Kongres Al-Islam

From Ensiklopedia

Upaya konsolidasi yang dilakukan umat Islam di Indonesia sudah lama dilakukan. Sebelum ada Konferensi Umat Islam Indonesia (KUII), masyarakat muslim di Indonesia sudah menggelar sebuah hajatan bernama Kongres Al-Islam. Kongres ini menjadi cikal bakal KUII di kemudian hari.

Kongres Al Islam yang dilaksanakan di antara tahun 1922-1926 menjadi salah satu tonggak penting perkembangan kalangan Muslim “tradisionalis” dan “modernis” di Hindia Belanda (Fausi 2020), di mana keduanya bertemu dalam suatu pertemuan penting. Dalam Kongres Al-Islam pertama di Cirebon yang dipimpin oleh Agus Salim, misalnya, hadir Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al Irsyad. Mereka mewakili Islam modernis. Sementara organisasi lainnya yang datang adalah Tasywirul Afkar pimpinan Kyai Haji Abdul Wahhab serta hadir juga Kyai Haji Asnawi dari Kudus. Mereka mewakili Islam tradisional.

Kongres ini berupaya membahas kondisi umat Islam di Hindia Belanda. Berbagai persoalan dibicarakan, mulai dari antisipasi perkembangan sosial politik hingga pentingnya persatuan di antara orang Islam di Hindia Belanda (Korver 1985: 222-23). Tujuan dari Kongres pertama  adalah tercapainya titik temu dan kesepakatan antar kelompok Islam di Hindia Belanda (Emalia 2008: 68). Tjokroaminoto dalam Zaman Baroe (1926) bahkan berharap agar Kongres Al Islam Hindia dapat menguatkan ruh tolong-menolong dan persatuan di antara perhimpunan-perhimpunan Islam yang ada di Hindia Belanda.

Namun demikian, harapan Tjokroaminoto tersebut nampaknya sulit terwujud. Kongres Al-Islam di Cirebon justru menjadi bibit perpecahan ideologi keagamaan antara Islam tradisionalis dan Islam modernis (Fausi 2020). Bahkan ketika Kongres ini dilanjutkan di Garut pada 1922, titik temu justru tidak kunjung terlihat. Alih-alih mempererat persatuan antar umat Muslim di Hindia Belanda, Kongres Al-Islam justru mempertebal perbedaan antara penganut Islam tradisionalis dengan penganut Islam modernis (Afandi 2022). Selain cenderung memojokkan kelompok Islam tradisionalis, Kongres di Garut juga menjadi titik awal yang memunculkan persilangan pendapat antara Sarekat Islam dengan Muhammadiyah. Meski demikian, Kongres Al-Islam masih terus berlajalan pada tahun-tahun berikutnya. Para ulama tradisional bahkan tetap terus mengirim utusannya ke Kongres.

Sementara itu pada 1924, di pusat dunia Islam di Timur Tengah, umat Muslim sedang gempar atas dibubarkannya Khilafah Utsmani pada 3 Maret 1924 (Noer 1996: 242). Ulama Al-Azhar Kairo, Mesir, merespon situasi ini dengan menggelar muktamar internasional, melibatkan seluruh kaum Muslim di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks Hindia Belanda, Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya pun turut mempersiapkan undangan dari Kairo. Kongres ketiga ini diadakan di Surabaya pada 1924. Rangkaian kegiatan ini dihadiri sekitar 1,000 kaum Muslimin (Afandi 2022). Kongres ini kemudian membuahkan keputusan bahwa mereka akan terlibat dalam pergerakan khilafah dengan cara mengirim utusan mereka ke Kairo (Hindia Baroe, 1925). Mereka bersepakat mengirim sebuah delegasi bernama Centraal Comite Chilafat (CCC) (Bandera Islam, 1924). Salah satu amanah bagi CCC adalah menyampaikan bahwa khilafah Islam sebaiknya dibentuk di Mekkah dan Madinah, bukan di Mesir maupun Turki. Apalagi, Mekkah menjadi kota penting dalam perkembangan awal Islam. Namun demikian, pertemuan di Mesir pun akhirnya ditunda karena Mesir sedang melangsungkan pemilihan umum, ditambah sedang berkecamuknya wilayah Jazirah Arab.

