Tahi Bonar Simatupang

From Ensiklopedia
Tahi Bonar Simatupang. Koleksi Foto ANEFO oleh JD Noske. Sumber: Nationaal Archief Nederlands. NA - 2.24.01.09

Tahi Bonar Simatupang (T.B. Simatupang), atau yang akrab disapa Pak Sim, telah menancapkan pengaruh yang besar di pentas perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah menyelesaikan sekolah dasar berbahasa Belanda di Pematang Siantar, ia masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Tarutung dan lulus pada 1937. Ia harus pergi ke Jawa untuk melanjutkan studi karena tidak ada pendidikan menengah tinggi daerahnya. Memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di Jakarta, ia tinggal di asrama mahasiswa bersama siswa-siswi yang berasal dari daerah. Banyak mahasiswa dari Hoogere Theologische School/ Sekolah Tinggi Teologi (HTS) yang menjadi teman akrabnya kemudian menjadi pemimpin dalam gerakan ekumenis di Indonesia (Cooley, 1990: 145).

Selanjutnya, pada tahun 1940, ketika berusia 20 tahun, Sim (begitu disapa oleh rekan-rekan tarunanya), sengaja masuk The Royal Dutch Military Academy di Bandung dalam rangka membantah pendapat yang beredar di kalangan Belanda saat itu, bahwa rakyat Indonesia tidak akan pernah bisa merdeka atau membangun angkatan bersenjata modern, seperti yang dikatakan dalam petikan wawancaranya:

“Orang Belanda sering mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa merdeka, dengan dua alasan, yaitu Indonesia tidak bisa bersatu dan Indonesia tidak dapat membangun tentara atau angkatan perang: katanya kalau mau terbang kakinya terlalu pendek, matanya buta warna” (Matondang, 1989: 31).

Narasi-narasi sinis dari pihak Belanda telah menjadi bahan bakar untuk membuktikan bahwa “kami ini bisa”. Perasaan dan kebanggaan nasionalis Sim yang kuat memang telah berkembang lebih awal. Di antara taruna di dua kelas yang masuk sebelum Jepang mengalahkan Belanda di Jawa, ada sekitar lima belas orang Indonesia, yang mayoritas dipengaruhi oleh gerakan nasionalis. Motivasi khusus dan kemampuan intelektualnya yang superior mengantarkan Sim sebagai kadet yang excellent. Ia mendapat penghargaan sebagai “Kroon-Cadet” atau Kadet Mahkota yang diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato perpisahan mewakili akademi (Cooley, 1990: 146).

Ada satu ciri menarik dalam riwayat hidup Sim, yaitu prestasinya sebagai lulusan terbaik pada setiap sekolah yang ia masuki, baik sipil maupun militer (Moerdiono, 1990: 151-152). Sejak duduk di bangku SMP, ia menaruh minat terhadap bacaan-bacaan bernuansa pergerakan, bahkan ia hampir diusir dari sekolah lantaran membaca buku yang membuat pidato pembelaan Sukarno berjudul “Indonesia Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat), tetapi untung ia tidak jadi dijatuhi hukuman pengusiran karena termasuk murid yang cerdas (Simatupang dan Matondang, 1989: 67-68; Matondang, 1989: 30). Siaji Simatupang, putra kedua T.B. Simatupang membenarkan bahwa sejak di bangku SMP, ayahnya banyak mendapat inspirasi melalui tulisan-tulisan tentang Bung Karno (Sirait, 2006: 4). 

Jenderal kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara pada 28 Januari 1920 ini, adalah prototipe prajurit yang aktif sekaligus seorang cendekiawan yang banyak menelurkan pemikiran dan konsep-konsep tentang pertahanan. Sebuah kombinasi antara konsistensi dalam pengabdian dan intelegensia yang tinggi. Di arena tempur, ia pernah memimpin perang gerilya di pedalaman pulau Jawa sebagai respon terhadap Agresi Militer Belanda. Berkat kecakapannya dalam memimpin, disertai kapasitas intelektualnya yang tinggi, ketika masih berusia 20 tahunan, ia terpilih menjadi salah satu pembina tentara Indonesia. Ketika angkatan perang dibentuk pada Oktober 1945, T.B. Simatupang menjadi salah seorang pemimpin, terutama dalam bidang perkembangan teori, organisasi, pendidikan, diplomasi, yang berkaitan dengan dimensi kemiliteran (Makugoru, 2007: 5). Tidak salah jika ia memilih untuk masuk di cabang Zeni di Koninklijke Militair Academie (KMA) (Suryohadiprodjo, 1990: 52).  Pada tahun 1947,  ia  juga memegang peran utama dalam perancangan konsep Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara Nasional Indonesia (Rera TNI) (Suryohadiprodjo, 1990: 53).

