Alimin Prawirodirdjo

From Ensiklopedia
Alimin Prawirodirdjo. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal No. P01-0326


Alimin Prawirodirdjo adalah seorang tokoh komunis Indonesia yang aktif di dalam pergerakan nasional dan terlibat dalam berbagai organisasi politik. Ia terlibat di dalam berbagai gerakan buruh, menjadi oposisi terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, serta terlibat di dalam pendirian PKI (Partai Komunis Indonesia) sejak awal abad ke-20. Selama beberapa tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, Alimin pergi ke berbagai negara, termasuk Malaya, Rusia, dan China untuk menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok yang berhaluan komunisme dan membangun gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Setelah kembali ke Indonesia, ia terlibat aktif di dalam PKI dan menduduki posisi penting di dalam pemerintahan, hingga kemudian keluar dari partai pada tahun 1950-an dan meninggal dunia pada tahun 1964.

Alimin lahir di Surakarta pada tahun 1889. Pada usia sembilan tahun, Alimin diangkat anak oleh G.A.J. Hazeu, seorang ahli kebudayaan Jawa, sehingga ia dapat memperoleh pendidikan yang memiliki standar yang cukup baik. Alimin mengenyam pendidikan di sekolah Eropa di Batavia, ia fasih di dalam berbagai bahasa, di antaranya adalah Belanda, Inggris, Perancis, dan bahasa Sunda (McVey, 2006: 168). Alimin sempat bekerja di dalam dunia jurnalistik. Ia pernah menjadi editor di Modjopahit, terbitan milik Insulinde di Batavia. Ia juga pernah menjadi wartawan di Djawa Moeda (McVey, 2006: 168).

Perjalanan Alimin di dunia politik dimulai sejak ia muda. Ia pernah terlibat di dalam Boedi Oetomo dan beberapa organisasi pergerakan buruh dan pekerja. Kedekatannya dengan H.O.S. Tjokroaminoto, membuat Alimin bergabung di dalam (CSI) Centraal Sarekat Islam, yang merupakan cikal bakal SI (Sarekat Islam) (McVey, 2006: 168). Ia juga sempat terlibat secara aktif di dalam pergerakan buruh, terutama kepengurusan PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemipoetra) (Shiraishi, 1990: 107). Selain itu, Alimin juga tergabung dalam ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging atau Ikatan Sosial-Demokrat Hindia), organisasi bentukan Henk Sneevliet di Surabaya pada tahun 1914 (McVey, 2006: 168-169). Secara umum, organisasi ini beranggotakan orang-orang Belanda, akan tetapi mereka berupaya untuk mencari basis pendukung yang berasal dari kalangan pribumi, sehingga dalam kurun waktu dua tahun setelah didirikan, ISDV menjalin hubungan dengan Insulinde (Ricklefs, 2008: 210). Akan tetapi, karena peluang untuk memperoleh pendukung dari rakyat tidak besar, ISDV beralih untuk membangun hubungan dengan Sarekat Islam. Meskipun demikian, upaya ISDV terhambat saat terjadinya Perang Dunia Pertama yang terjadi pada tahun 1914-1918. Pada tahun 1918, Alimin menjadi pimpinan ISDV di Batavia (McVey, 2006:169).

Sebelumnya, pada tahun 1910-an sebelum Perang Dunia Pertama, Hindia Belanda sedang dihadapkan oleh permasalahan pertahanan. Isu ini kembali mencuat saat dan setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama. Berbagai organisasi politik berusaha untuk memperoleh suara, dan isu pertahanan mendorong kuatnya pembahasan dibentuknya Volksraad (Dewan Rakyat) (Ricklefs, 2008: 210). Di dalam periode ini, ISDV menolak gagasan adanya Volksraad dan terus mengkampanyekan anti terhadap kapitalisme. Salah satu anggota ISDV, Semaun, yang juga merupakan bagian dari SI, mempromosikan gagasan sosialisme di Semarang. Di bawah pengaruh Semaun, SI di Semarang menolak berpartisipasi di dalam Volksraad, serta menyerang kepemimpinan CSI. Situasi ini merupakan awal dari terpecahnya basis pendukung SI di Yogyakarta dan Semarang (Ricklefs, 2008: 211). Dalam hal ini, Alimin masih berada di pihak CSI, meskipun dalam beberapa tahun kemudian ia berpindah haluan (McVey, 2006: 169). Beberapa tokoh lain yang secara aktif merupakan anggota dari ISDV dan SI adalah Tan Malaka dan Darsono (Singh, 1963: 57)

Di awal tahun 1920, di bawah kepemimpinan Semaun, ISDV berganti nama menjadi Perserikatan Komunis Hindia. Kemudian pada tahun 1924, berganti nama lagi menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI merupakan partai komunis pertama di Asia yang berada di luar Uni Soviet (Cribb dan Kahin, 2004: 321). Pada awalnya, para pimpinan PKI bersekutu dengan SI dan mencoba untuk mempropagandakan gagasan-gagasan sosialisme dan komunisme, akan tetapi hal ini menemui kegagalan yang menyebabkan perselisihan di dalam tubuh SI (merah yang berhaluan sosialis dan putih), dan pada Oktober 1921 secara efektif anggota PKI tidak diperbolehkan menjadi bagian dari SI (Cribb dan Kahin, 2004: 321).

