Abdul Wahab Hasbullah

From Ensiklopedia
Abdul Wahab Hasbullah. Sumber: Koleksi ANRI P01_0126

K.H. Abdul Wahab Hasbullah adalah tokoh ulama terkemuka di Indonesia dan berperan penting dalam pergerakan antikolonial dan  pembentukan negara Republik Indonesia pada dekade 1940an dan 1950an.  lahir di Tambakberas, Jombang, pada 1888. Masa kanak-kanak hingga remajanya dihabiskan di lingkungan pesantren. Sampai umur 13 tahun, Wahab kecil menimba ilmu di pesantren keluarganya. Dimulai dengan belajar membaca Al-Quran di masa kanak-kanak, kemudian beranjak mempelajari kitab-kitab kuning tingkat elementer di sekitar teologi Islam, yurisprudensi Islam (fiqih) dan ilmu-ilmu alat sebagai fondasi untuk memasuki khasanah keilmuan ulama-ulama tradisi yang terkandung di dalam kitab kuning. Salah satu kegemarannya adalah kajian sastra Arab dan bait-bait sajak Banat Su’ad dan Burdah (Atjeh, 2011: 137).

Wahab juga adalah seorang santri kelana, seorang santri yang tidak hanya belajar di satu pondok pesantren saja selama masa hidupnya. Pesantren pertama yang menjadi tujuan pengelanaannya adalah Pesantren Langitan di Tuban, salah satu pesantren tuan yang didirikan oleh K.H. Muhammad Nur pada 1852 (Rambe, 2020: 35).  Di pesantren ini Wahab fokus memperdalam ilmu fikih melalui kitab Fathul Mu’in karya Mu’in Zaid al-Din al-Malibari (Anam, 2015: 202; Solahudin, 2013: 95). Setelah dari sini, dia melanjutkan pengembaraan keilmuan ke Pesantren Mojosari Nganjuk untuk belajar fikih, Pesantren Cempaka meski hanya enam bulan (Dhofier, 1982: 25), Pesantren Tawangsari Surabaya mempelajari fikih lanjut dengan menamatkan Al Iqna karya Khatib Syarbini dan tajwid Al-Quran (Anam, 2015: 203). Merasa cukup dengan dasar-dasar ilmu agama, Wahab melanjutkan studinya ke Pesantren Kademangan, Madura. Di sini dia mendalami berbagai ilmu seperti nahwu, sharf, balaghah, dan mantiq terutama dari kitab Alfiyah karya Ibnu Malik (Rambe, 2020: 36). Ia juga mempelajari kitab-kitab fikih lanjutan dari mazhab Syafi’i, tauhid, dan tasawuf di Pesantren Branggahan Kediri (Anam, 2015). Setelah dari sini, Wahab nyantri di Tebuireng, sebuah pesantren terkemuka yang menelurkan banyak tokoh-tokoh agama di kemudian hari.

Makkah menjadi destinasi setelahnya bagi Wahab. Sesuai nasehat K.H. Hasyim Asy’ari, dia berangkat pada 1910 ketika usianya menginjak 27 tahun. Di masa itu, Makkah menjadi pusat transmisi keilmuan yang memperjumpakan berbagai pembelajar dari seluruh pelosok dunia. Di sana, Wahab berjumpa dengan banyak syekh dan belajar banyak dari mereka. Hal lain yang terpenting adalah Wahab masuk ke dalam komunitas Jawi––sebuah komunitas yang merujuk bukan hanya Pulau Jawa, namun wilayah-wilayah Melayu di Asia Tenggara––dan semakin memperkuat hubungan keilmuan antara Makkah dengan Islam di Nusantara.

Meski saat itu Wahab sedang menikmati pengembaraan ilmunya di Makkah, ia tetap mengikuti perkembangan Indonesia yang saat itu sedang berada pada masa kebangkitan menuju sebuah bangsa merdeka. Wahab, Raden Asnawi-Kudus, Abbas Jember, dan Muhammad Dahlan Kertosono mendirikan Sarekat Islam cabang Makkah (Rambe, 2020: 92). Karena itu setelah kembali ke Indonesia, pada 1914, Wahab langsung berada di tengah pusaran pergerakan. Ia lebih memilih tinggal di Surabaya yang ketika itu menjadi pusat pergerakan kebangsaan daripada kembali ke Tambakberas. Wahab menyadari bahwa gerbong pesantren harus turut terlibat dalam memperjuangkan wacana kebangsaan.

