Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950
Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) adalah konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang mengalami beberapa perubahan pada pasal-pasal yang tidak sesuai dengan bentuk negara kesatuan. Hal ini dinyatakan dalam alinea keempat dari Mukadimah UUDS 1950, bahwa struktur Republik Indonesia yang bersifat federal berdasarkan Konstitusi RIS (1949) berubah menjadi struktur Negara Republik Kesatuan (Supomo 1958: 4). Era berlakunya UUDS 1950 adalah dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959, yang dikenal sebagai masa penerapan demokrasi Parlementer atau demokrasi Liberal di Indonesia.
Proses ke arah pembentukan Republik Kesatuan menjadi tugas utama dari Kabinet Hatta. Salah satu yang menjadi pedoman adalah gagasan “Mosi Integral Natsir” yang ditandatangani berbagai faksi politik di parlemen, termasuk pemerintah, yaitu kembali kepada bentuk negara kesatuan (Fauzan 2019: 12). Pada tanggal 19 Mei 1950, Perdana Menteri Mohammad Hatta mewakili Republik Indonesia Serikat (RIS), pemerintah Indonesia Timur dan Sumatera Timur, dan Perdana Menteri Republik Indonesia (RI) Abdul Halim menandatangani “Piagam Persetujuan Pembentukan Republik Indonesia”. Dalam piagam itu ditegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan diperdapat dengan cara mengubah Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat sedemikian rupa, sehingga esentialia UUD 1945 antara lain: pasal 27, pasal 29, dan pasal 33 ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari konstitusi RIS termasuk di dalamnya”. Piagam persetujuan juga memuat ketentuan-ketentuan lain mengenai isi UUD Negara Kesatuan (Supomo 1958: 129-130; Poesponegoro dan Notosusanto 1984: 212).
Langkah selanjutnya, Pemerintah RIS dan Pemerintah RI membentuk sebuah panitia bersama. Panitia bertugas menyelenggarakan Piagam Persetujuan, khususnya merancang UUD Sementara Negara Kesatuan RI yang baru. Panitia penyusunan konstitusi ini beranggotakan 14 orang, masing-masing pemerintahan terkait diwakili oleh 7 orang dan dipimpin secara bersama pula oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, R. Supomo (seorang non-partai) dan Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia Abdul Hakim (dari Masyumi). Setelah hampir dua bulan berunding, panitia melaporkan hasil pekerjaannya berupa rancangan UUDS Republik Kesatuan kepada Pemerintah RIS dan Pemerintah RI (Supomo 1958: 7; Feith 2007: 93).
Pada tanggal 20 Juli 1950, kedua pemerintah (RIS dan RI) menerima rancangan UUDS dengan beberapa perubahan (Supomo 1958: 133-134). Kedua parlemen pemerintah (DPR dan Senat RIS serta BP-KNIP) bersepakat pula tidak menggunakan hak amandemennya, dan meratifikasi UUDS-RI pada tanggal 14 Agustus 1950 (Feith 2007: 93). Presiden Sukarno dan juga Menteri Kehakiman RIS (Supomo) menandatangani konsep UU tersebut (Kahin 1995: 588). Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Sukarno menyatakan lahirnya Negara Kesatuan dalam sidang bersama Parlemen dan Senat RIS. Tepat di hari ulang tahun Republik Indonesia kelima, 17 Agustus 1950, UUDS-RI diberlakukan secara resmi melalui Undang-Undang No. 7/1950, dan dimuat dalam Lembaran Negara No. 56/1950. Pada hari itu, RIS menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah UUDS 1950 (Supomo 1958: 18-128).
UUDS-RI 1950 memuat perubahan dari UUD RIS 1949 sehingga lebih selaras dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945. Perubahan terpenting adalah keputusan agar Presiden tidak menunjuk tambahan anggota Dewan Perwakilan, tetapi menggabungkan anggota Senat RIS, Dewan Pertimbangan Agung dan keanggotaan Dewan Perwakilan Republik Indonesia. Badan legislatif Indonesia itu menjadi badan perundang-undangan satu kamar (unikameral). Susunan awal keanggotaan legislatif Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru berjumlah 236 anggota, yakni 148 dari Dewan Perwakilan; 29 dari Senat RIS; 46 dari BP-KNIP; dan 13 orang dari DPA RI (Feith 2007: 94). Menurut UUDS 1950, pasal 56, DPR hasil gabungan itu bersifat sementara, dan kelak akan diganti dengan Dewan Perwakilan berdasarkan atas pemilihan umum (Kahin 1995: 589).
