Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL): Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
No edit summary
 
(11 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
{{DISPLAYTITLE:''Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger'' (KNIL)}}
{{DISPLAYTITLE:''Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger'' (KNIL)}}


''Koninklijke Paketvaart-Maatschappij'' (KPM) merupakan sebuah perusahaan pelayaran Belanda yang menyediakan jasa pelayaran antar pulau di Hindia Belanda. KPM didirikan oleh ''Stoomvaart Maatschappij Nederland'' (SMN) dan ''Rotterdamsche Lloyd'' (RL) pada 1 Januari 1888 yang berpusat di Amsterdam, Belanda (Anon 2010). KPM melayani rute pelayaran reguler terjadwal bagi penumpang dan muatan kargo antar pulau di Indonesia yang kemudian lebih populer dengan istilah sebagai pelayaran pos antar pulau. Dalam perjalanannya, KPM kemudian meluaskan jaringannya sampai ke wilayah Australia, Selandia Baru, dan Afrika (Anon 1939:25).
[[File:KNIL di Pematangsiantar.jpg|Kelompok Militer KNIL di Pematangsiantar (1901) (Foto: KITLV) |frame]]


Tujuan awal didirikannya KPM bukan hanya untuk kepentingan ekonomi atau perdagangan saja, tetapi juga sebagai ''centraal vervoersapparaat'' (alat angkutan pusat). Pada 1 Januari 1931, disepakati perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dengan KPM yang terkenal dengan nama ''Groot Archipel Contract'' (GAC). Melalui perjanjian tersebut, KPM diberi hak monopoli atas pelayaran antar pulau ''(interinsuler)'' di Hindia Belanda.


GAC juga melingkupi pengangkutan militer, pengangkutan bahan pokok, dan perbekalan. KPM juga harus menjamin pelayaran yang teratur, sehingga hubungan antara daerah terluar dan terpencil dengan pusat tetap terpelihara (Surowo 2016:17). Pada 1936, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang Pelayaran (''Indische scheepvaartwet'') untuk memberi proteksi bagi KPM dari perusahaan pesaingnya yang bermarkas di Singapura. Meskipun menikmati berbagai keistimewaan, KPM tetap mengalami kesulitan dalam mempertahankan hak monopolinya.
Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) adalah angkatan bersenjata milik pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pada masa penjajahan. KNIL didirikan pada tahun 1830 dan dimaksudkan untuk mengatasi persoalan keamanan domestik yang umumnya berkenaan dengan resistensi dari kekuasaan lokal, baik kerajaan yang belum ditaklukkan, organisasi politik yang membangkang, atau ancaman kriminal tingkat tinggi seperti bajak laut.


Setelah pemerintahan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki oleh Jepang, seluruh perusahaan milik Belanda disita oleh tentara Jepang dan dilarang untuk beroperasi, termasuk KPM. Akibatnya, jaringan pelayaran di Indonesia menjadi terhenti sementara. Namun pasca kalahnya Jepang dan Indonesia memperoleh kemerdekaannya, pemerintah Indonesia kemudian berniat untuk mendirikan armada pelayaran nasionalnya sendiri. Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah pada waktu itu adalah mengajukan tawaran kepada direksi KPM untuk bekerja sama dalam bentuk ''joint venture'' kepemilikan saham KPM (Benardie 2003:334).
Medan tugas utama KNIL sejak pendiriannya adalah operasi anti-gerilya di berbagai sudut Nusantara. Pasukan ini terlibat beberapa operasi militer besar dan menentukan seperti Perang Aceh pada tahun 1873-1914 dan Perang Dunia II (menghadapi invasi Jepang) pada tahun 1941-1942. Pada perang Aceh, KNIL memberi tumpuan kekuatan terbanyak pada ''Marechaussee Te Voet'' (Infantri Marsose) yang dipimpin oleh [[Kapten J.B. Van Heutsz.]] Pasukan yang dipimpin oleh [[Van Heutsz]] terkenal karena terdiri dari banyak prajurit bumiputera. Berkat keberhasilannya menumpas pejuang Aceh, Komandan [[Van Heutsz]] di kemudian hari diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Veer 1969: 15; Oktorino 2016: 190).


Namun tawaran tersebut secara tegas ditolak oleh dewan direksi KPM. Penolakan tersebut tidak menghentikan cita-cita pemerintah Indonesia dalam membangun perusahaan pelayarannya sendiri. Oleh sebab itu pada 5 September 1950, lewat Surat Keputusan Menteri Perhubungan, Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja No.3260/Ment, pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Penguasaan Pusat Kapal-kapal (PEPUSKA). Dengan modal awal 8 unit kapal dengan total ''tonage'' 4.800 DWT (''Dead Weight Tonnage''), PEPUSKA berlayar berdampingan dengan armada KPM yang telah berpengalaman lebih dari setengah abad. Persaingan benar-benar tidak seimbang ketika itu, karena armada KPM selain telah berpengalaman, jumlah armadanya juga lebih banyak serta memiliki kontrak-kontrak monopoli (Surowo 2016:19).
Selain itu, KNIL juga terlibat dalam berbagai ekspedisi militer. Ekspedisi ini secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya memastikan bahwa berbagai wilayah di Hindia baik di pesisir maupun di pegunungan telah takluk pada komando dari Batavia. Dua ekspedisi yang paling populer dilancarkan ke Bali dan Lombok. Ekspedisi Bali yang berlangsung selama beberapa kali dan berakhir pada 1908 berbuah penaklukan Bali, salah satu wilayah yang paling sulit dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Selain itu, Ekspedisi Bali pula menandai akhir dari eksistensi berbagai kerajaan di Bali dan momentum ketika berbagai harta warisan Bali dijadikan pampasan perang dan di bawa ke berbagai wilayah lain, termasuk Belanda (Sutaba 1983: 42-48)


Akhirnya pada 28 April 1952 Yayasan PEPUSKA resmi dibubarkan. Pada saat yang sama kemudian didirikanlah PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor M.2/1/2 tanggal 28 Februari 1952 dan No. A.2/1/2 tanggal 19 April 1952, serta Berita Negara Republik Indonesia No. 50 tanggal 20 Juni 1952. Sebagai Presiden Direktur Pertamanya diangkat R. Ma'moen Soemadipraja (1952-1955). Status PELNI mengalami dua kali perubahan. Pada 1960 pemerintah menetapkan perubahan status dari Perusahaan Perseroan menjadi Perusahaan Negara (PN) dan dicantumkan dalam Lembaran Negara RI No. LN 1960.  
Sebagai sebuah tentara kolonial, KNIL tidak hanya beranggotakan prajurit kulit putih, melainkan juga bumiputera. Kelompok bumiputera yang mengisi demografi KNIL tidak hanya kelompok minoritas beragama Kristen dari Maluku dan Minahasa, namun juga prajurit Jawa yang selalu berjumlah paling banyak. Selain itu, beberapa orang Sunda juga diketahui berdinas pada kesatuan militer kolonial ini. Pada tahun 1861, 54% prajurit KNIL adalah bumiputera sementara sisanya adalah prajurit Eropa. Jumlah yang banyak ini disebabkan oleh kedudukan mayoritas bumiputera sebagai prajurit rendah, alih-alih perwira. Pada tahun 1936, KNIL tercatat memiliki 13.000 prajurit Jawa dan 4.000 prajurit Ambon, suatu komposisi yang kurang lebih berlangsung hingga nasib tentara kolonial ini diakhiri (Cribb & Kahin 2004: 221-222).


Kemudian pada tahun 1975 status perusahaan diubah kembali dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) PELNI sesuai dengan Akte Pendirian No. 31 tanggal 30 Oktober 1975. Perubahan tersebut dicantumkan dalam Berita Negara RI No. 562-1976 dan Tambahan Berita Negara RI No. 60 tanggal 27 Juni 1976 (Anon 2019). Pada tahun 2015 PT PELNI (Persero) dipercaya Pemerintah RI sebagai operator Kapal Perintis, Kapal Tol Laut dan Kapal Ternak yang menjangkau di wilayah Indonesia. Sejak awal pendirian di tahun 1952 hingga 31 Desember 2016, PT PELNI (Persero) belum pernah melakukan pergantian nama.
Selain itu, terdapat pula kesatuan-kesatuan yang secara utuh beranggotakan prajurit bumiputera yang terasosiasikan dengan penguasa lokal namun beroperasi sebagai pasukan bantuan (''hulpkorpsen'') KNIL. Pasukan-pasukan ini antara lain adalah kavaleri ringan (''lijfwacht dragonders'') dari Yogyakarta dan Surakarta, Korps Barisan Madura, Legiun Mangkunegara & Pakualaman, Korps Prayoda dari Bali, ''Land-en Stadswacht'' (Kesatuan Paramiliter Garda Kota), Korps Cadangan, Korps Wanita Bidang Transportasi, dan Korps Infanteri-Marsose. (Lohnstein 2018: 20).


Penulis: Ahmad Muhajir
Selain pasukan darat, KNIL juga memiliki sebuah unit udara yang bernama Militaire Luchtvaart KNIL (ML-KNIL) yang didirikan pada tahun 1939 dan beroperasi hingga tahun 1950. Seperti organisasi induknya, ML-KNIL juga merekrut anggota bumiputera. Salah satunya adalah Bapak AURI, Marsekal Suryadharma yang pernah berdinas sebagai navigator (Soewito, Suyono, & Suhartono 2008: 12).
 
Betapapun KNIL adalah tentara kolonial, organisasi militer ini melahirkan nama-nama besar yang kelak akan menjadi ujung tombak tentara-tentara republik. Ex-KNIL yang berpangkat paling tinggi tentulah Jenderal Besar [[Abdul Haris Nasution|A.H. Nasution]] dan Jenderal Besar [[Soeharto]]. Menjelang berakhirnya negara kolonial, Nasution muda mengenyam pendidikan perwira cadangan di ''Corps Opleiding Reserve Officieren'' (CORO) di Bandung dan berdinas dengan KNIL dalam menghadapi serbuan Jepang. Sementara itu, [[Soeharto]] yang mencapai bintang lima di dinas militer Indonesia ternyata pernah menjadi seorang kopral KNIL (Aning 2005: 1, 201).
 
Nama-nama seperti Letnan Jenderal [[Oerip Soemohardjo]] (Kepala Staf Angkatan Perang 1945-1948), [[Tahi Bonar Simatupang|T.B. Simatupang]] (Kepala Staf Angkatan Perang 1950-1953), [[Djatikoesoemo|GPH Djatikusumo]] (Kepala Staf Angkatan Darat pertama), dan Kolonel [[Alexander Evert Kawilarang|Alex Kawilarang]] (salah satu pendiri Kopassus) juga merupakan ex-anggota KNIL. Berbeda dengan perwira TNI ex-PETA, para ex-KNIL dikenal dengan kebiasaan mereka dalam mengabadikan pengalaman operasinya dalam bentuk tulisan seperti Nasution dengan ''Pokok-Pokok Perang Gerilya'' dan Simatupang dengan ''Laporan Dari Banaran.''
 
{{Penulis|Satrio Dwicahyo|Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}




'''Referensi'''
'''Referensi'''


Anon. 1939. ''Talen op Mijn KPM Voyage Reis''. Batavia: De Unie.
Aning, Floriberta. ''100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia Di Abad 20''. Jakarta: Narasi, 2005.
 
Anon. 2010. “Koninklijke Paketvaart Maatschappij 1888-1967.” ''theshipslist.com''. Diambil 16 Juni 2022 (<nowiki>http://www.theshipslist.com/ships/lines/kpm.shtml</nowiki>).


Anon. 2019. “Sejarah PT. Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni).” ''pelni.co.id''. Diambil 16 Juni 2022 (<nowiki>https://www.pelni.co.id/sejarah</nowiki>).
Cribb, R. B.., Kahin, Audrey. Historical dictionary of Indonesia. United Kingdom: Scarecrow Press, 2004.  


Benardie, Hakim. 2003. ''Sejarah Maritim Indonesia''. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Lohnstein, Marc. Royal Netherlands East Indies Army 1936–42. United Kingdom: Bloomsbury Publishing, 2018.  


Surowo, Bambang. 2016. “KPM versus Pelni: Persaingan Merebut Hegemoni Jaringan Pelayaran Di Nusantara, 1945–1960.''Jurnal Sejarah Citra Lekha'' 1(1):11. doi: 10.14710/jscl.v1i1.11857.
Soewito, Irna Hanny Nastoeti Hadi., Suyono, Nana Nurliana., Suhartono, Soedarini. ''Awal kedirgantaraan di Indonesia: perjuangan AURI 1945-1950''. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia, 2008.  
{{Comment}}
[[Category:Organisasi]]
[[Category:Organisasi]]

Latest revision as of 18:15, 2 October 2023


Kelompok Militer KNIL di Pematangsiantar (1901) (Foto: KITLV)


Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) adalah angkatan bersenjata milik pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pada masa penjajahan. KNIL didirikan pada tahun 1830 dan dimaksudkan untuk mengatasi persoalan keamanan domestik yang umumnya berkenaan dengan resistensi dari kekuasaan lokal, baik kerajaan yang belum ditaklukkan, organisasi politik yang membangkang, atau ancaman kriminal tingkat tinggi seperti bajak laut.

Medan tugas utama KNIL sejak pendiriannya adalah operasi anti-gerilya di berbagai sudut Nusantara. Pasukan ini terlibat beberapa operasi militer besar dan menentukan seperti Perang Aceh pada tahun 1873-1914 dan Perang Dunia II (menghadapi invasi Jepang) pada tahun 1941-1942. Pada perang Aceh, KNIL memberi tumpuan kekuatan terbanyak pada Marechaussee Te Voet (Infantri Marsose) yang dipimpin oleh Kapten J.B. Van Heutsz. Pasukan yang dipimpin oleh Van Heutsz terkenal karena terdiri dari banyak prajurit bumiputera. Berkat keberhasilannya menumpas pejuang Aceh, Komandan Van Heutsz di kemudian hari diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Veer 1969: 15; Oktorino 2016: 190).

Selain itu, KNIL juga terlibat dalam berbagai ekspedisi militer. Ekspedisi ini secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya memastikan bahwa berbagai wilayah di Hindia baik di pesisir maupun di pegunungan telah takluk pada komando dari Batavia. Dua ekspedisi yang paling populer dilancarkan ke Bali dan Lombok. Ekspedisi Bali yang berlangsung selama beberapa kali dan berakhir pada 1908 berbuah penaklukan Bali, salah satu wilayah yang paling sulit dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Selain itu, Ekspedisi Bali pula menandai akhir dari eksistensi berbagai kerajaan di Bali dan momentum ketika berbagai harta warisan Bali dijadikan pampasan perang dan di bawa ke berbagai wilayah lain, termasuk Belanda (Sutaba 1983: 42-48)

Sebagai sebuah tentara kolonial, KNIL tidak hanya beranggotakan prajurit kulit putih, melainkan juga bumiputera. Kelompok bumiputera yang mengisi demografi KNIL tidak hanya kelompok minoritas beragama Kristen dari Maluku dan Minahasa, namun juga prajurit Jawa yang selalu berjumlah paling banyak. Selain itu, beberapa orang Sunda juga diketahui berdinas pada kesatuan militer kolonial ini. Pada tahun 1861, 54% prajurit KNIL adalah bumiputera sementara sisanya adalah prajurit Eropa. Jumlah yang banyak ini disebabkan oleh kedudukan mayoritas bumiputera sebagai prajurit rendah, alih-alih perwira. Pada tahun 1936, KNIL tercatat memiliki 13.000 prajurit Jawa dan 4.000 prajurit Ambon, suatu komposisi yang kurang lebih berlangsung hingga nasib tentara kolonial ini diakhiri (Cribb & Kahin 2004: 221-222).

Selain itu, terdapat pula kesatuan-kesatuan yang secara utuh beranggotakan prajurit bumiputera yang terasosiasikan dengan penguasa lokal namun beroperasi sebagai pasukan bantuan (hulpkorpsen) KNIL. Pasukan-pasukan ini antara lain adalah kavaleri ringan (lijfwacht dragonders) dari Yogyakarta dan Surakarta, Korps Barisan Madura, Legiun Mangkunegara & Pakualaman, Korps Prayoda dari Bali, Land-en Stadswacht (Kesatuan Paramiliter Garda Kota), Korps Cadangan, Korps Wanita Bidang Transportasi, dan Korps Infanteri-Marsose. (Lohnstein 2018: 20).

Selain pasukan darat, KNIL juga memiliki sebuah unit udara yang bernama Militaire Luchtvaart KNIL (ML-KNIL) yang didirikan pada tahun 1939 dan beroperasi hingga tahun 1950. Seperti organisasi induknya, ML-KNIL juga merekrut anggota bumiputera. Salah satunya adalah Bapak AURI, Marsekal Suryadharma yang pernah berdinas sebagai navigator (Soewito, Suyono, & Suhartono 2008: 12).

Betapapun KNIL adalah tentara kolonial, organisasi militer ini melahirkan nama-nama besar yang kelak akan menjadi ujung tombak tentara-tentara republik. Ex-KNIL yang berpangkat paling tinggi tentulah Jenderal Besar A.H. Nasution dan Jenderal Besar Soeharto. