Abdoel Moeis

From Ensiklopedia

Abdoel Moeis adalah sastrawan dan aktivis pergerakan anti kolonial pada dekade awal abad ke-20. Ia lahir pada tanggal 3 Juli 1883, keluarga besar pasangan Haji Abdul Gani dan Siti Djariah. (Sa’roni, 1995: 8). Hari kelahirannya dirayakan dengan megah, karena pada saat tersebut H. Abdul Gani merupakan seorang laras (camat) Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatra Barat. Selain itu, H. Abdul Gani merupakan pemilik salah satu perusahaan korek api, yang terkenal dengan merk, “Tuanku Laras Sungai Puar” (Nur, 1980: 7-8).

Lahir sebagai seorang anak dari keluarga yang terpandang, oleh kedua orang tuanya, Abdul Moeis diberikan fasilitas pendidikan yang sangat layak. Pada usia tujuh tahun, Abdul Moeis dimasukkan ke ELS (Europeesche Lagere School), yang pada saat tersebut sederajat dengan sekolah dasar. Abdul Moeis beruntung bisa bersekolah di ELS, karena tidak semua anak bisa sekolah disana, hanya anak-anak dari orang berpangkat lah yang diterima menjadi murid ELS (Nur, 1980: 10). Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, pada 1899 Abdul Moeis kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), yang merupakan sekolah kedokteran di Batavia. Alasan Abdul Moeis memilih untuk melanjutkan pendidikannya di STOVIA adalah karena sedari kecil, Abdul Moeis memang bercita-cita untuk menjadi seorang dokter. Akan tetap, perjalanan pendidikannya di STOVIA tidak berjalan sesuai dengan rencana, karena di tengah-tengah ia menemukan masalah yang tidak dapat diselesaikan (Foulcher, 2005: 251).

Menjadi siswa STOVIA merupakan kebanggan tersendiri bagi Abdul Moeis. Hal ini karena dia sudah membayangkan betapa bangganya kedua orang tuanya jika Abdul Moeis berhasil menjadi dokter pertama yang berasal dari Sungai Puar. Selain itu, keinginan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis, menjadi salah satu motivasi terbesar bagi Abdul Moeis (Nur, 1980: 7-8).

Selama di STOVIA, Abdul Moeis sering berdiskusi bersama dengan kawan-kawannya  dari berbagai daerah. Mereka kemudian saling bertukar cerita mengenai apa yang terjadi di daerahnya masing-masing, dari mulai tentang adat istiadat, kehidupan penduduk, hingga kesengsaraan yang dialami oleh mayoritas penduduk di daerahnya. Dari diskusi inilah kemudian mereka sadar bahwa mereka merupakan satu bangsa, yang kemudian ditindas oleh kolonialisme. Menurut Nur (1980), masa-masa inilah yang kemudian menjadi awal mula munculnya pemikiran memperjuangkan kemerdekaan dari seorang Abdul Moeis, dan menjadi embrio nasionalisme di kalangan para pemuda pada periode tersebut (Nur, 1980: 15).

Abdul Moeis melewati tahun-tahun awal di STOVIA dengan baik, dan selama tiga tahun berturut-turut ia selalu naik tingkat. Akan tetapi, ketika memasuki tahun ketiga dan mulai mengikuti praktik bedah, Abdul Moeis mulai merasakan ketidaknyamanan. Ia seringkali merasa pusing ketika mengikuti praktik bedah. Akhirnya setelah berkali-kali praktik bedah ia lakukan, Abdul Moeis menyadari bahwa ia tidak tahan melihat darah yang mengalir (Nur, 1980: 16-18). Hal ini membuat Abdul Moeis merasa sangat terpukul, karena artinya ia harus menanggalkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Akhirnya, setelah berkonsultasi dengan kedua orang tuanya, pada 1903 Abdul  Moeis memutuskan untuk keluar dari STOVIA (Foulcher, 2005: 251).