Dalam kancah diplomasi, bersama dengan Komodor Surjadarma, Kolonel Subijakto, Letnan Kolonel Daan Jahja dan Letnan Kolonel Harjono, Kolonel T.B. Simatupang (mulai tahun 1950-1953 ia berpangkat kolonel) juga dilibatkan menjadi anggota delegasi Republik Indonesia (RI) dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Ridderzaal, Den Haag Belanda tahun 1949, untuk mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dimensi kemiliteran (Simatupang, 1960: 232 dalam Nasution, 1996:161; lihat juga Sirait, 2006: 4). Dengan begitu, ia sudah amat dini berhubungan dengan para pemimpin negara tertinggi, termasuk Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Menurut Let. Jen TNI. Purn. Sayidiman Suryohadiprodjo, kesempatan yang diperoleh Pak Sim tidak terlepas dari kemampuannya dalam menyampaikan gagasan secara logis, sistematis, dan teratur. Sebagai hasil dari peranannya yang penting dalam KMB, maka Pak Sim menjadi tokoh militer yang amat brilian dan disegani. Boleh dikatakan ia menjadi diplomatnya TNI di samping para komandan yang menjalankan pertempuran (Suryohadiprodjo, 1990: 53 dalam Pardede (eds.) 1990).

Bersamaan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Desember 1949, dibentuk pula Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang merupakan gabungan TNI dengan bekas tentara bentukan Belanda (KNIL, KM, KL). TNI menjadi inti dari APRIS. Pemerintah mengangkat Letnan Jenderal Soedirman sebagai Kepala Staf APRIS. Namun, karena Jenderal Soedirman masih terbaring sakit, Kolonel T.B. Simatupang kemudian diangkat sebagai Pejabat Kepala Staf APRIS, jabatan militer tertinggi dalam RIS dan kemudian juga dalam RI. Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950, dengan demikian Kolonel T.B. Simatupang menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dengan pangkat Jenderal Mayor, dalam usia 29 tahun (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1995; Makugoru, 2007: 5).

Dalam posisinya sebagai KSAP, ia memimpin Kepala Staf Gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Sejumlah tantangan besar dihadapinya, yang paling mendasar dan sulit adalah menempatkan angkatan bersenjata, yang telah tumbuh begitu besar selama Perang Rakyat. Selain itu, ada tanda-tanda tumbuhnya ancaman politik terhadap dasar negara, yang dilancarkan baik oleh Komunis, maupun oleh Darul Islam dan kelompok-kelompok serupa yang berjuang untuk mendirikan negara agama. TNI akhirnya memutuskan untuk melembagakan Tujuh Sumpah (Sapta Marga) dan Sumpah Prajurit, mengikrarkan kesetiaan mutlak kepada Pancasila, untuk menjamin persatuan angkatan bersenjata dan persatuan bangsa (Cooley, 1990: 146-147).

Menurut Frank L. Cooley, rekan dan teman lama Pak Sim, inilah inti persoalan yang mengarah pada Peristiwa “17 Oktober” 1952, di mana terjadi friksi yang tajam antara Presiden Sukarno dan pimpinan angkatan bersenjata, khususnya T.B. Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel A.H. Nasution. Hasil akhirnya adalah pencopotan Nasution pada tahun 1953 dan pencopotan jabatan yang dipegang oleh Simatupang. Setelah menolak menjadi duta besar, Mayor Jenderal Simatupang, perwira tertinggi di angkatan bersenjata Indonesia, diangkat sebagai advisor militer (yang nasihatnya tidak pernah diminta), sehingga ia harus menghentikan dinasnya sebagai seorang duta besar perwira aktif (Cooley, 1990: 147).

