Sarekat Hedjo

From Ensiklopedia

Sarekat Hdejo (SH) adalah organisasi gerakan rakyat bercorak Jawa-Sunda yang basis utamanya di wilayah Priangan, yakni Cianjur, Sumedang, dan Pamitran Bandung (Mulawarman, 2020: 130). SH didirikan oleh Bupati Sumedang sekitar pertengahan tahun 1924, sebagai respon terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh Sarekat Rakjat (SR) (Iskandar 2008: 262). Penerapan disiplin partai dalam Sarekat Islam setelah kongres pada Oktober 1921 menghasilkan keputusan yang melarang keanggotaan ganda. Hal ini berarti setiap anggota SI yang merangkap anggota partai lain dipaksa memilih bertahan menjadi anggota SI atau keluar partai. Setelahnya SI terpecah menjadi dua kelompok, SI Merah yang kemudian pada November 1922 berubah menjadi Sarekat Rakyat (SR) di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Sarekat Islam (SI) Putih atau dikenal dengan sebutan SI (Marihandono 2008: 261).

Dalam propagandanya Sarekat Rakjat  ini seringkali mengangkat masalah kesejahteraan dan keadilan, menjanjikan kepada rakyat untuk bisa mendapatkan tanah apabila mau bergabung bersama kelompoknya. Selain itu, Sarekat Rakyat kerap memanfaatkan kepercayaan penduduk lokal akan datangnya Ratu Adil, Ramalan Jayabaya ataupun menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai alat propaganda. Tak jarang pula mereka mengejek kiai dan tokoh-tokoh SI sebagai lintah darat dan pemakan riba (Balatentara Islam, 1925; Marihandono 2008: 261-266). Aksi-aksi Sarekat Rakyat ini memunculkan balasan dari SI ataupun kelompok yang dirugikan, salah satunya dari kalangan priyayi. Pembentukan Sarekat Hedjo ini bertujuan untuk melakukan teror terhadap organisasi radikal (Ramaadhan 2021: 140-141). Dalam catatan McVey, Sarekat Hedjo ini gencar melakukan aksi dengan membubarkan kegiatan-kegiatan yang berbau PKI (McVey 2006: 295-296).

Meski demikian, kehadiran Sarekat Hejo bukan semata-mata untuk melawan Sarekat Rakjat. Dalam tulisan Moh. Iskandar dengan mengutip dari sumber-sumber kolonial, disebutkan bahwa tujuan berdirinya Sarekat Hedjo adalah: (1) Untuk melawan agitasi dan intimidasi dari pihak komunis, (2) Memberi garis yang jelas dalam satu kerjasama dan saling menolong, terutama jika pemerintah perlu bantuan (Missive voor Inlendshce Zaken No. G/189, 15 Juni 1925, dalam koleksi Kern; Marihandono 2008; 262; Zuhdi, Nursam., 251-252).

Khusus di kabupaten Sumedang, keberadaan Sarekat Hedjo mencapai tingkat ranting di tiap-tiap desa. Kepala desa atau lurah biasanya menjadi ketua tingkat ranting, sedangkan seorang camat menjadi ketua tingkat kecamatan, dan patih untuk tingkat kabupaten. Meskipun, Sarekat Hedjo tidak mempunyai kepengurusan yang terpusat seperti adanya pengurus besar (PB) atau pengurus pusat (PP). Keanggotaannya tak terbatas hanya pada kaum priyayi, namun terbuka juga untuk kiai dan ulama yang berjasa meneguhkan watak keislaman organisasi. Sosok kiai dan ulama terkenal mendukung gerakan ini, antara lain Kiai Haji Ajengan Ahmad Satibi (Pesantren Gentur-Jambudwipa, Cianjur) dan Kiai Haji Ajengan Uyek Abdullah (Pesantren Pabuaran, Sukabumi)  (KITLV – Kern No. 342; Balatentara Islam, 1924).

Aksi-aksi Sarekat Hedjo dalam mengusung gerakan anti Sarekat Rakjat atau Komunis ini terbilang berani dan sukses di beberapa tempat yang tersebar di Jawa Barat, seperti Sumedang, Priangan, Garut, Sukabumi dan Cianjur. Bahkan M.C Ricklefs menyebut kelompok ini sebagai kaki tangan Pemerintah Kolonial karena kelompok ini dianggap sebagai gerombolan penjahat, para anggota polisi dan kiai yang mendapat dukungan pemerintah kolonial dan pejabat priyayi. Tuduhan ini muncul akibat dari ulah para anggotanya yang selalu menyerang dan mengintimidasi kegiatan PKI dan SI (Ricklefs, 2008: 384).

Perlahan kegiatan Sarekat Hedjo menurun bersamaan dengan menurunnya kegiatan Sarekat Rakjat atau PKI. Meski terbilang cukup sukses, tidak terlihat upaya dari pimpinannya untuk mengembangkan atau mempertahankan eksistensi organisasi Sarekat Hejo ini. Sebagai kekuatan informal pemerintah kolonial, pergerakan Sarekat Hedjo sangat fleksibel, sasaran mereka adalah perkumpulan dan tokoh yang terindikasi merah (kiri). Indoktrinisasi merah bermakna komunis dan komunis sama dengan kafir membuat mereka sering melakukan teror, penyerangan, pengucilan dan  penculikan (Ramaadhan, 2021: 141-142). Di beberapa daerah malah hilang atau beralih fungsi menjadi kelompok yang melindungi preman atau bandit, di mana preman tersebut dibayar untuk mencari orang-orang terindikasi komunis (Djoko Marihandono 2008: 262-266).

Penulis: Akhmad Yusuf
Instansi: Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Abdullah, Taufik, et.al. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5 (Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Kemendikbud, 2013.

Aidit, D.N. Lahirnja PKI dan Perkembangannja 1920-1955. Jakarta: Jajasan Pembaruan, 1955.

Cheong, Yong Mun. Conflicts Within the Prijaji World of the Parahyangan in West Java 1914 – 1927, ISEAS - Yusof Ishak Institute, 1973, p. 33-35.

Departemen Penerangan, Republik Indonesia Propinsi Jawa Barat, Jakarta; Penerbit Kementerian Penerangan, 1953.

Firdaus, Fadrik Aziz, Njoto: Biografi Pemikiran 1951-1965, Tangerang Selatan: CV. Margin Kiri, 2017.

Hernawan, Wawan. Ahmad Sanoesi (1888-1950): Penggerak Organisasi Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII), Patanjala (Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya) Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 2 (2013) h. 200-216.

Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900 – 1950. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.

Marihandono, Djoko. Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra dan Departemen Sejarah FIB – UI, . 2008.

McVey, Ruth T. The Rise of Indonesian Communism, Jakarta: Equinox Publishing, 2006.

Mulawarman, Dedi Aji. Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto (Edisi Revisi), Malang: Penerbit Penelaah, Cet. Keempat, 2020.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. Terjemahan oleh Deliar Noer. Jakarta: LP3ES, 1980.

Ramaadhan, Agung dan Yulia Sofiani, Politik Reaksioner: Reaksi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Terhadap Gerakan Radikal di Bandung pada Tahun 1920-1927, Bihari: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, Vol.4 No.2 Tahun (2021), h. 133-146.

Zuhdi, Susanto., dan Nursam. ed. Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, Nation Information, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.