Pada 1916, Wahab bersama tokoh muda seperti Mas Mansur, Bisri Syamsuri, Abdul Halim, dan Abdullah Ubaid mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa), yang awalnya adalah sebuah sekolah bercorak modern (Anam dkk., 2014: 208). Cabang-cabang Nahdlatul Wathan segera dibuka di kota-kota lain di Jawa. Pada 1918, Wahab dan ulama senior Surabaya, K.H. Achmad Dahlan Kebondalem, membentuk kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) yang mempertemukan tokoh-tokoh modernis dan pesantren untuk mendiskusikan masalah keagamaan. Di tahun yang sama, ia juga mendirikan koperasi dagang bersama tokoh penting yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Koperasi ini diberi nama Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang) untuk menghimpun pedagang dan pengusaha di sekitar Surabaya, Jombang, dan Kediri. Saat itu, kiai-kiai pesantren pada umumnya adalah juga pedagang, seperti halnya Kiai Wahab dan Kiai Hasyim sendiri (Anam dkk., 2014: 208).

Ketiga organisasi yang dirintis oleh Wahab Hasbullah ini menjadi wadah penting bagi perkembangan aktivisme para santri secara umum, dan lebih khusus bagi Wahab sendiri. Tiga organisasi ini telah menjembatani pertukaran pikiran di antara ulama-ulama muda saat itu yang perannya sangat penting di kancah nasional. Selain itu, baik Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, maupun Nahdlatul Tujjar juga terdiri dari ulama yang tidak hanya berasal dari latar belakang tradisional, tapi juga berisi ulama-ulama yang mengusung modernism Islam seperti Ahmad Dahlan, Mas Mansur, dan bahkan anggota Boedi Oetomo bernama Mangun (Haidar, 1994: 114).

Pergaulannya dengan kalangan yang luas disadari sebagai bagian dari upaya membangun persatuan umat Islam. Namun, banyak peristiwa justru sering mengabaikan kepentingan ulama pesantren. Pada Kongres Al-Islam, terutama yang terjadi di Cirebon (1922) dan Yogyakarta (1925), terdapat gesekan cukup keras antara kalangan pesantren tradisional dengan kalangan Islam modernis (Rambe, 2020: 151–56). Hal ini kemudian menimbulkan pertikaian-pertikaian yang sebetulnya bersifat khilafiyah (Fealy, 2009), tidak esensial seperti memperbincangkan ulang dasar-dasar dalam berislam seperti mematuhi rukun iman maupun rukun Islam.

Gesekan tersebut kemudian menjadi titik awal kemunculan dari Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) atau NU. Maka, ia mulai menggagas organisasi ulama pesantren, untuk melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang mulai terancam oleh paham modernisme maupun Wahabi. Ketika terjadi perubahan politik di Semenanjung Arab, paham Wahabi mendapatkan tempat politik karena digandeng oleh keluarga Raja Saud yang memenangkan pertarungan politik di sana (Bruinessen, 1994: 30). Islam yang mengakomodir khazanah lokal disingkirkan, situs-situs sejarah yang seharusnya dihormati juga ingin dilenyapkan. Bagi sekelompok umat Islam Indonesia yang merasa seaspirasi dengan modernisme dan wahabisme mendukung langkah kerajaan Saudi tersebut. Mereka memanfaatkan forum-forum internasional seperti Kongres Makkah untuk mendukung itu (Noer, 1978: 243). Lebih lagi, kalangan modernis yang ke Makkah dari Indonesia juga tidak menanggapi usul kalangan ulama tradisional agar praktik-praktik yang selama ini dilakukan oleh mereka dibicarakan di forum internasional tersebut bukanlah praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Islam (Rambe, 2020: 156).

