Radjiman Wedyodiningrat
K.R.T. Radjiman adalah anak dari Ki Sutodrono, yang merupakan keturunan ke tujuh dari Kraeng Naba (saudara Kraeng Galesong yang terkenal sebagai pengikut Trunojoyo pemberontak Kerajaan Mataram). Ayah Rajiman memiliki saudara perempuan yang menikah dengan Aryo Sudiro (ayah Wahidin Sudirohusodo). Ibunya seorang Ketut/runan dari Gorontalo. Rajiman lahir pada hari Kamis Pahing 21 April 1879 di Mlati Sleman Yogyakarta. Radjiman dilahirkan dari keluarga sederhana (Sugito, 1985; Tashadi, 1978).
Berasal dari keluarga bersahaja menyebabkan Radjiman sejak muda, bahkan masa kanak-nanak telah berjuang keras, dan belajar segala hal ini. Anak muda Rajiman fokus dalam bidang Pendidikan, sebab politik pendidikan pemerintah kolonial saat itu membatasi akses pendidikan bagi orang kecil. Radjiman beruntung memiliki orang tua yang mengajarkan tentang keprihatinan dan perjuangan. Ayahnya yang pernah dididik militer di dalam Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) mengajarkannya kedisiplinan, berjiwa kesatria, dan tidak boleh berputus asa, serta mengutamakan pendidikan. (Sugito, 1985; https://www.scribd.com/document/407617059/)
Pendidikan Radjiman dimulai di sekolah Europesche Lagere School (ELS), sekolah Dasar Hindia Belanda di Yogyakarta. Keberhasilan Radjiman masuk sekolah tersebut tidak terlepas dari posisi ayahnya yang mantan KNIL Pada saat Rajiman bersekolah di sana, tentunya dia dihadapkan pada ketimpangan yang sangat berbeda antara dirinya dan kawan-kawannya yang pribumi kalangan atas dan anak-anak Eropa. Namun, dia tetap bersyukur karena tidak mudah masuk ke sekolah tersebut. Untuk itu dia menjawab tantangan tersebut dengan lebih tekun belajar, dan berhasil menamatkan pendidikan tersebut ketika memasuki usia remaja tahun 1893. Selanjutnya dia meneruskan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa di Batavia, dengan dukungan dana dari beasiswa yang diperolehnya. Dengan semangat juang yang semakin tinggi, dia berhasil menamatkan pendidikannya ketika berumur 20 tahun. Tugas pertama yang diembannya adalah menjadi pegawai Belanda di Centraal Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta). Tahun 1899 bekerja di Banyumas dan Purworejo karena merebaknya penyakit cacar. Tahun berikutnya di Semarang, dilanjutkan bertugas di rumah sakit umum Madiun tahun 1901-1902. (Sugito, 1985; Teguh, Tirto.id, akses 20 Juli 2022; https://nasional.tempo.co/read/1584609/).
Semua pekerjaannya diselesaikan dengan baik, namun keinginan melanjutkan pendidikan tetap membara di dadanya. Semangat itu mendapat jawaban dengan diberinya dia kesempatan menjadi Assisten Leraar di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) 1903-1904, sebuah Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera di Batavia. Amanah itu dijalankannya dengan sangat baik, dan lulus dengan gelar Indich Arts. Saat tengah menuntut ilmu itulah, dia memutuskan untuk meminang seorang gadis bernama Rohani, yang masih berdarah Sumatera tahun 1904. Bersama keluarga barunya, Rajiman dan Rohani pindah ke Sragen dan Lawang, Malang Jawa Timur (1905-1906) guna bertugas di rumah sakit di sana. Atas jasa-jasanya, namanya diabadikan menjadi nama rumah sakit tersebut (Sugito, 1985; (http://ikpni.or.id/pahlawan/radjiman-wedyodiningrat/, akses 20 Juli 2022).