Atas saran yang diberikan oleh orangtuanya dan bantuan dari Mr. Abendanon yang pada saat tersebut menjabat sebagai Direktur Pendidikan, setelah keluar dari STOVIA Abdul Moeis akhirnya bekerja pada Departemen Onderwijs en Eredienst. Di sana ia mendapatkan tugas pertamanya sebagai seorang juru tulis (Foulcher, 2005: 251). Akan tetapi, pekerjaan ini tidak bertahan lama karena Abdul Moeis tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda di Departemen tersebut. Ketidaksukaan mereka dilatarbelakangi karena Abdul Moeis seringkali secara terang-terangan menunjukkan sifat patriotiknya. Akhirnya pada 1905 ia resmi keluar dari Departemen Onderwijs en  Eredienst (Artikel "Abdoel Moeis"–Ensiklopedia Sastra Indonesia (kemdikbud.go.id), diakses pada Desember 2021).

Setelah keluar dari Departemen Onderwijs en  Eredienst, Abdul Moeis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, dari mulai jurnalistik, sastra, hingga politik. Pada 1905, untuk pertama kalinya Abdul Moeis diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, yakni sebuah majalan yang banyak memuat berita mengenai politik. Akan tetapi pada 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, sehingga mengharuskan Abdul Moeis untuk mencari pekerjaan lain. Akhirnya, Abdul Moeis mulai mencoba peruntungannya di bidang yang sama sekali berbeda, yakni ia bekerja sebagai mantri lumbung di Bandoengsche Afdeeling Bank. Abdul Moeis bekerja selama kurang lebih lima tahun di tempat ini, sebelum akhirnya ia diberhentikan secara hormat karena adanya perselisihan dengan controleur (Abdul Muis | Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud.go.id), diakses pada Desember 2021).

Setelah berhenti dari pekerjaan sebelumnya, Abdul Moeis kembali ke dunia jurnalistik. Pada 1912 ia mulai bekerja pada surat kabar berbahasa Belanda yakni Preanger Bode di Bandung. Pada masa-masa awal di tempat barunya tersebut, Abdul Moeis mendapatkan tugas sebagai korektor. Tugas utamanya adalah mengoreksi naskah agar tidak terjadi salah cetak. Karena tugas inilah, Abdul Moeis banyak membaca tulisan-tulisan orang Belanda, yang tidak sedikit dari mereka menghina Bangsa Indonesia. Ketika membaca tulisan-tulisan tersebut, muncul kemarahan dan dendam dalam hatinya terhadap orang-orang Belanda. Perasaan nasionalisme yang sudah ia pupuk ketika menjadi siswa STOVIA, tumbuh semakin subur setelah membaca hinaan demi hinaan yang ditujukan kepada bangsanya (Nur, 1980: 19).

Kemarahannya tersebut ia sampaikan kepada atasannya dan meminta agar tulisan-tulisan tersebut tidak diterbitkan. Akan tetapi, karena pemilik dari surat kabar tersebut adalah seorang Belanda, permintaan Abdul Moeis tersebut tidak dikabulkan. Meskipun demikian, ia tidak lantas patah arang dan berhenti bertindak. Akhirnya, Abdul Moeis mulai membuat karangan-karangan yang isinya merupakan balasan atas hinaan yang dilakukan oleh orang Belanda terhadap bangsanya sendiri. Tulisan-tulisannya tersebut akhirnya dikirimkan kepada surat kabar De Express, yang pada saat tersebut pimpinannya adalah tiga serangkai, E.F.E. Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi Suryaningrat (Said dan Triana, 1995: 19).

Selain itu, pada 1913 Abdul Moeis bersama dengan tiga serangkai menerbitkan sebuah majalah mingguan yang bernama Hindia Serikat (Watson, 1973: 187). Surat kabar Melayu-Belanda ini terbit setiap hari Kamis, dengan Abdul Moeis bertindak sebagai salah satu editor. Pada edisi pertama dari majalah ini disebutkan bahwa majalah Hindia Serikat diterbitkan dengan tujuan untuk memberikan literatur pendidikan untuk masyarakat umum dan juga untuk membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia (pada periode tersebut) untuk bersatu demi kepentingan nasional. Terlebih pada periode tersebut muncul organisasi-organisasi besar yang menjadi embrio nasionalisme dan perjuangan para pemuda di bidang politik, yakni Budi Oetomo dan Sarekat Islam (De Express, edisi 03 Juli 1913).