Wahab menggalang solidaritas ulama pesantren untuk membuat panitia kecil untuk merespons perkembangan di hijaz itu. Maka, atas izin K.H. Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah mengundang ulama-ulama terkemuka ke Surabaya pada akhir Januari 1926. Bertempat di rumahnya, di Kertopaten, Surabaya, ulama menyetujui pembentukan Komite Hijaz yang akan mengirimkan delegasi ke Kongres di Makkah dan bertemu Raja Saud untuk mempertahankan praktik keagamaan yang selama ini berlangsung dan diatur oleh mayoritas umat Islam dunia. Paling tidak, ada lima hal yang ingin disampaikan kepada Raja Saud kala itu (Fealy, 2009) yakni: pertama, meminta agar Raja Saud memberikan kebebasan dalam menjalankan praktek-praktek beragama menurut empat mazhab besar yang ada seperti Syafi’i, Hanafi, Maliki, maupun Hambali. Kedua, meminta kepada raja agar tempat-tempat bersejarah umat Islam seperti masjid, rumah Fathimah, bangunan di Khaizuran, agar tetap dipelihara dan tidak perlu dirubuhkan sesuai keinginan kelompok Wahabi. Ketiga, meminta raja agar setiap musim haji hal-hal yang berkenaan dengan informasi pelaksanaan haji disebarluaskan. Keempat, meminta raja agar segala peraturan yang ada di tanah Hijaz agar dibuat dalam bentuk undang-undang agar semua orang memahaminya. Kelima, meminta raja untuk menjawab secara tertulis segala usulan yang disampaikan.

Delegasi yang dikirim ke Hijaz ini kemudian perlu organisasi formal yang mewadahinya. Salah satu kiai, yakni Asnawi, melempar sebuah pertanyaan ke forum ulama tradisional, “Apakah tidak lebih baik bila delegasi ini mewakili organisasi formal?” (Bizawie dan Koeshendraty, 2014: 92). Salah satu kiai, Mas Alwi Abdul Aziz, pun mengusulkan sebuah nama, yani Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), yang pengertiannya bermakna gerakan serentak para ulama dalam wadah formal yang terorganisasi secara rapih (jam’iyyah). Mendengar usulan Mas Alwi ini, Kyai Hasyim kemudian bertanya, “Kenapa ada Nahdlah, kok tidak jam’iyyah ulama saja?”. Mas Alwi menjawab, “Karena tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekedar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam’iyyah” (Ulum dan Alkaaf, 2014: 123). Usul Mas Alwi akhirnya diterima secara aklamasi dan perdebatan pun berakhir. Sejak itu nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dipergunakan, dan tanggal 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan tanggal 26 Desember 1926 secara resmi dinyatakan sebagai hari kelahiran NU (Anam dkk., 2014: 4).

Delegasi ini Mereka berhasil mendapatkan jaminan dari Raja Saud mengenai kebebasan untuk melaksanakan amalan dan ajaran mazhab empat di Hijaz. Adapun usulan-usulan delegasi ini tidak diterima sama sekali oleh Raja Saud (Rambe, 2020: 164). Setelah dari Makkah, Kiai Wahab dan rombongan delegasi kemudian memanfaatkan kunjungan tersebut untuk sekaligus menunaikan ibadah haji dan ke Mesir sebelum kemudian pulang ke Surabaya.

Sementara itu, terus berkembang. Cabang-cabang NU didirikan di mana-mana, tak hanya di Jawa. Peranan NU tak sebatas ubudiyah, tetapi juga mengarahkan perkembangan sosial, pendidikan, bahkan politik nasional. Pada tahun 1930-an, Wahab menginisiasi sebuah organ pemuda dan perempuan di tubuh NU. Ini merupakan perkembangan yang sangat penting dalam NU yang akan mempengaruhi perkembangan Indonesia di masa datang (Anam dkk., 2014, 210). Menyadari tantangan juga datang dari situasi politik yang masih dikuasai oleh kebijakan kolonial, Kiai Wahab mencoba menghimpun kekuatan organisasi Islam. Wahab mengambil posisi penting dalam menyiapkan kelahiran MIAI. Untu k mewujudkannya, Wahab aktif menyampaikan maksudnya ini ke kalangan nahdliyin disamping juga membina komunikasi dengan wakil-wakil golongan Islam yang lain. Dengan dibantu rekannya, K.H. Muhammad Dahlan-Kebondalem, Wahab tak mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan kawan lamanya dari Muhammadiyah, K.H. Mas Mansur. Selain itu ia juga berkomunikasi dengan W. Wondoamiseno pimpinan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Rapat awal pendirian MIAI dilangsungkan di rumah Wahab di Surabaya yang dihadiri oleh K.H. Muhammad Dahlan, K.H. Mas Mansur dan Wondoamiseno. Dalam konferensi yang diadakan tanggal 18–21 September 1937 di Pondok Pesantren Kebondalem (Bizawie dan Koeshendraty, 2014: 101), didirikanlah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dihadiri oleh 12 organisasi Islam baik organisasi-organisasi Islam besar maupun organisasi-organisasi Islam lokal (Anam, 2015: 102).