Setelah merasa cukup, dokter penuh dedikasi ini menyatakan mundur sebagai pegawai pemerintah Hinda Belanda pada tahun 1906. Cita-cita Radjiman telah tercapai, yaitu membantu masyarakat di daerahnya yang sering kali terkena wabah penyakit yang banyak memakan korban jiwa. Ditengah-tengah pengabdiannya istri Rajiman mengandung, namun, sayangnya bayi tersebut tidak berumur panjang. Hal yang sama terjadi pada putrera kedua mereka. Suami istri muda itu merasakan kesedihan luar biasa. Oleh karenanya, atas kesepakatan keluarga besarnya maka diputuskan untuk “mengambil anak”. Anak tersebut bernama Asri yang merupakan saudara perempuan pelukis masyhur “Basuki Abdullah” (Abdullah bin Wahidin Sudirohusodo). Jadi, putera angkat Rajiman-Rohani adalah cucu dari sepupunya sendiri yaitu Wahidin Sudirohusodo. Kebahagiaan pasangan ini semakin lengkap dengan lahirnya seorang puteri buah dari pernikahan mereka tahun 1006. Dengan demikian, Rajiman memiliki dua orang puteri. Di tahun yang sama, Rajiman memutuskan untuk berhenti sebagai pegawai pemerintah Belanda, dan menerima tawaran sebagai dokter keraton pertama Kasunanan Surakarta. (Sugito, 1985; http://ikpni.or.id/pahlawan/radjiman-wedyodiningrat/, akses 20 Juli 2022).
Tiga tahun masa pengabdiannya sebagai dokter keraton, Rajiman mendapat pukulan hebat dalam hidupnya yaitu istri tercintanya Rohani menderita sakit keras dan wafat, sedangkan puteri-puteri mereka masih kecil. Atas pertimbangan itulah Rajiman menikah kembali dengan perempuan Yogyakarta bernama Karsinah. Dari istri keduanya ini Rajiman mendapatkan anugerah seorang Putera yang diberi nama Darmanu. Keluarga barunya sangat mendukung pengabdiannya sebagai dokter di keraton, sehingga segala sesuatunya berjalan lancar hingga tahun 1934. Atas jasa-jasanya maka Sultan Surakarta Sultan Paku Buwono X menganugerahi tokoh ini gelar “Kanjeng Raden Tumenggung”, sehingga dengan tambahan gelar tersebut nama tokoh ini kemudian lazim disebut KRT Radjiman Wedyodiningrat. Meskipun aktif sebagai dokter keraton, Rajiman tetap bisa mencurahkan sebagian waktunya untuk organisasi BO dengan posisi sebagai wakil ketua (1914-1923), sekaligus duduk pula di Volksraad (Dewan Rakyat) dari tahun 1918 hingga tahun 1921 (Sugito, 1985; http://ikpni.or.id/pahlawan/radjiman-wedyodiningrat/, akses 20 Juli 2022).
Sementara itu, tantangan kesehatan penduduk yang rendah dan banyak korban yang tak tertangani, dijawabnya dengan terus menimba ilmu di berbagai bidang khususnya kesehatan. Terlihat dari negara-negara Eropa (Belanda, Jerman dan Prancis) yang dijadikannya tempat menimba ilmu, baik dalam bentuk short course maupun hanya dalam bentuk kunjungan. Radjiman menuntut ilmu Rontgenologie di Amsterdam Belanda, dan lulus tahun 1924 dengan gelar Europeesche Art. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya dengan belajar ilmu bedah, kebidanan dan kandungan, serta penyakit wanita Gudascopie Urinoir Berlin (Jerman). Terakhir dia mendapatkan tiga sertifikat, setelah berhasil menamatkan pendidikan bidang Gudascopie Urinoir di Paris (Perancis). Sejak mundur dari posisi sebagai dokter keraton, Radjiman berketetapan hati untuk menetap di Desa Dirgo Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi tahun 1934 untuk memberantas penyakit penular (pes) yang tengah mewabah waktu itu. Selain itu, dia juga mendidik para dukun bayi agar memiliki keahlian dalam menangani ibu-ibu yang melahirkan dan bayinya, agar kematian ibu dan bayi dapat diperkecil. Kepeduliannya yang tinggi tidak hanya pada kesehatan penduduk khususnya ibu dan anak, juga mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak di desanya. (Poeze, 2008; http://ikpni.or.id/pahlawan/radjiman-wedyodiningrat/, akses 20 Juli 2022).