Pada tahun ini pula, terjadi sebuah peristiwa yang sangat besar, yakni adanya wacana peringatan 100 tahun bebasnya Belanda dari jajahan Prancis. Wacana tersebut kemudian menimbulkan protes dari kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Aksi protes ini diwujudkan dengan dibentuknya sebuah Komite Bumiputera yang berpusat di Bandung. Adapun yang menjadi ketua dari komite tersebut adalah dr. Tjipto Mangunkusumo, dengan sekretaris Suwardi Suryaningrat, dan Abdul Moeis duduk sebagai anggota. Adapun tujuan utama dibentuknya komite tersebut adalah untuk melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan politik pemerintah Belanda. Kritik tersebut kemudian disampaikan oleh  Suwardi Suryaningrat dalam sebuah karangan berjudul Als Ik Nederlander Was (Seandainya aku seorang Belanda). Tulisan tersebut kemudian membuat pemerintah Belanda merasa tersinggung, sehingga brosur karangan tersebut disita dan dilarang beredar. Selain itu, rumah para tokoh pergerakan nasional juga digeledah. Peristiwa ini kemudian yang menjadi salah satu alasan pemicu ‘dibuang’-nya tiga serangkai ke negeri Belanda. Sementara itu Abdul Moeis dan Wignyadisastra dibebaskan (Nur, 1980: 26-27).

Setelah bertahun-tahun bekerja di Preanger Bode, akhirnya pada 1914 Abdul Moeis memutuskan untuk keluar dari surat kabar tersebut. Hal ini karena terdapat perbedaan pandangan antara Abdul Moeis dengan sang pemilik surat kabar harian tersebut, yang seringkali menyebabkan pertengkaran di antara keduanya. Setelah keluar dari Preanger Bode, Abdul Moeis tidak kesulitan untuk mendapatkan tempat kerja yang baru, hal ini karena sudah ada banyak portofolio Abdul Moeis yang diterbitkan di harian De Express. Berkat tulisan-tulisannya tersebut, ia dikenal baik oleh pimpinan surat kabar Kaum Muda, hingga akhirnya ia diminta untuk menjadi pimpinan redaksi Kaum Muda (Nur, 1980: 21).

Berbeda dengan sebelumnya, dalam surat kabar Kaum Muda ini, Abdul Moeis bisa dengan bebas mengutarakan pendapat dan keinginannya selama ini untuk membalas berbagai hinaan dari orang Belanda. Karangan-karangannya yang kemudian diterbitkan banyak berisi kritikan terhadap penjajahan Belanda. Bahkan, dalam harian tersebut terdapat satu rubrik khusus yang biasa diisi oleh anekdot-anekdot sindiran terhadap orang-orang Belanda. Selain bisa mengutarakan pendapatnya secara bebas, di harian Kaum Muda ini pula ia kemudian bertemu dengan tokoh-tokoh penting, yang akhirnya membawanya terjun kedalam dunia politik tanah air pada periode tersebut (Nur, 1980: 21; Abdul Muis Melawan Kolonialisme dengan Politik dan Sastra (tirto.id), diakses pada Desember 2021).

Rasa marah, dendam, dan keinginan untuk menghentikan penjajahan yang telah dipupuk sejak bersekolah di STOVIA, hingga kemudian tumbuh semakin kuat ketika ia menjadi jurnalis di beberapa surat kabar harian, membuat Abdul Moeis menerima tawaran H.O.S. Tjokroaminoto untuk bergabung dengan Sarekat Islam. Adapun alasan Tjokroaminoto mengajak Abdul Moeis untuk bergabung ke dalam tubuh SI adalah karena Abdul Moeis dinilai mempunyai pendidikan dan pengalaman yang diharapkan dapat mengembangkan Sarekat Islam, terutama dengan sikap radikal terhadap ketidakadilan yang ditunjukkannya dalam setiap tulisan-tulisannya (Noer, 1988: 122). Akhirnya pada 1915 Abdul Moeis resmi menjadi bagian dari Sarekat Islam. Pada masa awal karirnya di Sarekat Islam, Abdul Moeis menduduki posisi sebagai wakil ketua sementara Sarekat Islam Cabang Bandung, dengan ketua pada saat tersebut adalah Wignjadisastra dan sekretarisnya adalah Suwardi Suryaningrat (Sa’roni, 1995: 44).

