Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI)
Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) diakui telah berperan besar memperjuangkan nasib buruh sejak masa revolusi kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1960-an. Selama kurun waktu tersebut, serikat buruh ini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Di samping menyampaikan pesan atau propaganda secara langsung, organisasi ini juga memanfaatkan media massa sebagai sarana komunikasi dan peneyabrluasan gagasan mereka. Organisasi ini menerbitkan majalah yang diberi nama Warta Sarbupri. Dalam melakukan aksinya Sarbupri berafliasi dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang merupakan federasi serikat buruh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sarbupri secara resmi didirikan pada 17 Februari 1947. Dipercaya sebagai Ketua dan Sekretaris Jendral organisasi adalah Maruto Darusman dan Suparna Sastradiredja. Sejak awal organisasi ini sudah mulai aktif memperjuangkan nasib buruh, baik dengan cara penggalangan massa maupun melalui pemogokan. Dengan aksi-aksinya yang cukup berani Sarbupri dengan cepat menjadi populer di kalangan kaum buruh, sehingga memperoleh pengikut yang besar dalam waktu yang relatif singkat. Aktivitas mereka mendapat dukungan luas dari SOBSI, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Badan Kerjasama Buruh (BKS), dan Serikat Sekerja Peridar (DS 2003: 28-29).
Aksi besar pertama yang dilakukan Sarbupri adalah pemogokan buruh pabrik karung Delanggu, Jawa Tengah pada 26 Mei sampai 3 Juni 1948. Sebelum pemogokan tersebut berlangsung, dilaksanakan aksi penggalangan massa pada 19 Mei 1948 di Surakarta yang diikuti oleh lebih dari 5.000 orang buruh. Aksi yang mendapat dukungan dari BTI dan Persatuan Buruh Tekstil Seluruh Indonesia (PBTSI) ini menuntut agar buruh tetap dan buruh lepas (musiman) diberi gaji in natura berupa 3 meter kain dan 20 kg beras untuk satu keluarga per bulan di samping gaji berupa uang (Gie 1997: 201).
Setelah pemogokan yang cukup berhasil tersebut, Sarbupri lebih banyak melakukan aksinya di Sumatra Utara. Hal ini sangat beralasan karena sejak Sumatera Utara dibuka sebagai wilayah investasi, terutama di bidang perkebunan sejak dua dekade terakhir abad ke-19, daerah itu telah menjadi wilayah perkebunan terbesar di Indonesia. Implikasinya adalah jumlah buruh yang bekerja di daerah ini termasuk yang paling besar di Indonesia. Nama Sarbupri dengan cepat menjadi populer di kalangan buruh perkebunan di Sumatera Utara karena keberaniannya dalam melakukan aksi-aksi sebelumnya. Hal ini terbukti bahwa dari periode awal sampai pertengahan tahun 1950-an, Sarbupri menjadi serikat buruh paling berpengaruh di Sumatera Utara dengan anggota terbanyak dibandingkan dengan serikat-serikat buruh lain. Pada tahun 1952, dari 171.646 buruh perkebunan yang tergabung dalam serikat buruh, 56 persen dari mereka merupakan anggota Sarbupri. Angka yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada tahun 1956, walaupun sedikit menurun tetapi masih pada angka 51 persen dari 169.547 buruh (Stoler 132).
Pada pertengahan tahun 1950 Sarbupri berhasil mengorganisir pemogokan yang diikuti 700.000 buruh perkebunan. Pemogokan raksasa yang berlangsung pada Agustus sampai September 1950 dan didukung oleh BTI dan SOBSI ini berakhir dengan kemenangan di pihak demonstran. Sarbupri berhasil memenangkan kenaikan upah minimum untuk pekerja perkebunan, dan pemogokan yang dilakukan pada September 1953 menghasilkan kenaikan upah buruh perkebunan sebesar 30 persen. Selain masalah upah - di Sumatra Utara - Sarbupri dengan gigih memperjuangkan untuk menyingkirkan sisa-sisa terakhir dari perumahan barak dan menuntut agar para pekerja diberikan bahan dan waktu (selama jam kerja berbayar) untuk merawat dan memperbaiki tempat tinggal mereka (Stoler 1985: 127; DS 2003: 31).
Keberhasilan aksi-aksi yang dilakukan Sarbupri dan organisasi-organisasi buruh kiri lainnya membuat pihak militer merasa khawatir. Untuk mengimbanginya militer mendirikan Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) pada 20 Mei 1960. Usaha ini kurang memberikan hasil. Keberhasilan Sarbupri memperjuangkan tuntutan buruh untuk mempertahankan standard hidup perkebunan pekerja, terutama dengan dimasukkan atau dipertahankannya penyediaan kebutuhan dasar dalam bentuk in-natura (beras, minyak goreng, kain, gula, dll.) sebagai bagian dari paket pembayaran membuat organisasi ini tetap menjadi pilihan. Hal ini terbukti bahwa sampai tahun 1963 Sarbupri memiliki anggota 700.000 orang (White 2016: 3-4).
Kiprah Sarbupri baru berakhir dengan terjadinya Pemberontakan G30S. Akibat peristiwa tersebut Sarbupri dan semua organisasi kiri lainnya menjadi terlarang. Karena dituduh mendukung Pemberontakan G30S, banyak anggota dan simpatisannya dipenjara tanpa pengadilan. Yang selamat hanya tokoh-tokoh yang kebetulan sedang di luar negeri, seperti yang dialami salah seorang pendiri Sarbupri yang tahun 1965 menjabat Sekretaris Jendral, Suparna Sastra Diredja (Haag 1995: 347).
Penulis: Mawardi
Instansi: Universitas Syiah Kuala
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
DS, Soegiridan Edi Cahyono. 2003. Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra.
Gie, Soe Hok. 1997. Orang-Orang di Persimpangan Kir iJalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948. Yayasan Benteng Budaya.
Haag, Jaap, “Guide to the International Archives and Collections at the IISH: Supplement over 1994”, International Review of Social History, Vol. 40, No. 2 (August 1995), pp. 345-356, Cambridge University Press. https://www.jstor.org/stable/44583760.
Stoler, Ann Laura. 1985. Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870-1979.New Haven : Yale University Press.
White, Ben. 2016. “Remembering the Indonesian Peasants’ Front andPlantation Workers’ Union (1945–1966)”, The Journal of Peasant Studies, 43:1, 1-16, DOI:10.1080/03066150.2015.1101069, http://dx.doi.org/10.1080/03066150.2015.1101069.