Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII)

From Ensiklopedia

Darul Islam berarti negara Islam atau domain Islam. Istilah ini digunakan sudah lama dalam sejarah Islam, merujuk pada wilayah di bawah kekuasaan Islam, dibedakan dari wilayah musuh (darul harb). Di Indonesia, istilah Darul Islam digunakan khusus merujuk pada gerakan pendirian negara Islam di bawah pimpinan S.M. Kartosuwirjo (1905-1962), yang terjalin dengan gerakan serupa di Aceh oleh Daud Beureueh (1896-1987) dan di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar (1921-1965). Mereka bangkit melawan pemerintah pusat.

Dalam catatan van Dijk (1981), Darul Islam juga terhubung pada perlawanan lain seperti di Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah dan Kalimantan Selatan pimpinan Ibn Hadjar. Menurut Formichi (2012), selain ketidakpuasan dari daerah terhadap pimpinan pusat, persoalan ekonomi, dan adanya reorganisasi di tubuh militer, ideologi Islam juga menjadi faktor paling penting. Faktor Islamisme atau politik Islam bahkan lebih dominan bila dibandingkan dengan faktor-faktor lain yang sifatnya lebih kultural seperti menyandingkan Darul Islam sebagai gerakan Ratu Adil.

Terlepas daripada itu, pertama sekali perlu dijelaskan bahwa setelah proklamasi kemederkaan, Kartosuwirjo resmi menjadi salah satu anggota Masyumi. Bahkan, dirinya terpilih sebagai Komisari Masyumi Jawa Barat sekaligus merangkap sebagai Sekretaris I Partai Masyumi. Ia bahkan pernah dicalonkan menjadi Menteri Muda Pertahanan. Namun, jabatan itu ditolaknya karena ia memiliki misi sendiri untuk Indonesia (Boland 1971).

Di awal kemerdekaan, Republik Indonesia tengah menghadapi berbagai gempuran, baik secara fisik maupun non-fisik. Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesi kemudian melakukan agresi untuk mengambil alih kekuasaan. Tentu saja, Kartosuwirjo tidak tinggal diam. Pada 14 Agustus 1947, seusai Aksi Militer I Belanda, dia secara resmi menyatakan perang terhadap Belanda. Ia membagi wilayah Indonesia menjadi tiga daerah. Daerah I adalah ibu kota negara; Daerah II adalah daerah yang sebagian besar penduduknya beragama Islam; sementara Daerah III wilayah dengan penduduk yang tidak ada atau sedikit penduduk Islamnya (Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, 2008: 360).

Ketika pemimpin Indonesia lainnya tengah melakukan upaya diplomasi seperti Renville, Kartosuwirjo justru menolaknya. Ia melakukan perlawanan dengan cara membekukan Partai Masyumi Jawa Barat pada 1948 dan memboyong sebanyak 4,000 orang yang terdiri dari elemen Hizbullah dan Sabilillah (Soebardi 1983). Kartosuwirjo yang yakin dengan kelicikan Belanda merasa para pemimpin Indonesia sudah ditipu. Ini terbukti misalnya dengan jatuhnya ibu kota RI saat itu, Yogyakarta, dan ditawannya berbagai pemimpin negara di hari pertama Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 (Groen 1986). Akhirnya, Indonesia sempat mengalami masa vakum kekuasaan.

Memanfaatkan momentum itu, Kartosuwirjo menganggap daerah Jawa Barat sebagai daerah yang secara de facto ada di bawah kendalinya. Saat itu, DI belum resmi berdiri. Ia juga terlebih dahulu membentuk Angkatan perang bernama Tentara Islam Indonesia (TII) yang ditempatkan di daerah pegunungan sekitar Jawa Barat (van Dijk, 1981). Begitu berkuasanya atas wilayah Jawa Barat, utamanya kawasan Priangan Timur, setiap pasukan yang memasuki wilayahnya harus mengakui keberadaan DII. Pasukan Siliwangi yang melakukan long march ke Jawa Barat bahkan dianggap tentara liar karena tidak izin kepada Kartosuwirjo. Bentrokan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun tak terhindarkan. Mayor Utarja yang memimpin Divisi Siliwangi pun dibunuh (Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat, 1979: 194-195).