Kemudian, karena kecerdasan dan kepiawaiannya dalam berpidato, Abdul Moeis kemudian diangkat menjadi anggota pengurus Sarekat Islam. Pada periode 1915-1922 ia bahkan menjabat sebagai wakil Presiden Central Sarekat Islam. Ketika menjabat sebagai wakil presiden CSI, pendapat dan pemikiran dari Abdul Moeis banyak memberikan pengaruh positif terhadap jalannya organisasi tersebut. Salah satunya adalah ketika pelaksanaan Kongres Sarekat Islam pertama yang dilangsungkan di Surabaya pada 1916, ia mengusulkan untuk mendirikan sebuah sekolah, yang menurutnya sangat penting untuk mendidik pemuda-pemuda calon pemimpin bangsa. Kemudian, atas usulannya tersebut, di Bandung didirikan sebuah sekolah, yang dalam waktu sangat singkat muridnya mencapai 300 orang (Nur, 1980: 28).

Kemudian, pada Kongres Sarekat Islam kedua yang dilaksanakan di Jakarta pada 1917, Abdul Moeis mengusulkan agar Sarekat Islam bergabung dengan Volksraad. Adapun alasan Abdul Moeis mengajukan usulan ini karena, menurutnya jika SI bergabung dengan Volksraad, maka akan membuka kesempatan untuk bisa mengemukakan pandangan partai tentang berbagai masalah dan juga untuk membela hak-hak rakyat (Sa’roni, 1995: 46). Usulnya ini kemudian ditolak oleh Semaun yang pada saat tersebut berbeda pandangan dengan Abdul Moeis. Meskipun demikian, pada akhirnya kongres memutuskan bahwa SI akan bergabung dengan volksraad. Pada 1918, Tjokroaminoto diangkat langsung sebagai anggota oleh pemerintah, sementara Abdul Moeis masuk melalui pemilihan (Singh, 1961: 55).

Pada 1919 Sarekat Islam mencapai puncak kejayaannya, dengan jumlah anggota mencapai dua juta orang. Setelah pelaksanaan Kongres Sarekat Nasional keempat di Surabaya, Sarekat Islam memutuskan untuk mengintensifkan kerja serikat buruhnya. Di volksraad, Tjokroaminoto dan Abdul Moeis memperjuangkan dewan rakyat dan mengkritik kebijakan pemerintah. Pemikiran Abdul Moeis lainnya ditunjukkan pada saat pelaksanaan Kongres Sarekat Islam VI di Surabaya, 1921. Pada kongres tersebut, Abdul Moeis dan H. Agus Salim mengajukan pertanyaan mengenai disiplin partai dan penegakannya dalam hal keanggotaan. Pendapat Salim dan Moeis ini kemudian ditentang oleh Semaun, Tan Malaka dan rekan-rekannya. Hingga akhirnya, pada Kongres Sarekat Islam di Madiun yang dilaksanakan pada Februari 1923, keputusan mengenai disiplin partai ini ditegaskan kembali. Hal ini kemudian menyebabkan kaum komunis menarik diri dari Sarekat Islam, dan mereka mulai berdiri sendiri (Singh, 1961: 57; Soewarsono, 2013: 47).

Selama bergabung dengan Sarekat Islam, Abdul Moeis tidak serta merta meninggalkan kehidupan jurnalistiknya. Pada 1916, bersama-sama dengan Haji Agus Salim, ia memimpin surat kabar Neratja. Surat kabar ini kemudian banyak menyuarakan mengenai haluan politik Sarekat Islam. Pada sekitar tahun 1917, Abdul Moeis menjadi bagian dari Indie Weerbaar. Ia bersama dengan dua orang lainnya dikirim ke Belanda untuk membicarakan mengenai pertahanan Indonesia (De Sumatera Post, edisi 23 November 1931). Dalam misinya tersebut, ia juga memberikan saran untuk mendirikan sebuah sekolah teknik di Hindia-Belanda. Atas usulannya tersebut, beberapa tahun kemudian berdirilah Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung, atau yang saat ini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB) (Nur, 1980: 32-33).