Salah satu isu penting yang menjadi perhatian MIAI adalah Volksraad (Dewan Rakyat) dan Guru Ordonantie 1925. NU sendiri tetap menjaga diri tidak berpolitik, sehingga MIAI menjadi jalan untuk menyampaikan pesan-pesan politik itu. Bahkan, tak hanya MIAI, NU juga mendukung pembentukan Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI) yang beranggotakan delapan partai politik, menuntut pembuatan undang-undang dasar nasional dan parlemen yang sepenuhnya beranggotakan orang Indonesia.

Masa pendudukan Jepang (1942-1945) merupakan masa sulit, namun juga penuh tantangan. Pada awalnya Jepang bersikap keras terhadap Islam, khususnya NU. NU sempat dibubarkan, dan banyak ulama ditangkap, salah satunya adalah K.H. Hasyim Asy’ari sendiri. Kiai Wahab dengan segala risiko, menjadi tim pembebasan ulama-ulama. Kepada para konsul NU Kiai Wahab mengingatkan bahwa pemerintahan militer Jepang itu kejam, karena itu demi tujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan NU harus pandai-pandai bersiasat dengan taktik yahannu. Sikap Kiai Wahab dalam hal ini sesungguhnya sama dengan Sukarno yang memilih jalur kompromi untuk dapat mempengaruhi kebijakan politik pemerintahan militer Jepang agar lebih akomodatif dengan tuntutan nasionalisme Indonesia. Sikap ini sesungguhnya tidaklah berbeda dalam hal tujuan dengan kaum non kooperator yaitu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (kelompoknya Sjahrir dan Tan Malaka), hanya saja bersikap luwes dan seolah-olah berkompromi (Rambe, 2020: 339).

Setelah itu, Jepang menyadari kesalahannya dan merangkul ulama untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Ketika Masyumi dibentuk Jepang menggantikan MIAI, K.H. Hasyim Asy’ari diangkat menjadi ketua umum pertamanya. Tak hanya itu, ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama) juga diberikan kepada K.H. Hasyim dan Kiai Wahab menjadi penasihat dewan pelaksananya. Di bawah Masyumi, terdapat sayap milisi yang disebut Hizbullah dipimpin Zainul Arifin (NU). Tokoh-tokoh NU juga terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada Maret 1945. Dalam ensiklopedia Nahdlatul Ulama (Anam dkk., 2014, 210) dijelaskan bahwa ketika akhirnya Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, peran NU semakin bertambah berat. Ketika itu, NU bergabung dalam federasi Masyumi dalam perpolitikan nasional. Revolusi memberi pilihan-pilihan sulit, tetapi NU tetap membela proklamasi. Karena itu, upaya mempertahankan negara Indonesia, NU bulat berada di barisan Sukarno-Hatta. Ketika Belanda akan menguasai kembali bekas jajahannya, NU mengeluarkan Resolusi Jihad, dan membentuk barisan milisi. Sebagian bergabung dalam Hizbullah, Sabilillah, dan Kiai Wahab membentuk Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBOD).

Sementara itu, situasi perpolitikan internal Masyumi yang pada awalnya berada dalam kendali Kiai Wahab dan Kiai Hasyim, di kemudian hari peranan ulama NU dipinggirkan. NU pada pilihan sulit, apakah harus tetap “bersatu" di Masyumi atau berdiri sendiri sebagai partai politik. Pada Muktamar NU di Palembang 1952, Kiai Wahab sebagai Rais ‘Am mengajak muktamirin untuk membentuk partai politik tersendiri (Anam dkk., 2014: 210–11). Banyak yang keberatan dengan alasan tak cukup sumber daya yang bisa mengurus partai politik. Tetapi, Kiai Wahab bersikukuh, dan akhirnya diputuskan NU keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik mandiri. Pada pemilu 1955 tak seperti diduga kebanyakan orang, NU meraih suara signifikan, dan posisinya dalam urutan ketiga setelah PNI dan Masyumi. Ketika terjadi kebuntuan di konstituante, presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959. Konstituante dan parlemen dibubarkan diganti DPR-GR yang anggotanya diangkat tanpa pemilihan.