T.B. Simatupang pensiun dari dinas aktif pada usia 39 (tahun 1959) dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Jika di masa dinasnya dihitung dari tahun 1945, berarti menjadi TNI aktif selama 14 tahun (Oetama, 2001: 62; (Sirait, 2006: 4; Matondang, 1989: 3). Setelah pensiun, T.B. Simatupang tergerak dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Ia intensif mencurahkan tenaganya dalam apa yang disebut seni hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bergereja. Dari sinilah, Pak Sim menilai semua realitas yang ada di depannya (Latuihamallo, 1990: 22). Ia pernah menjadi ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI), Ketua Dewan Gereja se-Asia, dan terakhir ketua Dewan Gereja se-Dunia (Sirait, 2006: 4).

Terkait dengan kiprahnya, T.B. Simatupang adalah seorang yang mempunyai pengetahuan yang cukup luas tentang ketentaraan, diplomasi (politik dan militer), dan teologi.  Informasi yang beragam ini diperoleh dari 3 tokoh Karl, yakni Karl von Clausewitz (teoretikus militer), Karl Marx (pejuang keadilan sosial) dan Karl Barth (teolog ternama). Selain itu, ia juga belajar tentang etika dan realisme teologi dari ahli teolog Amerika, Reinhold Niebuhr (Latuihamallo, 1990: 22 dalam Pardede (eds.), 1990); Matondang, 1989: 4).

Pak Sim turut aktif mengambil bagian dalam pengembangan atau pemodernan Angkatan Perang RI, dengan merumuskan doktrin dan fungsinya (Sambutan, 1990: 18 dalam Pardede (eds), 1990). Jika diperhatikan lebih jauh, sejarah militer Indonesia jelas sarat dengan pemikiran strategis Pak Sim. Menurut Moerdiono, istilah lingkungan pertahanan, yang dikenal dengan istilah Wehrkreise sebetulnya berasal dari Pak Sim ketika menjabat sebagai kepala organisasi di Markas Angkatan Perang Republik di Yogyakarta. Pak Sim mengutipnya dari “Buku Pegangan untuk Ilmu Perang” dalam Bahasa Belanda (Moerdiono, 1990: 151-152 dalam  Pardede (eds.), 1990).  

Sebagai seorang intelektual, T.B. Simatupang terus menghasilkan karya berupa buku dengan beragam tema, mulai dari kemiliteran, gereja hingga kekristenan. Ia juga sering mengadakan ceramah tentang peran gereja dalam pembangunan Indonesia (Sirait. 2006: 4). Dalam menuliskan karya, ia bersikap reflektif-kritis, sebagaimana tercermin dalam salah satu karyanya yang spektakuler, Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Pradjurit selama perang kemerdekaan, yang diterbitkan oleh PT Pembangunan untuk pertama kali pada tahun 1960.  Dalam buku itu, ia menulis setiap peristiwa, mengamati, menganalisis secara tajam dan berulang-ulang merefleksikan maknanya. Laporan dari  Banaran lebih dari serangkaian kronik atau peristiwa, didalamnya memuat interpretasi, visi, dan refleksinya mengenai kejadian-kejadian pada masa perang kemerdekaan (Oetama, 2001: 66).

T.B. Simatupang juga menulis tentang isu-isu politik dan kemasyarakatan. Orang awam melihat bahwa ia terobsesi oleh Pancasila (semacam obsession magnifique), seperti yang tercermin dalam tulisan-tulisannya tentang Pancasila dan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila menuju tinggal landas (Sambutan, 1990: 18 dalam Pardede (eds.), 1990).  Pak Sim tidak pernah bosan untuk mengajak semua warga Republik Indonesia untuk berbakti dan mengembangkan kualitas hidup melalui pembangunan nasional (Pengantar, 1990: 9 dalam  Pardede (eds.). 1990). Ia juga selalu mengingatkan tentang heterogenitas budaya, agama, politik di masyarakat Indonesia yang berpotensi memicu disintegrasi bangsa. Dari concern yang demikian, kita dapat memahami obsesi beliau tentang kehidupan politik berdasarkan demokrasi Pancasila. Itulah sebabnya, hampir dalam setiap pembahasan tulisan beliau, baik berupa artikel, editorial, maupun buku, selalu terkait dengan kata-kata Demokrasi Pancasila, masyarakat Pancasila, dan sila-sila dari Pancasila (Sjahrir, Kompas, 2 Januari, 1990: 1).