Berhasil meluluhlantahkan TNI membuat Kartosuwirjo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. NII yang kemudian lebih dikenal dengan nama Darul Islam (DI). Saat itu, DI berdiri di Desa Cisampang, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya. Adapun isi proklamasi NII Kartosoewirjo yaitu (van Dijk, 1981):

“Bismillahirrahmanirrahim Asyhadu alla illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Kami Umat Islam Bangsa Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu ialah: Hukum Islam,”
ditutup dengan takbir dan tanda tangan Kartosoewirjo.

NII dalam maklumat pemerintah No II/7, menuliskan bahwa 17 Agustus 1945 atau hari kemerdekaan Indonesia adalah akhir masa kehidupan bangsa Indonesia (Formichi, 2012). Kartosoewirjo telah memantapkan langkahnya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai kekuasaan NII. Selain itu, dalam susunan pemerintahan NII ada wakil imam yang diisi oleh Karman. Terdapat juga menteri dalam negeri dan penerangan yang posisinya dijabat Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad. Terakhir, ada beberapa posisi menteri lagi, seperti Menteri Keuangan (Udin Kartasasmita), Menteri Pertahanan (Raden Oni), dan Menteri Kehakiman (Ghazali Thusi).

Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) berusaha menyelesaikan persoalan Kartosuwirjo, yang dalam perspektif mereka sudah melakukan pemberontakan. Jalan damai ditempuh terlebih dahulu. Sebuah panitia yang beranggotakan Zainul Arifin (Kementerian Agama), Makmun Sumadipraja (Kementerian Dalam Negeri), dan Kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan) ditugasi melakukan langkah diplomasi dengan Kartosuwirjo (Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, 2008: 361). Namun demikian, usaha tersebut menemui jalan buntu. Kartosuwirjo hanya mau berunding apabila pemerintah Republik mengakui keberadaan NII (Pusat Sejarah TNI, 2000: 82).

Setelah usaha damai itu gagal, TNI kemudian dikerahkan untuk melakukan operasi militer. Operasi tersebut dinamakan sebagai Operasi Merdeka (Pusat Sejarah TNI, 2000: 82). Operasi ini masih bersifat insidentil, lokal, dan rutin tanpa rencana yang sistematis (Pusat Sejarah TNI, 2000: 82). NII kemudian bertahan belasan tahun dengan cara gerilya di hutan-hutan di tanah Sunda untuk mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia. Mereka bahkan memeras rakyat untuk menyediakan logistik setiap minggunya. Maka tidak heran bila warga lokal yang sempat mengalami era NII menyebutnya sebagai gerombolan (Wulandari dkk. 2020). NII juga bertindak semena-mena hingga mulai timbul perasaan curiga antara ulama, pemerintah, dan masyarakat, akhirnya menimbulkan peristiwa fitnah. Menanggapi masalah ini, maka dibentuk Badan Musyawarah Alim Ulama yang bertugas memantau pergerakan DI/TII sebagai upaya membantu pemerintah Indonesia.

Pada 1957, upaya TNI menekan NII semakin terlihat hasilnya. Lewat operasi militer bernama “Rencana Pokok 21”, TNI bekerjasama dengan masyarakat lokal menahan kelompok DI/TII di daerah-daerah tertentu untuk selanjutnya dihancurkan (Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat, 1979: 218). Operasi ini dimulai dari Banten lalu bergeser terus ke arah timur. Peran warga lokal di sini adalah diminta untuk mencegah anggota DI/TII masuk ke desa mereka. Selain itu, warga juga diminta untuk mengulur waktu sampai TNI berhasil memetakan pergerakan DI/TII di daerah-daerah wilayah operasi.