Lagi-lagi NU berada dalam posisi antara memilih berada di luar DPR-GR atau ikut di dalamnya. Kiai Wahab meyakinkan para ulama agar tetap di DPR-GR. Begitu pula ketika Sukarno mencetuskan kebijakan politik Nasakom yang kontroversial, NU atas pertimbangan Kiai Wahab masuk dalam koalisi itu. Bagi Kiai Wahab, politik merupakan sarana, bukan tujuan. Sarana untuk memelihara agama. Bukan sebaliknya, agama untuk politik. Pertimbangan itu membuat NU tak terpancing untuk melakukan pemberontakan terhadap kepemimpinan nasional (Anam dkk., 2014: 211). Bahkan, NU mengukuhkan kepemimpinan nasional. Bahkan, NU mengukuhkan kepemimpinan nasional sebagai waliyyul amri ad-dlaruriy bissyaukah (Kepemimpinan Nasional Darurat). Ulama NU meyakini lebih baik kepemimpinan dipertahankan daripada negeri ini bubar karena anarkisme maupun kekosongan kekuasaan.

Di balik semua itu, Kiai Wahab sebagai Rais ‘Am NU sepeninggal Kiai Hasyim Asy’ari, merupakan sosok sangat menentukan. Pertimbangan politiknya tak hitam putih. Negara Indonesia yang dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945 harus dipertahankan, jangan sampai terpecah. Semangat inilah yang di kemudian hari dikukuhkan dalam Muktamar NU 1984, bahwa Republik Indonesia sudah final, dan Pancasila sebagai dasar negara harus diterima oleh seluruh komponen bangsa ini (Anam dkk., 2014: 211). Dasar pemahaman atas keindonesiaan sebagai perpaduan dari paham keagamaan yang mendalam dan keperluan persatuan bangsa, benar-benar dihayati oleh Kiai Wahab bukan dalam ukuran untung-rugi. “Indonesia” sudah menyatu dalam dirinya, bahkan sejak nama itu belum punya legitimasi politik yang sah.

Abdul Wahab Hasbullah wafat pada 29 Desember 1971, empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, dan dimakamkan di Kompleks Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Wahab kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2014.

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Anam, A. Khoirul, A. Zuhdli Mudhlor, Ahmad Baso, dan M. Imam Aziz. 2014. “Wahab Hasbullah, Abdul, K.H.” Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren 4: 208–11.

Anam, Choirul. 2015. K.H. Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya. Surabaya: Duta Aksara Mulia.

Atjeh, Aboebakar. 2011. Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. Jakarta: Mizan.

Bizawie, Zainul Milal, dan Aprilllia Koeshendraty. 2014. Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia, 1945-1949. Tangerang: Pustaka Compas.

Bruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS & Pustaka Pelajar. http://books.google.com/books?id=LZAxAAAAMAAJ (Desember 12, 2021).

Dhofier, Zamakhsyari. 1982. The Pesantren Tradition: The Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Islam in Java. Monograph Series Press, Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University.

Fealy, Greg. 2009. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nu 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.

Haidar, M. Ali. 1994. Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia: Pendekatan Fikih Dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. http://books.google.com/books?id=eWMxAAAAMAAJ (Desember 12, 2021).

Noer, Deliar. 1978. The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Kuala Lumpur: Oxford university press.

Rambe, Safrizal. 2020. Sang Penggerak Nahdlatul Ulama: K.H. Abdul Wahab Chasbullah. Jakarta: Madani Institute.

Solahudin, M. 2013. Napak Tilas Masyayikh: Biografi 15 Pendiri Pesantren Tua Di Jawa-Madura. Kediri: Nous Pustaka Utama.

Ulum, Amirul, dan Yusuf Aboebakar Alkaaf. 2014. The Founding Fathers of Nahdlatoel Oelama: Rekaman Biografi 23 Tokoh Pendiri Nu. Sidoarjo: Bina Aswaja.