Muhammad Kholil Bangkalan

From Ensiklopedia

Seorang ulama lahir dari sebuah proses yang panjang, tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Begitu juga KH Muhammad Kholil Bangkalan (Kiai Kholil), ia lahir dari proses upaya yang dilakukannya dan tradisi yang melekat pada seseorang melalui sepak terjangnya yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat (Amin, 2012: 53).

Kiai Kholil lahir pada Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H bertepatan dengan 27 Januari 1820 M, di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Kiai Kholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, Kiai Abdul Latif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Kakek dari ayah adalah Kiai Hamimbin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu dari Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau ayahnya menginginkan Kholil kecil kelak mengikuti jejak keturunannya.

Sebagai anak kiai, pesantren menjadi tujuan untuk menuntut ilmu,  karena  pesantren pada era itu merupakan pusat dari perubahan masyarakat melalui penyebaran agama Islam. Kiai Kholil dididik mulai dari lingkungan keluarganya,  belajar ilmu agama dari sang ayah. Kemudian Kiai Kholil belajar dengan Kiai Qaffal, saudara iparnya. Sebelum merantau keluar Madura, Kiai Kholil  berguru di desa Malajeh, Bangkalan dengan Tuan Guru Dawuh, kemudian  belajar kepada Tuan Guru Agung.

Kiai Kholil  kemudian melanjutkan pendidikannya ke  Jawa, di  Pesantren Bungah Gresik (Kiai Sholeh), Pesantren Langitan Tuban (KH. Mohammad Noer), Pesantren Cangaan Pasuruan (K.H. Asyik), Pesantren Darussalam Pasuruan (Kiai Arif), Pesantren Sidogiri Pasuruan (Kiai Noer Hasan), Pesantren Winongan (Kiai Abu Dzarrin), dan Pesantren Salafyah Syaf’iyah Banyuwangi (Kiai Abdul Bashar) (Rachman, 2001: 17).

Kiai Kholil kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekkah pada tahun 1859. Di Mekkah Kiai Kholil bergabung dengan santri yang datang dari Nusantara, diantaranya Syaikh Abdul Ghoni, Syaikh Ibrahim, Syaikh Abdul Ghani Al Asyi, Syaikh Abdur Rouf Singkeli, Syaikh Yusuf, dan Syaikh Nahrowi, Syaikh Abdul Hamid Dhagistani, Syaikh Muhammad Khatib As Singkili, Syaikh Muhammad Yasin (Rachman, 2001: 21).

Di Mekkah, Kiai Kholil berguru ke Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Selain itu, Kiai Kholil juga berguru pada Syaikh Imam Muhammad Nawawi Al Bantani seorang mufasir, kemudian Syaikh Umar Khatib Bima seorang ahli fikih. Selain ilmu agama, Kiai Kholil juga belajar ilmu batin ke beberapa guru diantaranya Syaikh Ahmad Khatib Sambas, seorang mursyid thariqah dan juga ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fikih, kemudian Syaikh Ali Rabini. Syaikh Ali Rabanilah yang meminta Kiai Kholil untuk pulang ke tanah air untuk menyebarkan ilmu yang sudah di dapatnya kepada masyarakat.  

Kiprah Kiai Kholil setelah pulang dari tanah Suci tidak langsung mendirikan pesantren namun lebih memilih bekerja di kantor Adipati Bangkalan, dengan alasan Kiai Kholil ingin membangun sinergitas ulama dan penguasa. Kiai Kholil menjadi penasehat serta memberikan pengajaran kepada keluarga dan punggawa Kadipaten Bangkalan. Bagi Kiai Kholil menjadi bagian dari kekuasaan akan membawa syiar Islam semakin mudah diterima masyarakat luar (Amin, 2012: 70). Kharismanya yang semakin kuat membuat Kiai Kholil meluaskan dakwahnya melalui pesantren, dengan mendidik masyarakat untuk sadar dan membuka diri agar mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi bahwa kita dijajah.

