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001.
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1, Yogyakarta: Teplok Press, 2000)