Menuju Indonesia Baru
Kemunculan Orde Baru pada tahun 1966 menjadi babak baru Indonesia setelah keruntuhan Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno. Meski pemerintah Orde Baru Indonesia berkuasa sejak 1966, namun secara resmi Soeharto baru menjabat sebagai presiden setelah Sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada bulan Maret 1968 (Ricklefs, 1993:295). Langkah pertama yang diambil Soeharto untuk membangun Orde Baru adalah menata ulang struktur politik Indonesia menjadi politik teknokratik yang ketat dan “tertib” (Mas’oed, 1989: 23; Anwar, 1998:148-9). Langkah tersebut merupakan upaya menciptakan mekanisme untuk meminimalkan ragam konflik sosial yang menguat terutama di akhir rezim Orde Lama. Salah satu format politik yang dilancarkan yaitu memusatkan kekuasaan pada lembaga eksekutif (Anwar, 1998:3-4; Mas’oed, 1989: 150-53).
Selain fokus pada stabilitas politik, Orde Baru juga memberikan penekanan pada pembangunan ekonomi. Mengambil titik pijak pada krisis ekonomi 1965 yang ditandai dengan terjadinya inflasi Indonesia hingga mencapai 500 persen, harga beras naik hingga 900 persen, defisit anggaran belanja mencapai 300 persen dari pemasukan (Tim Kompas, 2008:85), Orde Baru memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian. Pilihan yang diambil untuk memaksimalkan produktivitas ekonomi adalah dengan memperkuat sistem ekonomi yang berorientasi ke luar (Mas’oed, 1989: 59-62). Dalam hal ini pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan ekonomi yang mendukung pertumbuhan yang cepat dan mampu memanfaatkan sumber-sumber ekonomi asing. Tekanan khusus diberikan pada produksi pangan (khususnya beras) sambil mendorong penanaman modal asing, terutama di sektor industri dan pertambangan (Booth & McCawley, 1981:1-2).
Kebijakan Orde Baru yang berorientasi menciptakan stabilitas politik sekaligus memperkuat pembangunan ekonomi berpijak pada pinsip bahwa tanpa stabilitas politik pembangunan ekonomi tidak akan dapat dijalankan, sedangkan tanpa adanya pembangunan ekonomi, stabilitas akan sulit dicapai (Anwar, 1998:3-4). Sebagai upaya membina suatu sistem politik yang tertib dan sekaligus mendukung program pembangunan ekonomi, pemerintah Orde Baru menciptakan slogan baru, “ekonomi sebagai panglima”, menggantikan slogan di Orde Lama, ”politik sebagai panglima”. Slogan baru tersebut terejawantahkan dalam agenda besar “modernisasi” atau yang juga dipahami sebagai developmentalism. Agenda ini bermuara pada prinsip dasar bahwa pembangunan dipahami sebagai organik, immanent (mendunia), kumulatif, tidak berbalik dan bertujuan. Untuk itu, dibutuhkan sebuah agenda teknokratik yang menekankan nilai-nilai seperti efisiensi, efektivitas, harmoni, dan konsensus sebagai prasyarat terpenting pembangunan ekonomi (Ali dan Effendy, 1986: 98-103; Mas’oed, 1989: 23-24). Pemerintah Orde Baru meyakini perlunya agenda tersebut diterapkan dalam konteks membangun Indonesia baru.
Kebijakan penting yang diambil pemerintah Orde Baru untuk memperkuat agenda besar tersebut adalah pengembangan doktrin Dwi-Fungsi ABRI, suatu doktrin yang mengesahkan peranan militer dalam urusan-urusan nonmiliter, seperti kegiatan politik ekonomi, dan sosial (Mas’oed, 1989: 24). Melalui upaya tersebut, pemerintah Orde Baru secara perlahan membangun tatanan struktur kenegaraan baru yang berorientasi pada pembaruan dan antikomunis, berdasarkan suatu jenis politik baru yang bisa mendukung pembangunan ekonomi, yang bebas dari konflik ideologis serta didasarkan atas pragmatisme, rasionalisme, ketertiban, dan keahlian praktis. Melalui agenda modernisasi ini, pembangunan ekonomi Indonesia dilakukan secara rasional, efisien, efektif, dan pragmatis, dengan target akhir memajukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, untuk menciptakan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat (Moertopo, 1973).
Prioritas pembangunan ekonomi di masa awal Orde Baru adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Bermodal keberhasilan menjaga stabilitas politik di awal tahun 1966, pemerintah Orde Baru memperoleh kepercayaan dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Jepang. Aliran pinjaman uang dari negara-negara tersebut mengokohkan upaya pemerintah dalam pembangunan ekonomi, ditunjukkan dengan inflasi yang teratasi, bertambahnya modal asing yang masuk, serta berkembangnya industrialisasi. Sementara dalam menjaga stabilitas nasional, pemerintah memperkuat kebijakan sentralisasi dan militerisasi. Pemberlakuan Undang-undang No. 5 tahun 1974 menjadi pengejawantahan sentralisme yang semakin mengkokohkan kekuasaan pemerintah Orde Baru (Malley, 2001: 130-40).
Usaha-usaha pemerintah Orde Baru mencapai keberhasilan gemilang pada tahun 1970-an, ditandai selain dari kestabilan politik juga pertumbuhan ekonomi nasional. Rentang tahun 1976 hingga tahun 1988 menjadi masa keemasan Orde Baru. Pada tahun-tahun tersebut, rencana pembangunan ekonomi Indonesia disokong oleh melonjaknya harga minyak bumi di pasar dunia. Sebagai salah satu negara pengekspor minyak bumi yang cukup besar, Indonesia memperoleh dampak dari terjadinya kenaikan harga minyak tersebut. Pada rentang tahun 1968 hingga 1973, produksi minyak mentah Indonesia meningkat pada tingkat tahunan rata-rata lebih dari 17 persen (Arndt, 1983:137-38). Fakta inilah yang menyebabkan lonjakan pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi tinggi. Antara tahun 1968 hingga 1981 ekonomi Indonesia tercatat tumbuh lebih dari 7 persen, prestasi yang menjadi rekor dan tak ada presedennya dalam sejarah modern Indonesia (Booth, 2001: 191-194).
Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Ali, Fachry & Effendy, Bahtiar (1986), Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan)
Anwar, Dewi Fortuna (1998), “Format Politik Orde Baru dan Agenda Pengembangan Demokrasi Politik”, dalam, Syarofin Arba (Ed.), Demitologisasi Politik Indonesia: Mengusung Elitisisme dalam Orde Baru, (Jakarta: PT Pustaka CIDESINDO)
Arndt, H. W. (1983), Oil and The Indonesian Economy, Southeast Asian Affairs. ISEAS - Yusof Ishak Institute, pp. 136-150
Booth, Anne & McCawley, Peter, (eds) (1981), The Indonesian Economy during the Soeharto Era. (Singapore: Oxford University Press).
Booth, Anne (2001) “Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan,” dalam Donald K. Emmerson (Ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia)
Malley, Michael (2001), “Daerah: Sentralisasi dan Perlawanan,” dalam Donald K. Emmerson (Ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia)
Mas’oed, Mohtar (1989), Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES)
Merle Calvin Ricklefs (1993). A History of Modern Indonesia since c. 1300. (Stanford (Ca.): Stanford University Press.
Moertopo, Ali (1973), Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun (Yayasan Proklamasi, Centre for Strategic and International Studies).
Tim Kompas (2008), Warisan (daripada) Soeharto (Jakarta: Penerbit Buku Kompas).