Dalam dunia pergerakan, Radjiman telah memulainya sejak dia masih muda belia, dan itu ditandai dengan menjadi anggota awal Boedi Oetomo (BO), dan ketuanya (Vickers, 2005; Poesponegoro, 1993). Tahun 1914-1915 dia didaulat sebagai ketua BO. Di bawah kepemimpinannya, Radjiman mengajukan usul kepada pemerintah kolonial Belanda agar dibentuk milisi rakyat di berbagai wilayah Indonesia dalam rangka menghadapi Perang Dunia I, namun gagasan tersebut tenggelam dengan munculnya ide tentang perlunya lembaga yang mewakili rakyat. Jadi, bagaimana mungkin mampu membela bangsa ini bersama Belanda, jika tidak ada “perwakilan” dari pihak pribumi. Untuk itu BO menginisiasi dibentuknya komite “Indie Weerbaar” ke Negeri Belanda (BO diwakili oleh Dwidjosewoyo), dan hasil penting dari misi tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat Belanda sepakat membentuk Undang-Undang Pembentukan Volskraad, yang disahkan pada Desember 1916. Inilah keberhasilan BO sebagai organisasi yang bersifat lunak kepada Belanda. Sebagai tokoh tua di BO Radjiman tetap setia dalam organisasi ini, sehingga ketika Volksraad berdiri, tokoh ini duduk sebagai anggota lembaga tersebut. Selain itu, tokoh ini aktif pula di Committee van da Javasche Onwikkeling (Java Instituut) dan Indonesiasche Studie Club. (Poesponegoro, 1993; Sugito, 1985). Di kedua organisasi ini tokoh ini ikut ambil bagian, walaupun bukan dalam posisi inti.
Sebagai ilmuan apalagi zaman kolonial, biasanya para pejuang juga ahli dalam menyampaikan buah pikiran mereka melalui tulisan. Hal ini berlaku pula bagi Radjiman. Dia senantiasa memberikan “pencerahan” bagi para pembacanya khususnya bidang filsafat, mitologi dan kebatinan. Radjiman terlibat aktif sebagai anggota Freemasonry (Vrijmetselarij), sejak dia bergabung secara resmi di organisasi ini tahun 1013 (BO adalah organisasi bercorak Theosofis, dan menjual gagasan kebangsaan yang sekuler). Gerakan Theosofi ini berhasil menyatukan orang-orang Belanda, elit Jawa dan Indo-Eropa. Sebagai bentuk dukungannya terhadap Theosofi, Radjiman mendirikan cabang Theosofi ketika dirinya bertugas di Sragen dengan nama “Wedha Sandjaya” yang berarti Sumber Penerang. Dengan demikian, wajar jika Radjiman duduk sebagai pimpinan dari Neutrale Onderwijs Vereeniging (Perhimpunan Pendidikan Sekuler). Satu-satunya tulisan elit pribumi berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat) diterbitkan oleh Freemason di dalam Gedenkboek van de Vrijmetselarij in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) tahun 1917 adalah tulisan Radjiman. Dia bersama-sama dengan Koperberg, dan Mr. Singgih mendirikan surat kabar yang terbit dua kali sebulan dari tahun 1926 hingga 1930 diberi nama Timboel. Di surat kabar ini dia banyak menulis, utamanya tentang seni dan Jawa. (Sugito, 1985)
Dalam zaman pergerakan, Radjiman tetap konsisten memperjuangkan kebudayaan Indonesia, dengan keyakinan bahwa bila kelak Indonesia merdeka harus tetap berkepribadian Indonesia. BO tetap konsisten Indonesia dengan “wajah” Indonesia, walaupun lama dijajah bangsa asing. Seiring perkembangan politik kebangsaan waktu itu, banyak pihak yang menarik BO agar menjadi organisasi politik dengan konsep non-kooperasi. Namun, hal itu tidak menggoyahkan garis politik yang telah dicanangkan sebelum, di mana Radjiman sebagai penjaga gawangnya. Tokoh ini sendiri tetap setia dalam organisasi ini, sehingga ketika Volksraad berdiri, tokoh ini duduk sebagai anggota lembaga tersebut mewakili BO. BO sebagai salah satu organisasi tertua tetap mempertahankan garis awal perjuangannya yaitu “meningkatkan martabat rakyat Jawa-Madura”, dengan cara bekerjasama dengan Belanda. (Poesponegoro, 1993; Sugito, 1985)
