Orde Lama
Orde Lama merujuk kepada masa pemerintahan Sukarno yang berlangsung dari tahun 1959 hingga 1966. Istilah Orde Lama mulai digunakan sejak era Orde Baru, untuk membedakan rezim Sukarno yang dianggap lama oleh Soeharto sebagai Presiden Indonesia di era Orde Baru. Orde Lama juga dianggap sebagai masa-masa kepemimpinan Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin.
Awal mula kelahiran Orde Lama adalah Dekrit Presiden Republik Indonesia 1959. Dekrit ini berimplikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Pertama, isi dari dekrit tersebut mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu sendiri. Lalu kedua, dekrit juga menjadi penanda bagi berakhirnya periode parlementer tersebut sekaligus mengakibatkan berakhirnya pula periode pemerintahan yang dinamis di bawah empat partai politik besar, yakni Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia.
Setelah Dekrit disampaikan, fungsi parlemen pelan-pelan beralih ke tangan Presiden Sukarno. Melalui konsep demokrasi terpimpinnya, ia mencela demokrasi barat yang liberalistik (Adams, 2011). Lebih jauh Sukarno menyatakan bahwa demokrasi barat telah melahirkan ketidakstabilan politik dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, Sukarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin, yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manipol (Manifestasi Politik) yang isinya berintikan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia).
Manipol-USDEK adalah doktrin resmi yang dicetuskan oleh Sukarno sebagai suatu konsep politik yang harus diterima dan dijalankan dalam setiap aktifitas berbangsa dan bernegara (Morfit, 1981). Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang sudah tunduk pada Sukarno menetapkan Manipol USDEK sebagai Garis Besar Haluan Negar (GBHN) dan wajib diperkenalkan di segala level pendidikan dan pemerintahan. Tentu saja, pers diminta untuk mensirkulasi kebijakan-kebijakan ini.
Ada beberapa kebijakan khusus yang ditempuh oleh Orde Lama untuk menjaga stabilitas politik. Nasakom, singkatan dari Nasionalisme-Agama-Komunisme, adalah salah satunya. Konsepsi ini sudah dipikirkan oleh Sukarno sejak lama (Zulkifli, 2010: 5). Nasakom diharapkan dapat mengakomodir tuntutan tiga faksi utama dalam politik Indonesia ketika itu, yakni - tentara, kelompok-kelompok Islam, dan komunis.
Meski demikian, berbagai preseden yang melibatkan Islam di tahun 1950-1960 seperti Darul Islam membuat Sukarno cenderung meminggirkan Islam. Selain itu, Sukarno melarang Masyumi pada tahun 1960 karena hubungan para pemimpinnya dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan oposisi yang kuat terhadap bentuk pemerintahan baru. Keterwakilan partai Islam di parlemen turun menjadi 25 persen, sementara pengaruh Nahdlatul Ulama juga berkurang meski sikap resminya mendukung pelaksanaan demokrasi terpimpin (Latif, 2013).
Di sisi lain, kekuatan Komunisme semakin terkonsolidasi di masa ini. Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin dekat dengan Sukarno. Tapi bukan berarti Sukarno tidak paham soal ini. Justru sebaliknya, kekuatan tentara dan polisi diperkuat sehingga mampu menyeimbangkan kebangkitan komunisme saat itu (Mortimer, 2006). Selain dari legislatif, angkatan bersenjata dan polisi juga mulai hadir bahkan di eksekutif, dengan Sukarno mengangkat banyak pejabat dari layanan ke kementerian pemerintah di kabinet negara selain dari Kementerian Pertahanan dan Keamanan. Pada bulan Maret 1963 di Bandung, Jawa Barat, Sukarno, dengan pelanggaran berat terhadap UUD 1945, terpilih menjadi presiden seumur hidup (Presiden Seumur Hidup/Panglima Besar Revolusi) dengan bantuan angkatan bersenjata dan polisi, termasuk wakil-wakil mereka untuk majelis seperti yang disarankan oleh Nasution, merupakan pukulan telak terhadap rencana PKI merebut jabatan presiden (Nasution, 1966).