Pada tahun 1923, kegiatan Abdul Moeis di Sarekat Islam mulai terganggu sebab ia mulai sibuk dengan urusan-urusan lain, seperti salah satunya adalah Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) dimana ia menjabat sebagai pimpinan PPPB (Sa’roni, 1995: 47). Pada periode tersebut kaum buruh Indonesia hidup menderita, karena gaji yang diberikan sangat kecil. Hal ini kemudian menyebabkan pada Januari 1922, kaum buruh pegadaian Yogyakarta melakukan pemogokan. Adapun pemogokan ini dilatarbelakangi oleh adanya penghinaan yang dilakukan oleh pegawai Belanda terhadap pegawai Indonesia. Aksi pemogokan ini dipimpin oleh Abdul Moeis. Akibat pemogokan tersebut, sekitar 3.000 pegawai dipecat dan Abdul Moeis kemudian ditangkap serta diadili (De Indische Courant, edisi 21 April, 1922).

Pada tahun 1926 Abdul Moeis dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Belanda. Ia kemudian dilarang untuk melakukan kegiatan politik, dan dijatuhi hukuman “pembuangan” Akan tetapi, Abdul Moeis diberikan kebebasan untuk memilih daerah yang disukainya untuk tinggal. Atas kesempatan tersebut Abdul Moeis memilih daerah Garut sebagai tempat tinggalnya. Daerah yang dipilih adalah desa Cicangtu, Wanaraja, Garut. Di pengasingan ini, Abdul Moeis tinggal bersama dengan sang istri, Sunarsih, yang dinikahinya pada 1925 ketika Sunarsih menjadi seorang wartawati. Dari pernikahannya ini Abdul Moeis dikaruniai sebelas putra-putri[1] (Sa’roni, 1995: 11). 

Selama menjalani masa pengasingannya, Abdul Moeis hidup sederhana dengan bertani dan memelihara hewan. Di Desa Cicangtu ia bahkan mengajari penduduk sekitar untuk bercocok tanam dengan menggunakan metode modern.


[1] Semasa hidupnya, Abdul Moeis melakukan pernikahan sebanyak empat kali. Pernikahan pertama dilangsungkan dengan gadis Minangkabau pilihan kedua orang tuanya, tetapi tidak bertahan lama karena sang istri meninggal. Kedua, ia menikah dengan gadis Priangan dan dikaruniai dua orang anak. Pernikahan keduanya ini juga tidak bertahan lama, karena Abdul Moeis lebih banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan politiknya. Ketiga, ia menikah dengan seorang gadis Priangan lagi. Pernikahan ini kembali harus kandas karena alasan yang sama, yakni Abdul Moeis sibuk dengan kehidupan politiknya (Sa’roni, 1995: 11).

Kehidupannya di Garut ia jalani dengan senang, karena suasananya yang asri menyerupai kampung halamannya di Sumatra Barat. Akan tetapi, kehidupan damainya di pengasingan tersebut tidak bisa menghilangkan semangat nasionalis yang ada dalam dirinya. Ia kemudian kembali bekerja sebagai pemimpin surat kabar Mimbar Rakyat, yang terbit di Garut. Melalui surat kabar tersebut, ia melontarkan kritikan-kritikan tajam kepada pemerintah Belanda, sehingga mengakibatkan Mimbar Rakyat tidak diizinkan terbit (Nur, 1980: 43).

Kemudian, pada 1937 di usianya yang sudah menginjak kepala lima, ia menerima tawaran untuk menjadi kontrolir. Karena menurutnya, dengan menjadi kontrolir ia bisa membantu sesama bangsanya. Meskipun pada akhirnya keputusannya tersebut membuat ia dimusuhi oleh kedua belah pihak, oleh orang-orang Indonesia ia dianggap berkhianat, sedangkan oleh orang  Belanda ia tidak disukai karena Abdul Moeis juga menindak tegas orang Belanda yang tidak taat peraturan. Pada 1939 Pemerintah Belanda mencabut hukuman Abdul Moeis. Keputusan tersebut membuat Abdul Moeis dapat bernafas dengan lega dan kembali menghirup udara segar (Nur, 1980: 45).