Sebagai seorang pemikir, Pak Sim banyak memberikan sumbangannya untuk gereja. Setelah pensiun, ia pindah profesi dari Bhayangkara Negara Indonesia menjadi militia christi lewat pengabdiannya melalui DGI/PGI. Militia berarti pejuang sukarelawan, yang rela mengabdikan bahkan mengorbankan diri demi cita-citanya melayani juru selamat, yang dipercayai dan diimbangi secara sangat sadar dan sepenuh hati (Sambutan, 1990: 15 dalam Pardede (eds.), 1990).

Menurut Sjahrir, peninggalan Pak Sim yang berharga di samping pikirannya adalah sikap yang demokratis. Pak Sim adalah seorang demokrat sejati yang tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan. Perilaku Pak Sim adalah perilaku pancasilais sejati. Tampak betapa Pak Sim begitu keras dalam pendirian dan cakap dalam pengembangan argumentasinya. Tetapi yang selama-lamanya tidak bisa dilupakan adalah sikap demokratis yang tulen, alamiah dan amat mengharukan. Sebagaimana yang ditulis Sjahrir dalam Kompas (1990).

“Bayangkan seorang mantan KSAP “digugat” secara amat kurang sopannya oleh seorang muda berusia 20-an. Ia menjawab secara keras, namun senyumnya itu tetap tersungging di bibirnya yang begitu bersih. Bagi bangsa ini, kehilangan Pak Sim adalah kehilangan seorang patriot yang tak berhenti berpikir dan selalu bersikap demokratis” (Sjahrir, Kompas, 2 Januari 1990: 1).


Buku Saya Adalah Orang yang Berhutang, yang ditulis oleh 45 kolega Pak Sim, sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-70 (namun, ia lebih dulu berpulang sebelum perayaan ulang tahun) adalah bukti kongkrit betapa hebatnya gelombang inspirasi dan semangat yang berhasil ditularkan oleh Pak Sim pada rekan-rekan, yang mengenalnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Buku itu merupakan salah satu bahan investasi intelektual, moral, etik, spiritual sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Sim dalam pesan tertulisnya sebelum beliau meninggal (Pengantar, 1990: 9 dalam  Pardede (eds), 1990). Meskipun telah berpulang pada 1 Januari 1990 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta (Sirait, 2006: 4). Sampai hari ini, karya-karya Pak Sim, baik individual ataupun kolektif telah dan terus bertransendensi melampaui batas waktu, usia, dan ruang (Oetama, 2001: 66).

Penulis: Fanada Sholihah
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1995) 50 Tahun ABRI. Jakarta. Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI.

Frank L. Cooley (1990) “In Memoriam: T. B. Simatupang, 1920-1990”, Indonesia 49, April: 145-152.

Latuihamallo (1990) “Menyambut USia ke-70 Dr. T.B. Simatupang”, dalam Samuel Pardede (eds) (1990) 70 Tahun Dr. TB Simatupang: Saya Adalah Orang yang Beruntung. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Makugoru, Paul (2007) "Jejak Perlawanan Kristen Terhadap Penjajah", Tabloid Refromata Edisi 65 tahun V, 16-31 Agustus, Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA), hlm. 5

Moerdiono, “Tahi Bonar Simatupang, Seorang Prajurit Pemikir” dalam Samuel Pardede (eds) (1990) 70 Tahun Dr. TB Simatupang: Saya Adalah Orang yang Beruntung. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Oetama, Jakob (2001) Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Simatupang, T.B. (1960) Laporan dari Banaran. Jakarta. PT Pembangunan: 232) dalam Abdul Haris Nasution (1996) Sejarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersendjata. Jakarta. PN. Karya Tjotas- Pertjetakan Djakarta II.

Simatupang, T.B. dan H. M. Victor Matondang (1989) Percakapan dengan Dr. Tahi Bonar Simatupang. Jakarta. BPK Gunung Mulia.

Sirait, Binsar TH (2006) “Letjen (TNI) TB Simatupang, Mantan Kepala Staf Angkatan Perang RI: Di Usia Muda, jadi Pembina Tentara Indonesia, Tabloid Reformata, 24 Agustus Minggu II, hlm. 04.

Sjahrir (1990) Dr. TB Simatupang: Pejuang dan Demokrat sampai Akhir Hayatnya, Kompas, 2 Januari, hlm. 01.

Suryohadiprodjo, Sayidiman (1990) “T.B. Simatupang- Perwira Militer-Cendekiawan”, dalam Samuel Pardede (eds) (1990) 70 Tahun Dr. TB Simatupang: Saya Adalah Orang yang Beruntung. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.