Pemberontakan Kahar Muzakkar
Saat Indonesia baru merdeka, pemberontakan bermunculan di sejumlah daerah, salah satunya Gerakan Darul Islam (DI/TII) di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kahar Muzakkar (1921-1965). Gerakan ini bermula dari pertemuan antar pemimpin laskar di Maros pada Agustus 1949, yang menghasilkan usulan pembentukan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan permohonan kepada pemerintah agar komando tersebut menjadi divisi tersendiri bernama Divisi Hasanuddin yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar. Akan tetapi usulan tersebut tidak diterima pemerintah. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar memiliki basis pendukung di daerah-daerah pedalaman yang belum dikuasai TNI. Pengikut dari gerakan ini terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari bangsawan, ulama, pedagang, guru, dan petani. Kahar dikenal sebagai orang yang suka membantu, ahli strategi, tegas, cerdas dan keras sehingga banyak orang yang suka dan mendukungnya (Sahajuddin dkk. 2019: 53).
Pada tanggal 30 April 1950, Kahar menuntut kepada pemerintah pusat agar pasukan KGSS yang berjumlah 15.000 personil dimasukkan dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun, tuntutan itu ditolak karena selain ditentukan lewat seleksi, banyak pula yang tidak memenuhi persyaratan. Penolakan tersebut membuat Kahar kecewa. Pemerintah sebenarnya mengambil kebijakan dengan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke dalam Corps Tjadangan Nasional/CTN dan juga memberikan pangkat Letnan Kolonel pada Kahar Muzakkar. Namun dirinya menolak. Saat akan dilantik, Kahar malah melarikan diri bersama pasukannya ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap serta melakukan pemberontakan (Aman, 2015: 47; Nasution, 2017: 66-68).
Hubungan Kahar Muzakkar dengan Kartosuwiryo bermula sejak Agustus 1951 saat Kahar memilih masuk hutan dan tidak menuruti maklumat pemerintah. Kahar dikirimi surat oleh Kartosuwiryo yang berisi ajakan untuk bergabung dan membentuk kesatuan TII di daerah Sulawesi dan meminta Kahar untuk menjadi pemimpinnya. Setelah merenung akhirnya tawaran tersebut diterima Kahar pada 20 Januari 1952, kemudian ia menjadi panglima Divisi VI TII atau Divisi Hasanuddin (Aman, 2015: 47). Abdul Kahar Muzakkar pada 7 Agustus 1953 secara resmi akhirnya memproklamasikan dan menyatakan diri bergabung dalam gerakan DI/TII. Perseteruannya dengan Kartosuwiryo soal bentuk negara, memaksa dirinya keluar dari DI/TII lalu di tanggal 14 Mei 1962. Kahar mengangkat dirinya sebagai khalifah dan juga mendeklarasikan Republik Persatuan Islam Indonesia/RPII yang bertumpu pada ajaran Islam dan realitas sosial Indonesia yang dipahaminya (Bemmelen dan Raben, 2011: 320).
Pasukan yang dipimpin Kahar banyak melakukan serangan mendadak ke pos-pos TNI, melakukan sabotase perusakan jembatan, penculikan dokter dan pendeta-pendeta Kristen untuk bekerja di sekolah dan klinik DI/TII. Selain itu Kahar sering melakukan propaganda memojokkan pemerintah seperti menyiarkan berita bahwa ada komunis dalam pemerintahan RI. Kahar melakukan itu agar menarik simpati rakyat untuk bergabung bersamanya. Untuk membiayai perjuangannya ia juga menggunakan cara lain yaitu meliputi kegiatan sosial; memperbaiki masjid dan juga mendirikan sekolah-sekolah kader DI/TII serta memerintahkan penarikan infak di wilayah yang dikuasainya. Penegakan syariat Islam diberlakukan dengan ketat dalam kehidupan pasukannya, misalnya dengan mewajibkan bagi anak buahnya untuk salat lima waktu dan puasa Ramadhan. Apabila ada yang melanggar maka akan dihukum mati. Selain itu DI/TII melarang segala macam bentuk kesenian khas Sulawesi Selatan (Aritonang, 2004: 298-299).
Ada dua alasan mengapa Kahar Muzakkar melawan pemerintahan Presiden Sukarno yang sebelumnya dibelanya. Alasan pertama, Kahar tak dapat menerima perlakuan pemerintah pusat terhadap anak buahnya di Brigade Hasanuddin yang tidak semua diterima sebagai anggota pasukan pemerintah meski telah berjuang. Alasan kedua adalah karena kecenderungan penerimaan Ideologi Komunis oleh Presiden Sukarno (Nasution, 2017: 66).
