Pengasingan Tanah Merah Papua
Tanah Merah merupakan pusat pemerintahan dan wilayah utama pembuangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap mereka yang dianggap sebagai pemberontak. Proses berdirinya kamp pembuangan Tanah Merah di Digul berdasarkan pertemuan Dewan Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal De Graaff pada tanggal 18 November 1926 yang pada intinya untuk memerangi gerakan komunisme (Sufyan 2017: 111). Tanah Merah berada di daerah terpencil di tengah hutan belantara, tepatnya 455 kilometer ke arah hulu sungai Digoel (Sufyan 2017: 113). Tanah Merah sendiri terdiri dari tiga kawasan yang dipisahkan oleh sunagi-sungai kecil, yaitu kamp militer, kediaman pejabat dan kamp pembuangan.
Pemilihan Tanah Merah sebagai tempat pembuangan untuk orang-orang yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda dikarenakan wilayah ini sangat terisolir dan para tahanan sulit bahkan tidak mungkin bisa selamat jika ingin melarikan diri. Wilayah ini terkenal dengan malaria dan hewan liar yang berbahaya (Sufyan 2017: 114). Selama masa pemerintahan Belanda banyak orang-orang dibuang di Tanah Merah. Orang-orang yang dianggap pemberontak dan beberapa tokoh pergerakan juga pernah di buang di Tanah Merah.
Salah satu gerakan pemberontakan yang mengakibatkan pembuangan ke Tanah Merah adalah pemberontakan yang dilakukan PKI pada 1926 di Banten dan Silungkang. Pemberontakan ini berakhir kegagalan yang diikuti penumpasan terhadap PKI oleh pemerintah Kolonial Belanda yang berujung penangkapan besar-besaran. Akibatnya, banyak anggota PKI terutama pemimpinya dibuang ke Tanah Merah di Boven Digoel Papua (Aritonang 2004: 160). Sebanyak 13.000 orang ditangkap, sebanyak 6.000 orang dilepaskan kembali, 5.000 orang diberi hukuman ringan, 1.308 orang ditahan dan 823 orang yang dianggap sebagai inti dari pemberontakan di buang ke Tanah Merah (Suryanegara 2018 :508).
Selain para pemberontak PKI, tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Ki Mangkusumo, Ki Hadjar Dewantara dan banyak orang lainnya juga merasakan pembuangan di Tanah Merah (Lubis 2013:47). Soetan Sjahrir menceritakan ketika ia berada di pembuangan Tanah Merah Digul 21 Apri 1935, bahwa dirinya tidak melihat semua orang yang dibuang ke Tanah Marah adalah mereka yang merupakan orang-orang Marxist. Dapat dikatakan bahwa orang-orang yang dibuang ini bukan karena komunisme pada diri mereka melainkan pada suka atau tidak suka dari penguasa tempat mereka berasal (Suryanegara 2018 :509).
Penulis: Suprayitno
Instansi: Universitas Sumatera Utara
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Sufyan, Fikrul Hanif (2017) Menuju Lentera Merah Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah, 1923-1949. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lubis, Muchtar (2013) Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Suryanegara, Ahmad Mansur (2018) Api Sejarah Volume 1. Jakarta: Surya Dinasti.
Aritonang, Jan S (2004) Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.