Ketentuan-ketentuan terkait hak azasi manusia yang terdapat dalam UUD 1949 (Konstitusi RIS) tetap dipertahankan dalam UUDS 1950, dan bahkan menambahkan ketentuan mengenai hak untuk berdemonstrasi dan hak mogok. Penambahan ini memberi bukti bahwa UUD 1950 tidak lagi dipengaruhi oleh pihak asing (Belanda). Ada kemajuan besar dalam hal pemberian kebebasan bagi warga negara (Nasution 1995: 28).
Sementara itu, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, kabinet, dan DPR. Menurut ketentuan beberapa pasal dari UUDS, Presiden mempunyai kekuasaan besar. UUDS 1950 pasal 83 ayat 1 menempatkan “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”, sedangkan pada ayat 2 disebutkan “menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagian sendiri-sendiri”. Pada pasal 84, “Presiden berhak membubarkan DPR”, namun keputusan pembubaran itu harus dapat pula memerintahkan pemilihan DPR yang baru dalam waktu 30 hari. Presiden juga dapat mengeluarkan dektritnya kalau diperlukan. Dalam sistem parlementer, pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Parlemen ditempatkan pada posisi dapat menjatuhkan pemerintahan atau dapat memaksa pengunduran diri kabinet. Sepanjang sejarah berlakunya UUDS 1950, telah terjadi tujuh kali penggantian kabinet, yaitu (1) kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951); (2) Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952); (3) Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953); (4) Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955); (5) Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956); (6) Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957); dan (7) Kabinet Djuanda (April 1957-Juli 1959). Pada umumnya kejatuhan kabinet disebabkan oleh gejolak politik yang panas, sehingga berimbas kepada tidak stabilnya kabinet (Feith 2007: Bab 4-10; Poesponegoro dan Notosusanto 1984 : 213).
Dalam suasana kabinet yang silih berganti, Pemilihan Umum yang diamanatkan UUDS 1950 baru dapat diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu berlangsung dalam dua kali pemilihan, yaitu pemilihan anggota DPR pada tanggal 29 September 1955, dan untuk memilih anggota Konstituante pada 15 Desember 1955. Anggota konstituante hasil pemilu 1955 mempunyai tugas utama membuat rancangan UUD yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950.
Konstituante mempunyai ketergantungan pada pemerintah. Pasal 134 dari UUDS menyatakan, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini”. Kemudian pada pasal 137 ayat 3 dikatakan, “Apabila Konstituante sudah menerima rancangan Undang-Undang Dasar, maka rancangan itu diserahkan kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera, dan mengumumkannya dengan keluhuran” (Nasution 1995: 34-35).
Sejak pelantikan anggota Konstituante tanggal 10 November 1956 hingga sidangnya yang terakhir tanggal 2 Juni 1959, Badan Perwakilan hasil pemilu ini tidak berhasil menetapkan UUD yang definitif sebagai pengganti UUDS 1950. Salah satu penyebab kegagalan adalah Konstituante tidak pernah mencapai kesepakatan menyangkut persoalan dasar negara (Nasution 1995: Bab II). Kegagalan konstituante ini dinilai membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara, sehingga Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 tentang pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 serta membentuk MPRS dan DPRS (Nasution 1995: 47).
Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Fauzan, Pepen Irpan. 2019. “Mohamad Natsir: Dari Persis, Masyumi, Hingga Mosi Integral NKRI”, Makalah Seminar Nasional Mosi Integral Natsir, Gedung Nusantara V DPR/MPR RI, 5 April 2019.
Kahin, George McTurnan. 1995.
Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta-Jakarta: Sebelas Maret University Press-Pustaka Sinar Harapan.
Nasution, Adnan Buyung. 1995.
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Edisi ke-4.Jakarta: PN Balai Pustaka.
Supomo, R. 1958. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Djakarta: Penerbit Noordhoff-Kolff N.V.