Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA)

From Ensiklopedia

Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) merupakan sekolah pendidikan bagi para pejabat pribumi. Robert van Niel menyebutnya Sekolah untuk Mendidik Pamong Pribumi (van Niel 1984: 70). Sekolah ini juga dikenal dengan sebutan sekolah menak atau sekolah raja (Kartodirdjo 1993: 79). Sumarsono menyebut OSVIA sebagai sekolah hukum yang lebih mengkhususkan pada pendidikan pangreh praja dan jaksa. OSVIA didirikan pada 1900 dengan jangka waktu pendidikan selama lima tahun (Mestoko 1985: 120). Namun sejak 1927 masa pendidikannya dikurangi menjadi tiga tahun. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Belanda (Ricklefs 1995: 237).

Syarat untuk memasuki OSVIA adalah lulusan ELS (Europesche Lagere School), yaitu sekolah dasar Belanda, khususnya yang terintegrasi dengan Hoofdenschool (Sekolah Raja atau Sekolah Pangreh Praja atau Sekolah Para Pemimpin) (Mestoko 1985: 120). ELS merupakan satu-satunya sekolah dasar yang mengajarkan bahasa Belanda kepada orang-orang Jawa (Scherer 1985: 45). Hoofdenschool adalah sekolah yang didirikan untuk menyiapkan pegawai yang mampu memenuhi kepentingan administrasi pemerintahan (Moestoko 1985: 93-94). Sejak 1891 sekolah-sekolah rendah Eropa yang merupakan prasyarat wajib untuk memasuki OSVIA sudah terbuka untuk orang-orang Indonesia, tetapi hanya orang-orang kaya yang mampu membayar uang sekolahnya (Ricklefs 1995: 237).

OSVIA merupakan perubahan dari Hoofdenscholen, yang didirikan pertama kali di Tondano pada 1865 (Mestoko 1985: 94). Pada 1978 secara serentak dibuka Hoofdenschool di Bandung, Magelang dan Probolinggo. Demikian pula sekolah di Tondano yang pada 1872 ditutup, dibuka kembali (Kartodirdjo 355).

Hoofdenscholen tidak memberikan latihan administrasi secara khusus, tetapi mengajarkan mata pelajaran praktik mirip sekolah guru. Masa belajar diperpanjang dari dua tahun menjadi lima tahun dan ditambahkan mata pelajaran hukum yang dianggap secara khusus berguna bagi masa depan bupati karena sebagian besar murid Hoofdenscholen adalah putra-putra bupati, dan  mereka diasumsikan akan menggantikan ayahnya (Sutherland 1983: 52-53).

Pada 1893, Hoofdenscholen di Magelang mulai memperkenalkan kurikulum baru. Dengan reorganisasi Hoofdenschool Magelang ini, maka bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pelajaran dihapuskan karena dirasakan sebagai beban yang tidak berguna bagi para pelajar; tetapi disadari bahwa langkah ini merupakan suatu kesalahan karena pemerintah sangat berkeinginan untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang Belanda, sehingga pada 1899 bahasa Belanda kembali diajarkan. Pada 1900 Hoofdenscholen yang berada di Bandung dan Probolinggo mengalami reorganisasi serupa (Sutherland 1983: 53).

Sejak itu baik yang berada di Magelang, Bandung maupun Probolinggo disusun kembali menjadi sekolah-sekolah yang nyata-nyata direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Sutherland 1983: 53). Pada 1927 OSVIA direorganisir menjadi MOSVIA (Middlebaar Opleidingsschool voor Indische Amtenaren) dengan lama pendidikan tiga tahun dan menerima lulusan dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) (Mestoko 1985: 120).

Ketika sekolah-sekolah menengah lain mengalami reorganisasi, OSVIA ternyata mengalami ketinggalan (van Niel 1984: 70). Namun, sebagaimana sekolah-sekolah lain, OSVIA juga berperan menghasilkan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Ketika Boedi Oetomo didirikan, salah satu cabangnya dibentuk di OSVIA. Pada 1909 seorang lulusan OSVIA bernama Tirtoadisurjo meninggalkan dinas pemerintahan dan menjadi wartawan, mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia dan pada 1911 mendirikan lagi di Buitenzorg (Ricklefs 1995: 249,  252).

Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Kartodirdjo, Sartono (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat.

Kartodirdjo, Sartono (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua.

Mestoko, Soemarsono (1985). Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. (1995). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiry Press, Cetakan Kelima.

Scherer, Savitri Prastiti (1985). Keselarasan dan Kejanggalan. Pemikiran-pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Sutherland, Heather (1983). Terbentuknya sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

van Niel, Robert (1984). Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.