Manifesto Kebudayaan
Manifesto Kebudayaan atau Manifes Kebudayaan yang disingkat menjadi Manikebu, merupakan kelompok yang dipartisipasi oleh para seniman dan intelektual. Kelompok ini tidak berafiliasi dengan partai politik manapun dan sering dianggap netral. Kelompok Manifes Kebudayaan ini berkembang sekitar tahun 1960an. Pada 8 Mei 1964 Sukarno sebenarnya melarang adanya manifes kebudayaan dengan tidak ada manisfesto lain selain manifesto politik (Susanto, 2018:84).
Kemunculan manifest kebudayaan diawali dengan munculnya perbedaan pandangan dan ideologi antar sastrawan, budayawan, dan intelektual, namun mereka memiliki tujuan yang sama yaitu memakmurkan dan memajukan masyarakat Indonesia. Sekitar tahun 1950-1965 topik yang umum muncul dari pengarang periode tersebut terkait dengan kekecewaan terhadap revolusi, kemiskinan, atau persoalan ekonomi, dan persoalan akibat kebebasan revolusi fisik yang tidak menentu (Susanto, 2018:1).
Munculnya perdebatan kebudayaan yang terjadi pada tahun 1960an atara penulis yang disosiasikan sebagai pendukung ideologi kiri yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan para pendukung ideologi universal merupakan manifestasi Perang Dingin di bidang kebudayaan (Herlambang, 2015:8).
Kelompok Manifes Kebudayaan menggunakan senjata Pancasila sebagai acuan atau pokok dasar kebudayaan dan menyebutnya dengan Filsafat kebudayaan. Manikebu menggunakan paham humanisme universal memiliki keyakinan bahwa kebudayaan dan kesenian tidak hanya bersifat nasional tetapi juga menginsafi nilai-nilai yang universal dan tidak temporal, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Susanto, 2018:190).
Pada masa ini seniman kiri, yang tergabung di dalam sayap kebudayaan PKI, Lekra, juga memperkuat upaya mereka untuk mempromosikan gagasan komitmen politik di dalam seni dan sastra., sejalan dengan kampanye revolusioner Sukarno. Meningkatnya aktivitas kiri ini, pada 17 Agustus 1963, para penulis dan seniman anti-komunis diantaranya H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohammad, Arif Budiman, Taufik Ismail dan lainnya mendeklarasikan sikap tegas membela keyakinan mereka dengan pernyataan anti-komunis (Herlambang, 2015:81). Pada 1963 ini lah para pendukung humanisme universal (liberalism) membuat pernyataan sikap kebudayaan anti-komunis mereka yang terkenal dengan nama Manifes kebudayaan (Herlambang, 2015:8).
Sesudah kehancuran PKI dan organisasi afiliasinya, diantarnya adalah Lekra, ideologi humanisme universal menjadi satu-satunya pandangan dalam membangun kebudayaan kontemporer Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Pada saat itu seluruh penulis Lekra ditahan di Pulau Buru atau melarikan diri ke luar negeri, sementara karya-karya mereka dihancurkan dan diberangus. Sejalan dengan kebijakan Orde Baru untuk melarang karya-karya penulis kiri, para pendukung ideologi humanisme universal juga berupaya untuk memarjinalisasi dengan cara meremehkan pendekatan artistik kiri sebagai seni murahan. Dengan kata lain, ideologi universal humanism berfungsi sebagai afirmasi terhadap pembentukan wacana anti komunis di dalam bidang kebudayaan Indonesia dengan cara mempromosikan semangat ideal Barat tentang liberalism (Herlambang, 2015:9-10).
Narasi-narasi yang dikembangkan untuk menormalisasi dan melegitimasi kekerasan sekitar tahun 1965-1966, melalui ideologi liberalism (humanism universal), yang dituangkan dalam cerita dalama majalah Horison antara 1966-1970. Pada masa Orde Baru juga mengembangkan novel dan film legitimasi karaya Arswendo Atmowiloto (novel, 1986), dan Arifin C. Noer (1981), dengan judul yang sama Pengkhianatan G30S/PKI. Kedua karya tersebut menjadi bagian dari usaha pemerintah untuk menyebarkan ideologi anti-komunis.
Penulis: Annisaa Khansa Labibah
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Referensi
Susanto, Dwi. 2018. Lekra, Lesbumi, Mnifes Kebudayaan: Sejarah Sastra Indonesia Periode 1950-1965. Yogyakarta: CAPS.
Herlambang, Wijaya. 2015. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangerang Selatan: Marjin Kiri