Pada tahun 1924, Alimin memposisikan diri di dalam SI Merah yang berhaluan sosialis dan komunis, atau yang juga dikenal dengan Sarekat Rakyat. Kemudian posisi Alimin semakin jelas ketika hadir di dalam Konferensi Buruh Pan-Pasifik yang diselenggarakan oleh Komintern di China, sebagai delegasi PKI bersama-sama dengan Budisutjitro (Singh, 1961: 61). Selama menjadi bagian dari PKI, Alimin mempropagandakan gagasan sosialisme dan perlunya bahu-membahu antara PKI dan SR untuk melenyapkan kapitalisme. Di dalam salah satu pidatonya di Surakarta, Alimin menyatakan bahwa jaringan rel kereta api, pelabuhan, kantor pos, dan telegraf, adalah komponen-komponen yang membentuk tubuh PKI. Oleh karena itu, komunisme harus dapat menguasai semuanya agar dapat menumbangkan kapitalisme (Shiraishi, 1990: 308).

Di penghujung tahun 1924, Alimin menduduki posisi komisioner di dalam PKI. Ketika itu, PKI sedang berupaya untuk melakukan transformasi untuk menjadi partai berskala besar seiring dengan perkembangan komunisme di seluruh dunia. Salah satu isu yang menjadi perhatian Alimin di luar negeri adalah gerakan revolusi di China pada tahun 1925. Bersama dengan Marco Kartodikromo, Alimin mendukung gerakan tersebut. Di dalam negeri, PKI berhasil meningkatkan jumlah anggotanya, yang terutama berbasis di Jawa Tengah (Shiraishi, 1990: 318).

Pada pertengahan dekade 1920-an, PKI berupaya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ketika itu, Alimin meminta pendapat Tan Malaka yang sedang berada di luar negeri, terkait rencana pengambilalihan kekuasaan kolonial oleh PKI. Meskipun ditolak oleh Tan Malaka, dan tidak mendapat restu dari Komintern di Moskow, pemberontakan tetap terjadi pada tahun 1927 di wilayah Minangkabau (Ricklefs, 2008: 217). Kegagalan aksi pemberontakan PKI di Hindia Belanda, mengakibatkan Alimin beserta Musso ditangkap oleh pemerintah Malaya saat di dalam perjalanan dari Moskow ke Hindia Belanda pada tahun 1926 (Ebon, 1963: 95). Dalam waktu singkat, Alimin bebas dari penahanan dan kembali ke Moskow. Di sana ia tetap menjalin hubungan dengan Komintern (McVey, 2006: 352).

Alimin menetap selama beberapa tahun di luar negeri hingga kembali ke Indonesia pada tahun 1946. Setelah kemerdekaan, Alimin kembali bergabung di dalam PKI, dan menduduki posisi tinggi. Ia juga menerbitkan buku yang mengkritik kondisi internal partai (Alimin, 1947: 3). Perbedaan generasi, menjadi salah satu alasan tersingkirnya Alimin dari kepengurusan partai (Ricklefs, 2008: 288). Ia sempat memberikan beberapa ceramah tentang Marxisme di luar negeri, di antaranya di Kuala Lumpur, Johor, dan Singapura (Fujio, 2010: 221). Alimin meninggal di Jakarta pada tahun 1964.

Penulis: Teuku Reza Fadeli
Instansi: University Of York
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Alimin. (1947). Analysis. Yogyakarta: Bintang Merah.

Cribb, Robert B., & Kahin, Audrey. (2004). Historical Dictionary of Indonesia (No. 51). Oxford: Scarecrow Press.

Ebon, Martin. (1963). Indonesian Communism: From Failure to Success. The Review of Politics, 25(1), 91–109.

Fujio, H. (2010). The Malayan Communist Party and the Indonesian Communist Party: Features of Co-operation. Journal of Chinese Overseas, 6(2), 216–249.

McVey, Ruth. (2006). The Rise of Indonesian Communism. Jakarta: Equinox Publisher.

Ricklefs, Merle C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (4th Edition). New York: Macmillan International Higher Education.

Shiraishi, Takashi. (1990). An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912–1926. Ithaca: Cornell University Press.

Singh, V. (1961). The Rise of Indonesian Political Parties. Journal of Southeast Asian History, 2(2), 43–66.

Soerjono dan Anderson, B. (1980). On Musso's Return. Indonesia, (29), 59–90.