Taktik ini kemudian berkembang. Pada tanggal 4 Juni 1962, operasi Pagar Betis yang dilancarkan oleh militer Indonesia berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran petingginya. Mereka ditangkap, termasuk sang imam, Kartosoewirjo. Berdasarkan keputusan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati karena telah memberontak terhadap pemerintahan Indonesia. Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dibawa ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu, dekat Teluk Jakarta. Ia dieksekusi setelah sehari sebelumnya dikabulkan permintaan terakhirnya untuk bertemu keluarga. Tepat pukul 05.50 WIB, Kartosoewirjo dihukum mati dan menjadi penanda bagi akhir perlawanan DI/TII di Jawa Barat.

Dari Jawa Barat kita pindah ke Aceh. Pada awal Agustus 1949, bekas ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta II. Ia ditugaskan di Aceh untuk memimpin perjuangan di Sumatra jika perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) gagal. Tanpa berkonsultasi dengan kabinet, ia menjadikan daerah Aceh sebagai provinsi, terlepas dari Provinsi Sumatra Utara (Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, 2008: 363). Teungku Daud Beureueh yang pada masa Perang Kemerdekaan memegang jabatan sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, diangkat sebagai gubernur (Syamsudin 1990: 35-36).

Pada awal tahun 1951, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar dan RI kembali menjadi Negara Kesatuan, status daerah Aceh kembali di bawah Provinsi Sumatra Utara. Penurunan status dari provinsi ini membuat Daud Beureueh dan para pendukungnya, utamanya yang tergabung dalam Pusat Ulama Seluruh Aceh (PUSA), kecewa. Pasalnya, peleburan provinsi itu mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik (1945-1950). Mereka juga khawatir akan kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh (Sastroamidjojo 1953).

Selain itu, dengan penurunan status Aceh, keinginan dari masyarakat Aceh untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka menjadi sulit diwujudkan (van Dijk 1981). Kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta (Reid 2005). Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap untuk sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia (Apipudin 2016).

Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947 (Groen 1986). Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureueh tidak sulit memperoleh pengikut (Syamsudin 1990). Untuk mencari dukungan, ia mengobarkan sentimen kedaerahan dan sentimen keislaman (van Dijk 1981). Kontak dengna Kartosuwirjo pun diadakan dengan saling mengirim utusan (Syamsudin 1990: 89-90).

Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota. Setelah merasa persiapannya cukup, pada 21 September 1953, Daud Beureueh memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari NII di bawah pimpinan Kartosuwirjo. Dengan proklamasi tersebut, negara mencap apa yang dilakukan oleh Daud Beureueh sebagai pemberontakan (Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, 2008: 363). Kota-kota penting di sekitar Aceh pun akhirnya diduduki. Meski demikian, mereka gagal menduduki Banda Aceh. Serangan paling hebat dilancarkan terhadap kota Takengon yang dapat mereka kuasai selama hampir tiga bulan.

Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953 (Sastroamidjojo, 1953). Untuk menyelesaikan persoalan ini, TNI dikerahkan. Pasukan didatangkan dari Sumatra Utara dan Sumatra Tengah. Brigade Mobil Kepolisian Negara juga dikerahkan untuk mengatasi persoalan DI Aceh. Pada akhir November 1953, kota-kota yang tadinya dikuasai oleh DI dapat diambil alih kembali oleh pemerintah. Dua operasi militer dilancarkan, yakni “Operasi 17 Agustus” dan “Operasi Merdeka”. Ini kemudian mendorong orang-orang DI Aceh lari ke hutan-hutan.

Sebagaimana terjadi di Jawa Barat, di Aceh DI juga melancarkan taktik gerilya. Mereka melakukan sabotase terhadap alat-alat perhubungan dan meneror rakyat (Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, 2008: 364). Dari pihak TNI, Komandan Daerah Militer Aceh (KDMA), Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu menerapkan kebijakan “Konsepsi Prinsipiil Bijaksana” (Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, 2008: 363). Inti dari operasi ini adalah menerima dengan tangan terbuka para pemberontak yang ingin menghentikan perlawanan dan menghancurkan mereka yang masih membangkang. Pendekatan ini cukup persuasif, tapi terbukti dapat memancing pembicaraan lebih jauh dengan para tokoh DI di Aceh.

