Trisno Sumardjo
Pria kelahiran Surabaya 6 Desember 1916 ini termasuk sosok serba bisa dalam berkarya. Ia pelukis, penyair, penulis, penerjemah, kritikus seni, dan pegiat kebudayaan. Trisno juga ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Moeljanto, 1995: 151). Dia dibesarkan dari keluarga pendidik. Ayahnya, Mohammad As’ari adalah seorang guru swasta di Jember. Setelah menyelesaikan pendidikan pada Algemene Middelbare School (AMS) II Barat Klasik di Yogyakarta, Trisno mengikuti jejak ayahnya menjadi guru swasta di Jember (1938-1942), kemudian berpindah ke Madiun dan bekerja pada Jawatan Kereta Api. Di sela-sela kesibukan sebagai pegawai kereta api, Trisno mulai melukis dan menulis. Naskah drama Dokter Kambudja adalah buktinya.
Di kota itu pula, Trisno menikah dengan Sukartinah pada 18 Maret 1951. Mereka dikarunia dua orang anak, Lestari (lahir 1955) dan Budi Santoso (lahir 1956). Jiwa seniman rupanya mengusik batin Trisno sehingga memutuskan pindah ke Solo dan bergabung bersama komunitas Seniman Indonesia Muda (SIM). Di kota Bengawan itu, Trisno juga menggeluti dunia penerbitan. Selama dua tahun (1947-1948) Trisno memimpin jurnal Seniman (Rosidi, 2013).
Trisno hijrah ke ibukota pada awal 1950 dan semakin meningkatkan produktivitas seni dan aktivitas kebudayaan. Trisno juga meniti karir di dunia jurnalistik sebagai redaktur di majalah Indonesia (1950-1952), majalah Seni (1954), dan majalah Gaya (1968). Dalam aktivitas kebudayaan, ia pernah menjadi sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (1950), Sekretaris Umum Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BKMN) tahun 1957, dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama tahun 1968 hingga meninggal setahun kemudian. Pada tahun 1952, sastrawan angkatan ‘45 ini memperoleh beasiswa untuk belajar selama enam bulan di Amerika Serikat, serta mengunjungi beberapa negara di Eropa Barat. Pada tahun 1957 ia menjadi Ketua Delegasi Pengarang Indonesia untuk berkunjung ke RRC. Empat tahun kemudian, Trisno kembali berkunjung ke Amerika Serikat untuk misi pertukaran kebudayaan (Holt, 2000: 529).
Trisno Sumardjo menulis lima peran seniman di masyarakat, yaitu: Seni Buah Kejujuran, Seni Buah Penderitaan, Seni Sikap Hidup, Seniman Dalam Masyarakat, dan Seni Buah Pelarian (Sumardjo, 1951). Mengenai kejujuran, Trisno menyatakan,”Tiap-tiap seniman sejati itu jujur. Tidak dapat bohong. Kalau berbohong keseniannya akan menjadi kebohongan dan palsu. Tidak ada pohon mangga berbuah durian. Perbuatan seseorang adalah pancaran wataknya. Jadi seni sejati mestinya jujur.
Tentang seni buah penderitaan, Trisno menyatakan bahwa pekerjaan seni adalah akibat kebutuhan yang tak dapat dipaksa‐paksa dan akan memberi kebahagiaan pembuatnya. Kondisi bangsa yang sudah cukup lama menderita akibat penjajahan, bukan menjadi halangan. Sebaliknya situasi tersebut merupakan tantangan dalam menggembleng para seniman menjadi makhluk‐makhluk yang lebih tahan uji.
Mengenai seni dan sikap hidup, bahwa seniman tulen tidak menyukai bombastis, show, pose, dan pura‐pura. Seniman tulen bekerja dengan tiada gembar‐gembor, bukan pujian yang dicarinya, tak ada pamrihnya (eigenbelang) selain membuat buah seni, tempat ia berkecimpung dalam kebahagiaannya. Trisno menegaskan bahwa ikatan batin seniman pada hasil kerjanya itu sama atau sangat dekat persamaannya dengan ikatan batinnya terhadap anak atau istrinya yang dicintainya. Jiwa seni tak usah terkekang oleh kecerdasan mutlak, maupun tidak ditundukan oleh tidak adanya kemakmuran seperti yang dikejar oleh kaum borjuis‐kapitalis‐feodalis yang merajalela dalam pemerintahan.
Trisno mengedepankan konsep tentang keseimbangan antara idealis dan realis yang harus dimiliki seniman. Menyadari bahwa profesi seniman masih terasa janggal bagi masyarakat, justru menjadi tantangan dan sumber semangat untuk terus berkarya. Seniman merenung bukan hanya untuk merenung. Ia menyiapkan konsepsinya yang akan berubah nyata dalam bentuk lukisan, lagu, syair dan sebagainya.
