Lembaga Kebudayaan Nasional

From Ensiklopedia

Lembaga Kebudayaan Nasional atau LKN berdiri pada 19 Mei 1959 oleh seniman berhaluan nasionalis, Sitor Situmorang (1923-2014), di Solo. Sebelum berdiri pengurus pusat, LKN yang berafiliasi dengan PNI sudah ada di sejumlah kota. Kongres pertama LKN berlangsung pada 20 Mei 1959. Tanggal ini dengan sengaja dipilih karena bersamaan dengan hari Kebangkitan Nasional. Pemilihan kota Solo juga karena kota ini menjadi pusat kegiatan kebudayaan dan tempat berkongres lembaga kebudayaan lainnya seperti LEKRA (22-28 Januari 1959) (I Nyoman 2012: 318).

Kongres di Solo ini diikuti 150 peserta yang mewakili 21 delegasi. Ini berarti LKN telah berdiri di hampir semua propinsi di Indonesia. Kongres ini juga dihadiri tamu-tamu negara asing seperti India, Amerika Serikat, Kanada dan Yugoslavia. Kongres pertama ini juga dimeriahkan dengan berbagai acara kebudayaan, pentas kesenian dan pawai dengan tema Bhinneka Tunggal Ika. (I Nyoman 2012: 320). Mengutip dari I Nyoman Dharma Putra, Suluh Indonesia yang merupakan koran PNI, menyebutkan kongres ini “…[u]ntuk menjatukan organisasi2 perseorangan kebudayajaan dan kesenian jang pikiran2nja memang telah dan diharapkan akan dapat seiring dengan pikiran2 PNI dilapangan kebudajaan”. (I Nyoman 2012: 318). 

Kongres kedua LKN berlangsung pada 11-14 September 1963 di Jakarta. Ketua umum yang terpilih dalam kongres ini adalah Sitor Situmorang (1924-2014) yang menduduki posisi ini sampai 1965. Saat itu LKN memiliki 175 cabang.

Kegiatan kebudayaan LKN dalam bidang drama, penulisan prosa dan puisi. Salah satu pementasan mereka adalah pertunjukan Lembaga Drama LKN dengan judul Djangan takut dilanda ombak yang dipentaskan pada 2-4 September 1964 di Gedung Kesenian Jakarta. Pertunjukan drama ini berdasarkan naskah Motinggo Boesje tentang kehidupan seorang nelayan yang berjuang melawan tengkulak (I Nyoman 2012: 321).

Dalam politik kebudayaan, LKN mendukung sepenuhnya konsepsi kebudayaan Sukarno (Jones 2005: 132). Dalam hal ini, Sukarno mengecam kebudayaan barat dengan musik “ngak ngik ngok.” Bagi Sukarno musik tersebut bagian dari imperalisme Barat di lapangan kebudayaan. LKN bersama dengan Lekra menyatakan menentang keberadaan Manifes Kebudayaan pada 1963. Dengan sikap ini, LKN dan Lekra berada di kubu Kiri dalam politik kebudayaan Indonesia berhadapan dengan seniman non-politik atau non-kiri di tahun 1960-an. Setelah Peristiwa 1965, Sitor Sitmorang ditahan antara tahun 1967-1974 karena sikap politiknya yang mendukung Sukarno.

Penulis: Yerry Wirawan
Instansi: Universitas Sanata Dharma
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.

Referensi

I Nyoman Dharma Putra (2012) “Getting Organized: Culture and Nationalism in B ali, 1959-1965”, Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, Heirs to World Culture, Being Indonesian 1950-1965, Leiden: KITLV Press, hal. 315-342.

Jones, Tod (2005). Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture, Institutions, Government. Ph.D. Theses, Curtin University of Technology.