Tidak jauh dari Mesir, yakni di Hijaz pada 1925 sedang terjadi persoalan lain. Ibn Saud berhasil mempersatukan Jazirah Arab di bawah kekuasannya dan memaksa Syarif Hussein meninggalkan Hijaz. Ibn Saud kemudian memprakarsai agar kongres yang tertunda di Mesir dapat diagendakan di Mekkah (Hamka 1959: 93). Undangan tersebut direspon umat Muslim di Hindia Belanda dalam Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini didominasi oleh kelompok Islam modernis. Bahkan, sebelum kongres keenam berlangsung, kelompok modernis telah melakukan upaya konsolidasi terlebih dahulu pada 8-10 Januari 1926. Mereka bersepakat untuk mengirim Tjokroaminoto dan Kyai Haji Mas Mansur ke Mekkah (Hindia Baroe, 1926). Adapun tambahan nama delegasi hasil putusan Kongres keenam adalah H.M. Soedjak, yang sebetulnya juga bagian dari kelompok Islam modernis (Zaman Baroe, 1926).

CCC sebagai wadah resmi delegasi umat Muslim di Hindia Belanda yang sudah dibentuk kemudian diubah namanya menjadi Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindis Sjarqiyah (MAIHS). Meski dibentuk dengan sepengetahuan baik kelompok Islam modernis maupun Islam tradisional, pada praktiknya kelompok Muslim tradisional tidak begitu mendapat tempat. Ini yang kemudian membuat kelompok tradisional membuat delegasi sendiri bernama Komite Hidjaz. Komite ini terdiri dari tokoh-tokoh utama Islam tradisional di Hindia Belanda, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri dari Denanyar, dan sebagainya.

Selain itu, Komite Hidjaz juga memiliki aspirasi yang berbeda dengan MAIHS. Ibn Saud yang berpaham Wahhabisme mengancam praktik-praktik Islam kultural. Makam Nabi pun dihancurkan karena dianggap dapat memunculkan syirik. Terang ini membuat kelompok Islam tradisional keberatan. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari Komite Hidjaz adalah memperjuangkan kebebasan hukum ibadah berdasarkan empat mazhab. Selain itu, Komite Hidjaz juga mengemban amanah lain untuk membentuk suatu organisasi pengirim utusan itu yang kelak oleh Kiai Alwi Abdul Aziz dinamakan sebagai Djam’iyah Nahdhatul Ulama pada tangga 31 Januari 1926 di Surabaya. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal dari Nahdlatul Ulama (NU) (Fealy, 2003).

Pada tahun-tahun berikutnya, Kongres Al-Islam terus berlangsung. Friksi kelompok Islam modernis dan tradisionalis mulai mereda pada Kongres yang berlangsung pada 26 Februari-1 Maret 1938 di Surabaya. Menipisnya friksi antara umat Islam juga tidak terlepas dari pembentukan Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937. Lewat MIAI, umat Islam sudah lebih dahulu terkonsolidasi dan kemudian memunculkan kekuatan Islam yang fokus untuk melawan kolonialisme (Syaroni 1998).

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Daftar Pustaka

Afandi. 2022. “Respon Runtuhnya Khilafah Ottoman, Dari Kongres Umat Islam Hingga Lahirnya Nahdlatul Ulama,” Muhammadiyah.or.id. diakses pada 16 Agustus 2022. https://muhammadiyah.or.id/respon-runtuhnya-khilafah-ottoman-dari-kongres-umat-islam-hingga-lahirnya-nahdlatul-ulama/.

Bandera Islam. 30 Oktober 1924.

Emalia, Imas. 2008. “Dinamika Gerakan Sarekat Islam (SI) Cirebon dalam Kongres Al-Islam I 1922”, Al-Turas 14 (1), h. 57-74.

Fausi, Moch Mahrus. 2020. Perdebatan Doktrin Keagamaan dalam Kongres Al-Islam di Cirebon dan Persaingan Klaim Legitimasi dalam Kongres Al-Islam Transnasional (1922-1926). Tesis tidak diterbitkan. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.

Fealy, Greg. 2003. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS

Hamka. 1959. “Said Jamaluddin Al-Afghani,” Pandji Masyarakat.

Hindia Baroe. 22 Januari 1925.

----------------. 8 Februari 1925.

Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil?, Terj. Jakarta: Grafiti Pers.

Noer, Deliar. 1991. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES

Syaroni, Mizan. 1998. The Majlisul Islamil Ala Indonesia (MIAI): Its socio-religious and political activities (1937-1943). Tesis tidak dipublikasikan. Montreal: McGill University.

Tjokroaminoto, H.O.S. 1963. Islam dan Sosialisme. Jakarta: Kerjasama Lembaga Penggali dan Penghimpun Sejarah Republik Indonesia.

Zaman Baroe. 15 Januari 1926.