Kooperasi dan Nonkooperasi
Arti kata “kooperasi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kerja sama, sedangkan “nonkooperasi” berarti sebaliknya. Kedua istilah tersebut sering disebutkan dalam Sejarah Nasional sebagai strategi pergerakan tokoh/organisasi melawan kekuasaan kolonial. Kooperasi merupakan strategi yang diterapkan dengan menjalin kerjasama—berjuang dari dalam—bersama pihak lawan (Belanda maupun Jepang). Sebaliknya, strategi nonkooperasi berarti melakukan segala cara dan tindakan yang bertentangan dengan pihak lawan—berjuang dari luar (Sudiyo, dkk., 1997: 50). Kedua golongan ini dapat disebut juga dengan nasionalis kanan (kooperatif) dan nosionalis kiri (nonkooperatif) (Gongong, 1985: 34). Meskipun berbeda, keduanya memiliki tujuan yang sama untuk melawan pemerintah kolonial dan mencapai kemerdekaan.
Strategi kooperasi dan nonkooperasi banyak digunakan oleh tokoh-tokoh nasionalis selama masa pergerakan pada awal abad ke-20, seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis dari organisai Sarekat Islam (1912) yang berjuang di dalam tubuh pemerintah kolonial dengan menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) (1918) (Sudiyo, dkk., 1997: 33). Tokoh lain yang juga berjuang melalui Volksraad adalah Muhammad Husni Thamrin (Gonggong, 1985: 31). Tidak hanya di Volksraad, sikap kooperatif juga ditujukan oleh tokoh-tokoh yang bergerak melalui organisasi pergerakan. Misalnya Radjiman Wediodiningrat menghendaki Budi Utomo (1908) sebagai organisasi yang melangkah secara bertahap dan mengikuti jenjang yang ditentukan oleh pemerintah (Kertodirdjo, 2018: 119).
Sedangkan tokoh-tokoh yang menempuh jalan nonkooperasi berpandangan bahwa perlu adanya dobrakan masyarakat kolonial dan tradisional dengan segala kekolotan, statisme, diskriminasi, dan menekan. Oleh karena itu, strategi nonkooperatif identik dengan politik radikal (Kertodirdjo, 2018: 119). Contohnya adalah Tjipto Mangoenkoesoemo yang menginginkan Budi Utomo tidak bersikap lunak seperti yang diinginkan Radjiman Wediodiningrat. Selain itu juga ada Sukarno dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sangat antikolonialisme, Muhammad Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir (Kertodirdjo, 2018: 186 & Mrazek, 1994: 50).
Memilih jalan nonkooperasi bukan hanya melakukan tindakan-tindakan melawan secara langsung pemerintah kolonial secara radikal. Tokoh-tokoh pergerakan nasional memiliki pemikirannya sendiri tentang strategi nonkooperasi maupun kooperasi. Seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar dewantara yang memilih jalan diluar pemerintahan (nonkooperasi) dengan mendirikan Taman Siswa (Wiryopranoto, dkk., 2017: 21). Strategi Ki Hadjar Dewantara ini adalah bentuk perjuangan diluar bidang politik namun tetap bertujuan untuk kehidupan bumiputera.
Strategi kooperatif maupun nonkooperatif bersifat fleksibel. Artinya seorang tokoh atau organisasi pergerakan nasional dapar berganti strategi atau bahkan menerapkan keduanya. Misalnya Sukarno yang memilih nonkooperatif masa kolonial Belanda namun berubah menjadi kooperatif masa pendudukan Jepang (Kasenda, 2015: 65). Kondisi politik, perubahan kebijakan pemerintahan kolonial, dan pengaruh ideologi, membuat perubahan strategi pergerakan nasional seseorang atau kelompok dapat berubah dari kooperatif menjadi nonkooperatif ataupun sebaliknya. Namun, setiap perubahan tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu membela kehidupan dan memerdekakan bumiputera.
Penulis: Fernanda Prasky Hartono
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Referensi
Gongong, A., 1985, Muhammad Husni Thamrin, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, akses online di kbbi.kemdikbud.go.id.
Kartodirdjo, S., 2018, Pengantar Sejarah Nasional Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kasenda, P., 2015, Soekrno di Bawah Bendera Jepang (1942-1945),Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Mrazek, R., 1994, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, New York: Studies on Southeast Asia.
Sudiyo, dkk., 1997, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiryopranoto, S., dkk., 2017, Ki Hajar Dewantara “Pemikiran dan Perjuangannya”, Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.