Di bidang ekonomi, pada tanggal 3 Desember, serikat pekerja PKI dan PNI mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda, tetapi 11 hari kemudian, Nasution menyatakan bahwa personel dari angkatan bersenjata akan menjalankan perusahaan-perusahaan ini sebagai gantinya. Tindakan ini kemudian memberi angkatan bersenjata peran ekonomi utama di negara itu (Lev, 2009).
Pada tanggal 25 Agustus 1959, pemerintah menerapkan kebijakan anti-inflasi. mendevaluasi mata uang sebesar 75 persen dan menyatakan bahwa semua Rp. 500 dan Rp. 1,000 uang kertas selanjutnya akan bernilai sepersepuluh dari nilai nominalnya (Wie, 2012: 109) Sementara itu, tindakan anti-etnis Tionghoa, termasuk pemulangan dan pemindahan paksa ke kota-kota, semakin merusak kepercayaan ekonomi (Wie, 2012: 125). Pada tahun 1960, inflasi telah mencapai 100 persen per tahun.
Persoalan lain yang mengemuka di masa Demokrasi Terpimpin ini adalah kasus Irian Barat. Lewat operasi Trikora, Sukarno dianggap telah melakukan aneksasi terhadap wilayah Papua Barat yang saat itu masih di bawah pengaruh Belanda (Heidbüchel, 2007). Urusan lain adalah konfrontasi dengan Malaysia, yang pada gilirannya membuat Sukarno mendeklarasikan diri bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selama pidato Hari Kemerdekaan 1964, Sukarno secara terbuka mencela Amerika Serikat. Kampanye anti-Amerika terjadi di mana perusahaan-perusahaan Amerika diancam, film-film Amerika dilarang, perpustakaan-perpustakaan Amerika dan bangunan-bangunan lain diserang, jurnalis Amerika dilarang, dan bendera Amerika sering dikoyak (Farram, 2007). Poster-poster propaganda anti-Amerika berukuran besar dipasang di sekitar jalan-jalan Jakarta. Bantuan Amerika dihentikan. Pada bulan Agustus 1965, Sukarno mengumumkan bahwa Indonesia menarik diri dari Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, dan dalam pidato Hari Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus, mengumumkan Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang, dan mengatakan bahwa rakyat akan dipersenjatai dalam beberapa bulan mendatang (Lev, 2009). Pada tanggal 27 September, Jenderal Nasution mengumumkan bahwa dia menentang rencana pembentukan "angkatan kelima" dan "Nasakomisasi" seluruh angkatan bersenjata.
Pada malam 30 September 1965, enam jenderal diculik dan dibunuh dan kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September menguasai stasiun radio nasional dan pusat Jakarta. Meskipun G-30-S dengan cepat dihancurkan oleh Suharto, gerakan itu menandai berakhirnya demokrasi terpimpin dan Sukarno sebagai presiden yang efektif
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Adams, Cindy Heller. 2011. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo
Farram, Steven. 2007. “Wage War against Beatle Music! Censorship and Music in Soekarno's Indonesia,” RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs 41 (2), 247-277.
Heidbüchel, Esther. 2007. The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches. Wettenberg: Johannes Herrrmann J&J-Verlag.
Latif, Yudi. 2013. Genealogi Intelegensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX. Jakarta: Kencana
Lev, Daniel S. 2009. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959. Jakarta: Equinox Publishing.
Morfit, Michael. 1981. “Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order Government,” Asian Survey 21 (8), 838-851.
Mortimer, Rex. 2006. Indonesia Communism under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Jakarta: Equinox Publishing.
Nasution, Abdul Harris. 1966. Sedjarah Perdjuangan Nasional dibidang Bersendjata. Jakarta: P.N. Karya Tjotas.
Wie, Thee Kian. 2012. Indonesia's Economy Since Independence. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Zulkifli, Arif, dkk. 2010. Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.