Peristiwa Tiga Juli 1946
Peristiwa Tiga Juli 1946 adalah usaha kudeta yang dilakukan pihak oposisi terhadap kabinet pemerintahan yang sah, yakni usaha pelengseran kabinet Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tiga Juli. Hal ini berangkat dari ketidakpuasan atas pola perjuangan pemerintahan pusat dalam mempertahankan kemerdekaan melalui jalur diplomasi, yang dianggap terlalu lemah oleh kelompok oposisi.
Serangkaian peristiwa menjadi pembuka Peristiwa Tiga Juli, salah satunya adalah Gerakan Anti-swapraja di Surakarta. Pada tanggal 27 Juni Sjahrir diculik oleh anggota Persatuan Perjuangan (PP), A. K. Yusuf. Orang yang memberikan perintah penculikan tersebut adalah Jenderal Soedarsono. Presiden Sukarno yang berang atas aksi yang keterlaluan itu kemudian memerintahkan Letkol Soeharto untuk menangkap Soedarsono (Ibrahim 2014: 46). Perintah ini ditolak oleh Letkol Soeharto sebab ia menganggap perintah Presiden Sukarno itu melangkahi garis komando (Dwipayana dan Ramadhan 1989: 37). Atas desakan Sukarno melalui radio, Syahrir dilepaskan pada tanggal 1 Juli 1946, namun tak lama berselang PP kembali melakukan usaha nekatnya yang lain (Lapian 1996:73-74).
Pada tanggal 2 menjelang 3 Juli 1946 Jenderal Soedarsono bersama Mr. Yamin dan 20 politisi dari PP dan Barisan Banteng menghadap Presiden di Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta. Sebelumnya, pihak Istana sudah diberi kabar tentang rencana kedatangan rombongan tersebut oleh Letkol Soeharto, sehingga sesampainya di Istana rombongan itu segera dilucuti dan diamankan. Hanya Jenderal Soedarsono yang diizinkan bertemu Presiden. Jenderal Soedarsono kemudian mengajukan sebuah surat yang ia klaim berasal dari Jenderal Soedirman. Surat itu berisi permintaan pembubaran kabinet Sjahrir dan pembentukan kabinet baru yang berisi orang-orang PP. Di antara orang-orang dalam rancangan kabinet baru tersebut adalah Tan Malaka, Sukarni, Subardjo, Yamin, Iwa Kusumasumantri, Buntaran, Pandu, Wiguna, dan Sumantoro.
Selain itu mereka juga mendesak Presiden agar menyerahkan kekuasaan militer kepada Jenderal Soedirman. Surat itu kemudian ditunjukkan ke Hatta yang sangsi akan keaslian surat itu. Hatta kemudian mengklarifikasi hal tersebut ke beberapa orang, termasuk di antaranya adalah Oerip Soemohardjo dan Soekiman. Keduanya juga meragukan klaim bahwa surat tersebut berasal dari Jenderal Soedirman. Mengetahui hal tersebut, maka para pemimpin pemerintahan di Istana sadar bahwa desakan ini adalah sebuah usaha kudeta untuk mengambil alih kekuasaan pemerintah. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam usaha ini kemudian ditangkap dan diadili (Muljana, 2008: 92).
Peristiwa Tiga Juli adalah pertikaian politik yang melibatkan banyak tokoh penting. Pihak oposisi dipelopori oleh PP yang dibentuk oleh Tan Malaka. Meski disebut-sebut sebagai otak di balik peristiwa ini, Tan Malaka tidak muncul langsung dalam peristiwa ini. Tan Malaka ditangkap di Madiun sejak tanggal 17 Maret 1946, berpindah-pindah penjara, dan baru dibebaskan pada September 1948. Ujung tombak PP dalam peristiwa ini adalah Jenderal Soedarsono dan Moh. Yamin. Sutan Sjahrir, yang berusaha dilengserkan oleh PP, tetap dipertahankan karena kebijakannya sejalan dengan garis politik Sukarno-Hatta, terutama soal politik diplomasi (Gonggong dkk. 1993: 67-68).
Peristiwa Tiga Juli ini membuat tokoh-tokoh bangsa sadar bahwa persaingan antara kelompok berkuasa dan kelompok oposisi sudah sedemikian dekat dengan perang saudara. Walaupun para pelaku kudeta ditangkap segera setelah kejadian itu, namun mereka mendapat ampunan pada tahun 1948. Beberapa bahkan dapat duduk di posisi-posisi penting di pemerintahan setelah Agresi Militer Belanda berakhir.
Penulis: Muhammad Asyrafi
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Referensi
Dwipayana, G., dan Ramadhan K. H. (1989) Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Kharisma Bunda.
Gonggong, Anhar, dkk. (1993) Sejarah Nasional Indonesia VI Republik Indonesia: dari Proklamasi sampai Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Ibrahim, Julianto (2014) Dinamika Sosial dan Politik Masa Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lapian, A. B. dkk (1996) Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Muljana, Slamet (2008) Kesadaran Nasional; Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Jilid 2). Yogyakarta: LkiS.