Tekanan demi tekanan yang ia dapatkan dari pemerintah Belanda, kehidupan yang sepi selama di pengasingan, membuat Abdul Moeis seringkali memutar ulang kejadian yang ia alami ketika ia kecil di Bukittinggi. Ia teringat akan kasih sayang kedua orang tuanya, tentang bagaimana teman-temannya menghormati dia sebagai seorang anak Tuanku Laras, dan tentang pengalamannya jatuh cinta kepada seorang gadis Belanda ketika ia di STOVIA. Percintaan antara Abdul Moeis dan gadis Belanda ini harus kandas karena keduanya memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Berangkat dari pengalaman pribadinya inilah kemudian Abdul Moeis melahirkan sebuah magnum opus yang berjudul: Salah Asuhan (Nur, 1980: 50).

Novel Salah Asuhan yang dibuat oleh Abdul Moeis ini mengisahkan mengenai kisah cinta seorang wanita Eurasia dengan seorang laki-laki berpendidikan Belanda. Adapun maksud yang disampaikan oleh novel tersebut sebenarnya adalah mengenai bagaimana mobilitas sosial pada akhirnya masih dibatasi oleh batas-batas rasial (Hoogervorst dan Henk, 2017: 450). Novel ini kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1928 setelah melewati beberapa tahap penyuntingan. Salah satu bagian yang dihapuskan dalam novel ini adalah cerita mengenai rumah bordil. Abdul Moeis tidak keberatan untuk menghapus bagian tersebut, karena menurutnya cerita tersebut sebenarnya memang tidak ada. Hanya saja ia menambahkan cerita tersebut atas saran yang diberikan oleh salah seorang pemilik penerbit, ketika ia menawarkan naskahnya ke salah satu penerbit milik orang Tionghoa (Teeuw, 1972: 122).

Novel Salah Asuhan ini berhasil mengantarkan Abdul Moeis sebagai salah satu sastrawan terkemuka di tanah air. Novel Salah Asuhan ini kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Rusia dan Cina. Karena kesuksesan buku ini Abdul Moeis juga dianggap sebagai tokoh terkemuka dalam kesusastraan Angkatan Tahun 20-an atau pra-Pujangga Baru (Nur, 1980: 51). Selain menulis, Abdul Moeis juga aktif dalam menerjemahkan karya-karya asing dan membuat saduran dari cerita lama. Beberapa karya lain dari Abdul Moeis diantaranya yaitu Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan karya Mark Twain, Amerika, 1928), Sebatang Kara (terjemahan karya Hector Malot, Prancis 1949), Hikayat Bachtiar (1950), Hendak Berbalai (1951), Kita dan Demokrasi (1951), Robert Anak Surapati (1953), Kurnia (1958), Surapati (1965), dan lain sebagainya (Abdul Muis|Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud.go.id), diakses pada Desember 2021).

Setelah petualangan politik yang ia lakukan selama masa muda, menjelang usia senjanya Abdul Moeis dihadapkan pada kenyataan hidup yang tidak mudah. Setelah periode perang kemerdekaan, Abdul Moeis mencoba peruntungannya di ibukota Jakarta. Akan tetapi, di usianya yang sudah tua tidak ada banyak hal yang dapat ia lakukan. Bahkan ketika ia ditawari untuk bekerja di pemerintahan ia tolak karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan. Oleh karena itu untuk menutupi kebutuhannya ia aktif menulis dan menerjemahkan karya-karya luar negeri (Sejarah Wafatnya Abdul Moeis Tanggal 17 Juni 1959 (tirto.id), diakses pada Desember 2021). Pekerjaan tersebut ia lakukan untuk Penerbit Nur Kumala dan Van der Kroof di Jakarta. Setelah perjuangannya baik untuk memperjuangkan kemerdekaan maupun memperjuangkan hidupnya sendiri, pada 17 Juni 1959, ketika usianya menginjak 76 tahun, Abdul Moeis kembali ke pangkuan Sang Maha Kuasa, akibat penyakit tekanan darah tinggi yang dideritanya (Nur, 1980: 57).