Dalam usaha membendung pemberontakan Kahar Muzakkar, pemerintah pusat telah melakukan berbagai cara agar Kahar dan pasukannya kembali mentaati pemerintah. Penawaran amnesti dan abolisi kepada anggota DI/TII yang mau menghentikan pemberontakannya, namun tawaran itu ditolak, sehingga membuat pemerintah menjalankan operasi militer dengan mengirim pasukan Divisi Siliwangi guna menghentikan gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar itu (Nasution, 2017: 70).
Pemerintah Republik tak tinggal diam dengan gerakan yang dilakukan Kahar Muzakkar. Pasukan tentara juga dikerahkan guna membalas berbagai serangan, beberapa sukses menghancurkan dua markas DI/TII di Makassar (1954) dan Teluk Bone (1955). Trik perpecahan juga dilakukan republik dengan mendukung Tentara Kemerdekaan Rakyat (TKR) yang dipimpin Usman Balo dan Hamid Gali yang memilih keluar karena konflik dengan Kahar Muzakkar. Pemberontakan Kahar Muzakkar bersama pasukannya baru berakhir ketika ia tewas tertembak mati pada 3 Februari 1965 dalam Operasi Tuntas yang dilakukan Satuan Siliwangi 330 (Aritonang, 2004: 300).
Selama masa hidupnya, Kahar setidaknya telah melahirkan beberapa karya tulisan tentang Indonesia dan pemikirannya, di antaranya adalah sebagai berikut; 1) Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi Pemikiran Politik Pemerintahan Sukarno, 2) Kambing Hitam DI/TII di Sulawesi, 3) Tabir Terbuka, 4) Revolusi Ketatanegaraan Indonesia: Menuju Persaudaraan Manusia, 5) Tjatatan Bathin Seorang Pedjoang Revolusioner, 6) Bentuk Negara Chilafah Dalam Islam, dan 7) Program Politik-Revolusi Negara Islam (Bakar, 2018: 51-52). Dari karya-karyanya tersebut menunjukkan bahwa sosok Kahar Muzakkar bukan hanya seorang prajurit saja, melainkan juga sebagai sosok intelektual di Sulawesi Selatan.
Penulis: Akhmad Yusuf
Instansi: Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi:
Aisyah, Nur., Patahuddin, dan Ridha, H. M. Rasyid. Baraka: Basis Pertahanan DI/TII di Sulawesi Selatan (1953-1965), Jurnal Pattingalloang, Pemikiran dan Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol 5 No. 2 April-Juni 2018, h. 49-60.
Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Indonesia: BPK Gunung Mulia, 2004.
Azizah, Nurul. Islamisme: Ideologi Gerakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan 1952-1965, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.15, No.2 (2019): 95-104
Bakar, Abu. Konsepsi Ketatanegaraan Kahar Muzakkar, Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Volume 8, Nomor 1, April 2018, h. 50-77.
Bemmelen, Sita van dan Raben, Remco (ed.), Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Dijk, C. Van. Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Press, 1983.
Gonggong, Anhar. Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Hakiem, Lukman. Dari Panggung Sejarah Bangsa: Belajar dari Tokoh dan Peristiwa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, (n.d.).
Harvey, Barbara Sillars. “Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965”, Ithaca, New York, Cornell University (Ph.D Thesis).
Harvey, Barbara Sillars. Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta: Grafitipers, 1989.
Harvey, Barbara Sillars. Permesta: Half a Rebellion. Jakarta: Equinox Publishing, 2009.
Khair, Fathul Karimul. Wajah Agama di Hadapan Politik Identitas: Refleksi-Kritis Sejarah DI/TII di Sulawesi Tenggara, Jurnal “Al-Qalam, Volume 25 Nomor 3 November 2019, h. 525-538.
May, Brian. The Indonesian Tragedy. Singapore: Graham Brash, 2001.
Nasution, Kaka Alvian. Sang Prajurit Pemberani. Yogyakarta: Laksana, 2017.
Nasyaruddin, Anwar., Tangke, Wanua. Biografi Perjuangan Kahar Muzakar. Indonesia: Pustaka Refleksi, 2007.
Sahajuddin, Hafid, Abdul., Hafid, Rosdiana. Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan Dalam Kajian Sumber Sejarah Lisan 1950-1965, Seminar Series in Humanities and Social Sciences No. 1 (2019), International Seminar on Conflict and Violence.
Syafaruddin Usman Mhd, Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar. Indonesia: Narasi, 2010.
Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Indonesia: Gema Insani Press, 1996.
Wirayuda, Arya Wanda., Kota dan Jejak Aktivitas Peradaban. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan, Airlangga University Press, 2019.