Tahanan Politik (TAPOL)
Tahanan Politik (TAPOL), adalah seseorang yang ditahan oleh pemerintah karena memiliki ide, paham, dan pemikiran yang dianggap terlarang oleh pemerintah, atau terlibat dalam aksi dan gerakan yang dianggap menentang pemerintah, serta aktivitasnya dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah. TAPOL biasanya dikenakan tahanan rumah, dipenjara atau diasingkan ke tempat pembuangan. (Laura, 2003; Arce, 2003). Sebagian TAPOL dikenakan tahanan tanpa pernah disidang, sebagian lagi disidang tetapi dengan tuduhan yang umumnya direkayasa penguasa, dan sebagian lainnya ditahan setelah disidang yang kadang kala sangat rumit, tetapi ada juga yang disidang secara cepat (Dallier 2009: 637-8).
Istilah TAPOL berkembang luas pada masa Orde Baru, saat mana pemerintah banyak melakukan penangkapan dan penahanan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi pendukungnya. Mereka ditahan karena dituduh terlibat dalam peristiwa G30S, terlibat dalam pembunuhan para perwira tinggi dan menengah TNI Angkatan Darat di Lobang Buaya, dan gerakan makar untuk mengganti ideologi negara. Walaupun tidak ditahui jumlah pastinya, namun bisa ditegaskan, bahwa ada ribuan orang yang ditahan. Sebagian besar dari mereka ditawan pada penjara umum, namun banyak yan ditahan di penjara khusus bahkan ada yang diasingkan di daerah tertentu, seperti Pulau Buru (Cribb, 2000:342
Penagkapan dilakukan oleh tentara dibawah komando dari Komandan Distrik Militer. Unit atau kesatuan ini adalah pelaksana dari intruksi yang diberikan oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib). Lembaga ini dibentuk oleh Soeharto tanggal 10 Oktober 1965. Aksi-aksi penangkapan dilempangkan oleh adanya penetapan status darurat militer oleh pemerintah. Status darurat militer ini memberi peluang kepada tentara untuk menangkapi setiap orang yang terlibat dalam aksi G30S, menangkapi orang-orang yang dicurigai terlibat dalam peristiwa G30S, atau bahkan menangkapi orang yang dituduh mendukung PKI, walaupun tidak ada bukti sama sekali (Kroef 1976-1977: 626-27; Pohlman 2004: 2).
Permerintah Orde Baru memberi kategori khusus terhadap TAPOL. Kategori yang diberikan bersifat alfabetis, yakni kategori “A”, “B”, dan “C”. Kategori “A” ada para tahanan yang dikatakan sebagai tokoh yang terlibat langsung dalam aksi kudeta, pengurus inti PKI atau organsiasi pendukungnya, atau tokoh yang dianggap mempunyai bukti-bukti kuat sehingga layak disidangkan di pengadilan. TAPOL kategori “A” ini umumhya ditawan setelah disidang, umumnya di Mahkamah Militer. Untuk kategori "B" adalah tahanan yang dianggap terlibat secara tidak langsung, mereka ditahan tanpa sidang pengadilan karena tidak memiliki bukti yang kuat untuk dihadapkan ke depan hakim. Kategori “C” adalah orang-orang yang pernah tercatat sebagai anggota PKI atau organisasi pendukungnya atau namanya pernah menerima sesuatu (bantuan) dari PKI atau organisasi pendukungnya (Kroef 1976-1977: 626-638; Pohlman 2004: 2)..
Dalam catatan I.G Krisnadi, pada 1969, 2.500 TAPOL dikirim dari Jawa ke Pulau Buru. Sebagian besar dari mereka sebelumnya telah ditahan di berbagai penjara di daerah, seperti Salemba (Jakarta) dan Nusakambangan (Jawa Tengah). Tahun 1970 misalnya diberangkatkan sebanyak 5.000 TAPOL ke Buru. Gelombang berikutnya, tahun 1971, sebanyak 2.500 TAPOL. Pada 1972, pemerintah menawarkan kepada keluarga TAPOL untuk ikut menyusul anggota keluarganya yang telah berada di Buru. Tidak semua setuju dengan usulan itu. Pasalnya, ini berarti pengasingan sepenuhnya keluarga TAPOL dari tempat asal mereka (Krisnadi, 2000: 200).
Walaupun istilah TAPOL marak pada masa Orde Baru sesungguhnya pemenjaraan atau penahanan yang sifatnya sangat politis terhadap tokoh yang dianggap berseberangan dengan pemerintah juga dilakukan pada masa Orde Lama. Pemerintahan Sukarno memenjarakan sejumlah tokoh yang dianggapnya tidak sejalan dengannya atau dituduh melakukan makar terhadap negara. Sukarno misalnya pernah memenjarakan Soetan Syahrir, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Hamka, untuk menyebut beberapa nama.
Untuk masa sebelumnya, istilah TAPOL tidak lazim dipakai, sebagai gantinya digunakan kriminal politik, sebuah istilah yang bemakna sama, yakni aksi dilakukan oleh rezim yang berkuasa untuk membungkam lawan-lawan politiknya.
Penulis: Fikrul Hanif Sufyan
Instansi: STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Cribb, Robert (2000). The Indonesian Killings. Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa
Cribb, Robert dan Audrey Kahin (2004). Historical Dictionary of Indonesia. Toronto: The Scarecrow Press, Inc.
Dallier, Douglas J., “Political Prisoners”, dalam Greene, Helen Taylor, Shaun L. Gabbidon (eds.), Encyclopedia of Race and Crime. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc., 2009
Krisnadi, IG (2000). Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta: LP3ES.
Kroef, Justus M. van der, “Indonesia 's Political Prisoners”, dalam Pacific Affairs, Vol. 49, No. 4 (Winter, 1976-1977), hal. 625-647.
Pohlman, Anne, “A Fragment of a Story: Gerwani and Tapol Experiences” dalam Intersections, Gender, History and Culture in the Asian Context, Issue 10, Ausgust 2004.