Pada 5 dan 7 Juli 1957, Sjamaun Gaharu dan M. Insja (Kepala Kepolisian Aceh) mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh DI di Aceh. Beberapa nama seperti Hasan Saleh, Hasan Ali, Gani Mutiara, Ustad Amin, dan Pawang Leman di Desa Lamteh mau bertemu dengan perwakilan pemerintah. Pertemuan ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai “Ikrar Lamteh” yang intinya mendorong kedua pihak untuk menghentikan baku tembak dan mengusahakan jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan (Pusat Sejarah TNI, 2000: 96-97).

Ikrar Lamteh menimbulkan perpecahan di kalangan DI Aceh, melahirkan kelompok Hasan Saleh dan Daud Beureueh. Pada bulan Mei 1959, pemerintah mengirim misi yang dipimpin oleh Mr. Hardi untuk berunding dengan kelompok Hasan Saleh. Hasil penting dalam perundingan itu ialah pemerintah akan memberikan status istimewa untuk daerah Aceh. Akan tetapi, Daud Beureueh menolak hasil perundingan tersebut dan tetap melanjutkan aksinya melawan pemerintah pusat.

Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui proses negosiasi yang alot dan melelahkan. Diputuskan bahwa diberikan hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Tanggal 18-22 Desember 1962, sebuah upacara besar bertajuk “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA)” dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol perdamaian.

Pada akhirnya, gerakan Darul Islam tidak berhenti sampai di Aceh. Ia tetap menjadi aib militer dan politik bagi pemerintah Jakarta sampai penangkapan Kartosuwirjo dan penyerahan pemimpin Jawa Barat lainnya pada tahun 1962. Bahkan di Sulawesi Selatan, pemberontakan berlangsung lebih lama, sampai akhirnya pemimpin lokal dari gerakan DI, Kahar Muzakkar, akhirnya ditembak di awal tahun 1965.

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Apipudin. 2016. "Daud Beureu'eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh". Buletin Al-Turas 22 (1), 145–167. doi:10.15408/bat.v22i1.722.

Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Leiden: Brill.

van Dijk, Kees. 1981. Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Leiden: Brill.

Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat. 1979. Sejarah TNI AD 1945-1973, jilid 2. Bandung: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat.

Groen, P.M.H. 1986. “Dutch Armed Forces and the Decolonization of Indonesia: The Second Police Action (1948–1949), A Pandora's Box,” War & Society 4 (1), 79-104.

Formichi, Chiara. 2012. Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in twentieth-century Indonesia. Leiden: Brill

Reid, Anthony. 2005. An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra. Singapore: NUS Press.

Sastroamidjojo, Ali. Keterangan Pemerintah tentang peristiwa Daud Beureueh : [diutjapkan dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia tanggal 28 Oktober 1953]; Djawaban Pemerintah [atas pemandangan umum Dewan Perwakilan Rakjat mengenai keterangan Pemerintah] tentang peristiwa Daud Beureueh: [diutjapkan oleh Perdana Menteri dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakjat tanggal 2 Nopember 1953]

Soebardi, S. 1983. “Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia,” Journal of Southeast Asian Studies 14 (1), 109-133.

Syamsudin, Nazaruddin. 1990. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Tentara Nasional Indonesia. 2000. Sejarah TNI, 1950-1959, jilid II. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi, Tentara Nasional Indonesia, Markas Besar.

Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik, Jilid VI, edisi pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Wulandari, Eka, dkk. 2020. “Aktivitas Gerombolan DI/TII dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Sidrap 1950-1965,” Pattingalloang: Jurnal Pemikiran Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan 7 (2), 160-171.