Trisno juga mengajak kepada para seniman Indonesia untuk meninggalkan paham I’art pour I’art alias seni untuk seni. Ia mencontohkan kematian tragis Van Gogh karena bunuh diri lantaran memuja paham tersebut. Trisno mengusulkan seniman harus menjalankan seni dari rakyat dan untuk rakyat. Ini bisa terjadi dengan pesat, bilamana beberapa syarat telah dipenuhi: (1) Seniman mendapat tempat (pengakuan) dalam masyarakat, (2) Negeri berada dalam kemakmuran sampai tingkat yang menghapuskan kesengsaraan ekonomis, dan (3) Pendidikan sudah merata di kalangan rakyat biasa.
Kepergian seniman sederhana pada 21 April 1969 mengagetkan publik. Saat itu ia diberi amanah oleh Gubernur DKI Ali Sadikin menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Ia termasuk tokoh perintis Taman Ismail Marzuki (TIM) yang hingga kini menjadi ruang publik dan berkarya bagi masyarakat luas. Guna menghormati 10 tahun meninggalnya seniman ini, diterbitkan buku Trisno Sumardjo Pejuang Kesenian Indonesia. Goenawan Mohamad berkomentar bahwa Trisno Sumardjo merupakan sosok yang keras, sering sekali pahit, tidak pernah puas dengan keadaan dan jarang relaks. Termasuk dalam pandangan politik dan moral yang agak konservatif dan sangat menekankan pada pentingnya peran kesenian dan seniman. Trisno yang dikenal sebagai sastrawan dan pelukis sekaligus, terkadang justru mengalami penolakan dari kedua profesi tersebut, walaupun lebih suka disebut pelukis.
Claire Holt, Indonesianis asal Amerika Serikat, mengenang pertemuan terakhir bersama Trisno Sumardjo. “Saya mengenalnya sebagai pria yang sungguh-sungguh, bijaksana, intens namun sederhana, tidak suka basa-basi, dan umumnya agak pendiam. Apakah dia ingin dikenang terutama sebagai seorang pelukis?” (Holt, 1969: 213-216).
Holt juga mengemukakan bahwa selama ini kehidupan para seniman termasuk Trisno Sumardjo jauh dari sejahtera. Ia menggambarkan bahwa melukis tidak bisa menjadi pegangan hidup untuk mencari nafkah. Holt menyitir pernyataan Trisno Sumardjo bahwa melukis setahun untuk hidup setengah bulan," melukis setengah tahun untuk hidup setengah bulan.
Setidaknya terdapat sembilan terjemahan drama oleh Shakespeare, dan karya-karya Boris Pasternak, La Fontaine, dan Edgar Allan Poe. Sementara itu puisinya pernah dipresentasikan dalam koleksi berjudul Siluet (Silhouette). Dan dari puluhan cerpen yang ditulis, muncul beberapa koleksi; seperti Rumah Raja (The Great House), Daun Kering (Dry Leaves), dan Wadjah-Wadjah Jang Berubah (Changing Faces). Salah satu ceritanya, Narcissus, dimasukkan dalam terjemahan dalam antologi Jerman berjudul Kurz Erzahlt: Die Schönsten Geschichten der Weltliteratur (1949).
Tampak kegigihan Trisno dalam mendorong para seniman kontemporer untuk berkarya. Trisno juga memperingatkan masyarakat untuk selektif dalam membaca tulisan sarjana asing mengenai Indonesia. Bahkan tidak menerima begitu saja berbagai tulisan tentang Indonesia. Karena yang lebih memahami budaya masyarakat Indonesia, adalah penduduk Indonesia sendiri dan bukan orang asing.
Penulis: Waskito Widi Wardojo
Instansi: Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNS Surakarta
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Ayip, Rosidi. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Pustaka Jaya: Jakarta.
Eneste, Pamusuk. 1990. Leksikon Kesusasteraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan Kumpulan Karangan. Pamusuk Eneste (ed). Gramedia: Jakarta.
Holt, Claire 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. MSPI: Bandung.
Holt, Claire. 1969. https://ecommons.cornell.edu. In Memoriam: Trisno Sumardjo. di https://ecommons.cornell.edu/handle/1813/53471. (Diakses 4 Oktober 2021).
Moeljanto, DS.1995. Prahara Budaya. Kilas Balik Ofensif Lekra / PKI dkk. Mizan-Republika. Jakarta.
Surat Kabar Berita Buana, Sanento Yuliman “Dari Forum Seni Rupa Indonesia di TIM 8 Agustus 1989 Kreativitas Seni, Subjektivisme, dan Objektivisme” 29 Agustus 1989.
Surat Kabar Harian Kompas, Sanento Yuliman, “Indonesia dalam Seni Lukis, 21 Januari 1975.
Surat Kabar Suara Karya, Ry Fernandes, “Diskusi Seni Rupa di TIM: Dicari Tulisan Yang Berbobot’, 18 Februari 1983.
Majalah Kaki Langit “Trisno Sumardjo: Sastrawan dan Pejuang Kesenian” edisi Oktober 2011.
Majalah Zenith “Penghidupan Seniman” edisi TH.I No.I, 15 Januari 1951.