Negara Sumatra Timur (NST)

From Ensiklopedia

Negara Sumatra Timur (NST) adalah negara federal otonom di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), yang dibentuk oleh tokoh-tokoh bangsawan terpelajar Melayu dan Simalungun pada masa revolusi kemerdekaan. NST mendapat sokongan penuh dari Belanda, sehingga membuat NST menjadi negara federal paling lama bertahan dibandingkan dengan negara-negara federal lainnya, yang juga sama-sama terbentuk pada masa revolusi, yaitu sejak Januari 1948 sampai dengan Agustus 1950.  

Berdirinya NST bertepatan dengan Agresi militer Belanda I yang dianggap sebagai suatu kesempatan bagi elite Melayu berpendidikan Barat untuk memperkuat identitas Melayu mereka. Sebelum adanya Agresi Militer I, tepatnya tahun 1938, sejumlah elit Melayu telah membentuk Persatuan Sumatra Timur (PST). Berbekal ide dan semangat yang melandasi pembentukan PST, mereka bertekad untuk kembal menegakkan kepentingan-kepentingan etnis Melayu dan Simalungun melalui sokongan Belanda. Hal ini tidak terlepas dari rasa sakit hati mereka terhadap “revolusi sosial” yang telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari keluarga mereka.

Untuk menuntut otonomi bagi Sumatra Timur, dibentuk sebuah panitia yang secara bertahap meningkat menjadi Dewan Sementara Negara Sumatra Timur (NST). Dua belas anggota panitia ini adalah bangsawan-bangsawan Melayu atau Simalungun yang kehilangan banyak keluarga mereka masa revolusi sosial. Manifesto yang dikeluarkan oleh panitia ini adalah mencela tindakan-tindakan kelompok Republik setelah revolusi sosial dan mencela disingkirkannya semua wakil penduduk asli secara sistematis dari kedudukan pentingnya. Hal ini dibuktikan dari tidak seorangpun pejabat di wilayah Melayu di Sumatra Timur yang berasal dari suku Melayu (Reid 1987: 415).

Proses lahirnya NST diawali dengan rapat umum di Medan untuk menuntut Daerah Otonomi Sumatra Timur pada 30 Juli 1947, tepatnya sepuluh hari setelah Agresi Belanda I. Turut hadir dalam rapat tersebut Residen Sumatra Timur, Mr. G. Gerritsen. Sebagai realisasi dari rapat tersebut dibentuk Komite Daerah Istimewa Sumatra Timur (Komite DIST) yang mendapat pengakuan berdasarkan dekrit yang dikeluarkan oleh H.J. van Mook pada 18 Oktober 1947. Pada 8 Oktober 1947, van Mook menetapkan Komite DIST menjadi Dewan Sementara dengan 10 anggota tambahan dari wakil masyarakat Jawa, Belanda, Eurasia, dan India. Pada 15 November Dewan Sementara bersidang untuk memutuskan rancangan konstitusi yang telah dipersiapkan di bawah bimbingan langsung Dr. Tengku Mansur dan komisi teknik dewan, serta memilih Wali Negara. Dr. Tengku Mansur dipilih sebagai Wali Negara pertama dan Tengku Bahriun serta C.J.J. Hoogenboom sebagai Wakil Ketua I dan II. Daerah Istimewa Sumatra Timur mendapat pengakuan sebagai sebuah negara, dengan nama Negara Sumatra Timur (NST) berdasarkan dekrit yang dikeluarkan oleh Van Mook pada 25 Desember 1947. Berdasarkan dekrit itulah pada tangal 29 Januari 1947 NST diproklamirkan dalam sebuah upacara di kota Medan. Lahirnya NST mendapat kecaman keras dari Pemerintah Republik Indonesia, karena dianggap sebagai negara boneka Belanda (Suprayitno 2001:84-92).

NST menjadi persekutuan anti Republik yang terdiri atas golongan bangsawan Melayu, sebagian besar raja-raja Simalungun, tokoh Tionghoa (Pao An Tui), dan beberapa kepala suku Karo yang mendapat sokongan Belanda, serta komunitas Eropa. Dengan lahirnya NST, elit Melayu dan komunitas Eropa merebut kembali hak istimewa mereka. Kepentingan perusahaan perkebunan mendapat prioritas khusus. Sikap represif terhadap laskar dan pendukung republik di pedesaan memperkuat ikatan anasir NST. Kesetiaan NST untuk melanjutkan pemerintahan Belanda direspon dengan memberikan dukungan ekonomi dan militer, terutama di kawasan perkebunan. Secara khusus, Belanda menempatkan lima ribu penjaga yang bertugas aktif dan melatih dua ratus penjaga tambahan untuk menangkal serangan laskar. Ditempatkan juga empat unit mobil dilengkapi dengan 4.750 senjata, 500 pistol, dan 150 senjata Sten. Tidak mengherankan, akibatnya infiltrasi laskar ke jantung NST menurun drastis sehingga banyak manajer perkebunan Eropa yang menamakan periode ini dengan sebutan pemulihan Deli sebagai “sabuk perkebunan Sumatera” (Stoler 1988: 241).

Pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag akhir tahun 1949 dan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), NST menjadi sebuah Negara Bagian dalam RIS yang tergabung dalam Badan Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO) yang diketuai oleh Sultan Hamid II. Tanggal 15 Agustus 1950 NST resmi dibubarkan, bersamaan dengan pembubaran RIS dan kembali ke Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI).

Penulis: Mawardi
Instansi: Universitas Syiah Kuala
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Reid, Anthony, 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suprayitno, 2001. Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia Dari Federalisme ke Unitarisme: Studitentang Negara Sumatera Timur 1947-1950. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Stoler, Ann Laura, 1988. “Working the Revolution: Plantation Laborers and the People's Militia in North Sumatra” dalam  The Journal of Asian Studies , May, 1988, Vol. 47, No. 2 (May, 1988), hal. 227-247, https://www.jstor.org/stable/2056166