Pada masa Jepang, Radjiman dipercaya menduduki beberapa jabatan strategis, diantaranya menjadi anggota Shu Sangi kai (Dewan Pertimbangan Daerah) Madiun, juga anggota Chuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat). Selain itu, dia juga duduk di Majelis Pertimbangan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat). Memasuki tahun 1944/1945 situasi perpolitikan secara drastis berubah, dan Jepang dengan terpaksa harus menerima kenyataan bahwa posisinya semakin terdesak oleh Sekutu. Dalam kondisi demikian agar mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia, Jepang menjanjikan kemerdekaan. Langkah berikutnya pada bulan Mei 1945, mendirikan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Radjiman dipercayakan memimpinnya (Ricklefs, 2008). Tokoh ini bersama-sama tokoh-tokoh bangsa lainnya mempersiapkan dasar negara, yang disepakati “Pancasila”. Hal lain yang dibahas dan terkait langsung dengan tokoh ini adalah masalah “pajak”. Apa yang dilontarkan oleh Radjiman langsung mendapat respon positif dari anggota, sehingga Mohammad Hatta memasukkan usulan tersebut ke dalam poin yang membahas “pajak dan hal-hal lain yang sejenis harus diatur dalam undang-undang” yaitu Pasal 23 UUD 1945. Tanggal bersejarah itu (14 Juli 1945) ditetapkan sebagai “Hari Pajak Nasional”, orang yang berjasa menyampaikannya yaitu KRT. Radjiman Wedyodiningrat disebut sebagai “Bapak Pajak Indoensia”. Selain itu, duduk pula sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), juga anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), serta duduk pula di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Sugito, 1985; https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/02/26/, akses 3 Maret 2022). Radjiman Wedyodiningrat wafat pada 20 September 1952 di Ngawi Jawa Timur. Atas jasa-jasanya dianugerahi pemerintah sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2013, sesuai Keputusan Presiden RI Nomor 68/TK/2013,6November2013. (https://www.thejakartapost.com/news/2013/11/09/, akses 20 Maret 2022)
Penulis: Farida Warga Dalem
Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia. Jilis V, Jakarta. Balai Pustaka
Poeze, Harry A. dkk. 2008. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Sugito, A.T. 1985. DR. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat Hasil karya dan Pengabdiannya. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Invertarisasi dan Dokumentasi Sejarah 1985/1986.
Tashadi. 1978. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Jakarta. Departemen P & K Proyek Biografi Pahlawan Nasional
Teguh, Irfan. Radjiman Wedyodiningrat, Dokter Keraton Solo yang Jadi Ketua BPUPKI. tirto.id. diakses 20 Desember 2022 jam 10.32
Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia, Cambridge, UK: Cambridge University Press,
Parlina, Ina. “Govt names three new national heroes” dalam The Jakarta Post. 9 September 2013
https://www.scribd.com/document/407617059/Biografi-Dr-Krt-radjiman-wedyodininhrat#
http://ikpni.or.id/pahlawan/radjiman-wedyodiningrat/ pahlawan nasional
Radjiman wedyodiningrat, k.r.t., dr
https://nasional.tempo.co/read/1584609/sejarah-hari-ini-mengenang-radjiman-wedyodiningrat-dokter-dan-tokoh-pergerakan
https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/02/26/130000978/biografi-radjiman-wedyodiningrat-dokter-keraton-solo-salah-satu-pemikir?