Perintah Siasat
Perintah Siasat No 1 tahun 1948 merupakan strategi yang dibuat oleh Pimpinan Tentara Nasional Indonesia untuk menghadapi Belanda pada masa Perang kemerdekaan. Perintah Siasat itu muncul karena dua faktor. Pertama, kemacetan perundingan politik Indonesia-Belanda yang disponsori oleh Komisi Tiga Negara (KTN). Kedua, agresivitas militer Belanda selama perundingan Indonesia-Belanda. Berdasar kondisi itulah pimpinan TNI kemudian melakukan berbagai persiapan yang disesuikan dengan kondisi TNI, khususnya yang berhubungan dengan kekurangan persenjataan. TNI menyadari bahwa perang frontal tidak mungkin hanya dilakukan oleh tentara, tetapi harus dilakukan bersama rakyat (Anonim 2000: 162). Hal itu disadari TNI berdasar pengalamannya selama menghadapi agresi militer Belanda I dan perjuangan bersenjata sebelumnya (Kartasasmita & Kesowo 1995: 185). Dengan dasar itulah dalam rapat pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Mei 1948, disepakati beberapa hal yang kemudian dirangkum dalam Perintah Siasat No.1 Panglima Besar. Perintah Siasat No.1 itu kemudian diumumkan Panglima Besar Angkatan Perang pada tanggal 9 Nopember 1948 (Anonim 2000: 162). Perintah itu antara lain berisi pokok-pokok pertahanan Republik Indonesia terhadap serangan Belanda, yaitu:
- Tidak akan melaksanakan pertahanan linear seperti pada Agresi Militer I.
- Berusaha memperlambat setiap majunya Gerakan musuh, pengungsian total (semua pegawai dan rakyat dari daerah-daerah yang diduduki musuh) dan bumi hangus total.
- Membentuk kantong-kantong di tiap-tiap onder distrik militer yang mempunyai kompleks di pegunungan.
- Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah federal menyusup ke belakang garis musuh (wingate) dan membentuk kantong-kantong, sehingga seluruh P. Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas (Kartasasmita & Kesowo 1995: 185).
Diperlukan beberapa syarat supaya strategi tersebut dapat tercapai, yaitu: (Nasution 1983: 140).
- 1.Pimpinan yang totaliter dalam tangan kepala desa/lurah, Komando Onderdistrik Militer (KODM), Komando Daerah Militer (KDM), Gubernur Militer, dan Panglima Pulau (dalam kondisi itu Dewan Pertahanan Nasional dan Dewan Pertahanan Daerah ditiadakan).
- 2. Politik nonkooperasi dan nonkontak tegas.
- 3. Reorganisasi TNI untuk tiga macam tugas:
- 3.1 Batalyon-batalyon mobil, lebih kurang satu batalyon di tiap karesidenan, untuk tugas-tugas menyerang, senjata 1:1.
- 3.2 Batalyon-batalyon territorial, lebih kurang satu batalyon di tiap kabupaten untuk perlawanan statis, senjata 1:3,5.
- 3.3 Kader-kader territorial, mulai Kader Desa, KODM, KDM dan seterusnya
- 4. Menyusupkan pasukan-pasukan TNI ke daerah-daerah federal, baik di Jawa maupun luar Jawa. Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan dan sebagainya disusun untuk-tugas-tugas tersebut Dalam lampiran Perintah Siasat disebutkan bagaimana pengalaman Divisi Siliwangi pada waktu agresi pertama di Jawa Barat. Berdasar pengalaman itu disimpulkan bahwa: (Nasution 1983: 145)
- Penyerbuan Belanda tidak mungkin ditahan, paling banyak hanya dapat dihambat dengan gangguan serta bumihangus, sehingga diperoleh waktu dan ruang sebanyak mungkin untuk pengungsian pasukan-pasukan, peralatan, pegawai-pegawai, dan rakyat umum ke kantong-kantong di pedalaman.
- Pokok-pokok perlawanan adalah perang gerilya. Pada satu pihak bersifat agresif terhadap musuh dan di lain pihak konstruktif serta dapat menegakkan kekuasaan de facto RI dalam arti militer maupun sipil, dengan membuat sebanyak mungkin kantong-kantong perlawanan.
Inti perintah siasat No 1 adalah perang rakyat semesta. Prinsip-prinsip pokoknya adalah mengikutsertakan rakyat secara aktif dan mengerahkan semua tenaga dan harta kekayaan rakyat. Melalui Perintah Siasat No 1, pimpinan TKR mengganti strategi perang Indonesia dari sistem linear menjadi sistem Wehrkreise. Dalam sistem itu, daerah pertempuran dibagi menjadi lingkaran-lingkaran yang dapat berdiri sendiri. Pasukan yang hijrah harus melakukan wingate yaitu menyusup ke daerah musuh untuk kembali ke daerah asalnya. Mereka itu harus melakukan perang gerilya terhadap pasukan Belanda yang menduduki daerahnya (Anonim 2000: 163). Dengan strategi itu, sebelas batalyon Divisi Siliwangi kemudian melakukan long march untuk Kembali ke Jawa Barat guna melakukan perang gerilya melawan Belanda (Kartasasmita & Kesowo 1989: 185).
Penulis: Haryono Rinardi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Anonim, 2000. Sejarah TNI Jilid I. Jakarta, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
Kartasasmita, Ginanjar, A. Prabowo, & Bambang Kesowo, 1995. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Sekretariat Negara.
Nasution, A.H., 1979. Memenuhi Panggilan Tugas. Jakarta: Haji Mas Agung, 1979.