Atas pengabdiannya kepada bangsa Indonesia, terutama kiprahnya dalam politik tanah air pada periode perjuangan, dua bulan selepas Abdul Moeis meninggal  tepatnya pada 17 Juni 1959, Presiden Sukarno menetapkan Abdul Moeis sebagai Pahlawan Nasional Indonesia yang pertama. Selain itu, berdasarkan hasil keputusan Pertemuan Sastrawan Terkemuka Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat pada 24 Maret 2013, tanggal lahir Abdul Moeis ditetapkan sebagai Hari Sastra Indonesia (Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia - Historia, diakses pada Desember 2021).

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Abdul Hadi, (2021), “Sejarah Wafatnya Abdul Moeis Tanggal 17 Juni 1959”, tirto.id, https://tirto.id/sejarah-wafatnya-abdul-moeis-tanggal-17-juni-1959-ggXN, diakses pada Desember 2021.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “Abdul Muis”, badanbahasa.kemdikbud.go.id, https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/754, diakses pada Desember 2021.

De Express, edisi 03 Juli 1913

De Indische Courant, edisi 21 April, 1922

De Sumatera Post, edisi 23 November 1931

Ensiklopedia Sastra Indonesia, “Abdoel Moeis: 1886-1959”, ensiklopedia.kemdikbud.go.id, https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Abdoel_Moeis , diakses pada Desember 2021.

Fadrik Aziz Firdausi, (2019), “Abdul Muis Melawan Kolonialisme dengan Politik dan      Sastra”, tirto.id, https://tirto.id/abdul-muis-melawan-kolonialisme-dengan-politik-dan-sastra-dCiL, diakses pada Desember 2021.

Foulcher, Keith., (2005), “Biography, History, and the Indonesian Novel: Reading Salah Asuhan”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde , 2005, Vol. 161, No. 2/3 (2005), pp. 247-268.

Hendri F. Isnaeni (2013), “Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia”, Historia.id,            https://historia.id/kultur/articles/abdoel-moeis-dan-hari-sastra-indonesia      DW53P/page/1 , diakses pada Desember 2021.

Hoogervorst, Tom., dan  Henk Schulte Nordholt., (2017), “Urban Middle Classes in Colonial Java (1900-1942): Images and Language”, dalam Bijdragen tot de          Taal-, Land-en Volkenkunde, Vol. 173, No. 4, Special Issue: New Urban            Middle Classes in Colonial Java (2017), pp. 442-474.

M. Fazil Pamungkas, (2020), “Abdoel Moeis, Pahlawan Nasional Pertama”, Historia.id, https://historia.id/politik/articles/abdoel-moeis-pahlawan-nasional-pertama-P4nLp/page/1 , diakses pada Desember 2021.

Noer, Deliar., (1988). Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Nur B, Mirza., (1980). Abdul Moeis: Politikus, Jurnalis, Sastrawan. Jakarta: Penerbit Mutiara.

Sa’roni, Moh. (1995), “Abdul Muis: Studi Tentang Peranan dalam Perkembangan Sarikat Islam Tahun 1912-1922”, Skripsi, Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

Said, Julinar., dan Triana Wulandari. (1995). Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Sub Direktorat Sejarah, Direktorat Sejarah dan Nilai  Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Singh, Vishal., (1961), “The Rise of Indonesian Political Parties”, dalam Journal of Southeast Asian History, Jul., 1961, Vol. 2, No. 2, Indonesia. Being a Collection of Papers Submitted to the 1st International Conference of Southeast Asian Historians, Singapore, January 16-21, 1961 (Jul., 1961), pp. 43-65.

Soewarsono dkk., (2013). Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Teeuw, A., (1972), “The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature”, dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, 1972, Vol. 35, No. 1, pp. 111-127.

Watson, C.W. (1973), “Salah Asuhan and the Romantic Tradition in the Early Indonesian Novel”, dalam Modern Asian Studies, Vol. 7, No. 2, 1973, pp. 179-192.