Kiai Kholil sepanjang hidupnya mendirikan dua pesantren yaitu di Jangkebuan dan Kademangan. Pesantren Jangkebuan didirikan pada 19 Rajab 1290 H di atas tanah hadiah dari Adipati Bangkalan, Panembahan Ismail (Hadi, 2010: 45).Pesantren Jangkebuan diserahkan ke menantunya setelah putrinya, Siti Khatimah menikah dengan Kiai Muntaha. Kiai Kholil kemudian mendirikan pesantren di daerah Kademangan di sebelah Barat alun-alun kota kabupaten Bangkalan. Saat ini pesantren ini diasuh oleh keturunan Kiai Kholil. Di Kademangan, santri-santrinya tidak hanya berasal dari daerah sekitar, namun ada yang berasal dari luar Pulau Jawa.

Keberadaan murid-murid Kiai Kholil, membuktikan Kiai Kholil melahirkan ulama-ulama Nusantara yang mampu menjadi pionir lahirnya pesantren besar di Jawa dan Madura. Diantara sekian banyak murid Kiai Kholil yang menonjol antara lain K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), K.H. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), K.H. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), K.H. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang), K.H. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan K.H. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).

Kiai Kholil dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat memiliki delapan pemikiran. Pertama, “Berdakwah mengajarkan agama Islam lebih mudah apabila dekat dengan penguasa wilayah”. Pemikiran kedua, tawakal ‘ala kholil. Makna dari tawakal ‘ala Kholil adalah menghubungkan antara masjid sebagai simbol ketuhanan dan pusat pengajaran agama Islam, dengan perahu sebagai  simbol untuk mencari usaha.

Pemikiran ketiga, hidup sederhana, cinta ilmu dan akhlak mulia. Dibuktikan ketika Kiai Kholil menempuh pendidikan di Mekkah, dengan membiasakan hidup sederhana dan prihatin. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama belajar di Mekkah merupakan pengaruh dari ajaran Imam Ghazali. Pemikiran keempat pentingnya mengikat ilmu dengan tulisan, dengan tulisan ilmu akan bisa disampaikan ke yang lain dengan lebih baik.

Pemikiran kelima adalah penguasaan tata-bahasa Arab. Penguasan Bahasa Arab sebagai bahasa sumber ilmu akan sangat membantu dalam menggali ilmu dari kitab-kitab yang terkait dengan ajaran Islam, yaitu belajar Islam dari kitab sumbernya. Pemikiran keenam adalah pentingnya ilmu mengenal Allah. Beliau memperoleh derajat tinggi dikarenakan ilmu yang utama, yaitu ilmu mengenal Allah dan syari’at-Nya. Pemikiran ketujuh adalah belajar ilmu tasawuf untuk mengimbangi gejolak hawa nafsu dan bujukan syaitan.

Pemikiran kedelapan adalah memperjuangkan akidah Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah, semangat cinta tanah air dan rela berkorban dalam mengusir penjajah dari tanah air Indonesia. Hal ini tercermin di dalam peran Kiai Kholil dalam mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Oelama (NU) pada tahun 1926. (Awaluddin, At Tarbawi, 2020, Vol.5).

Pemikiran Kiai Kholil, dapat disimak melalui karya-karyanya antara lain: (1) Kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif, (2) Kitab Ilmu Qawaid I’rab, (3) Kitab Isti’dad al-Maut atau lebih ringkasnya adalah fikih jenazah, dan (4) As-Silah fi Bayani Nikah.

Kiai Kholil juga memiliki peran dalam pembentukan Nahdlatul Ulama, walaupun tidak terlibat secara langsung. Hal ini terlihat dari kiprah santri-santrinya dalam pendirian NU, seperti K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.

Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Awaludin, Asep. “Implementasi Pemikiran Kh. Muhammad Kholil Bangkalan Dan Generasi Kontemporer”. Jurnal  At Tarbawi terbitan tahun 2020 Vol 1,

Imron, Fuad Amin. Syaikhona Kholil bangkalan Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama, Sidoarjo: Khalista, 2012.

Rachman, Syaifur, Biografi dan karomah Kiai Kholil Bangkalan, Surat Kepada Anjing Hitam, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2001.

Solehhuddin. (2015). Sejarah Kh. Kholil Bangkalan. Diunduh pada 28 Oktober, 2021, dikutip dari https://prastioku.blogspot.com/2015/02/sejarah-kh-kholil-bangkalan.html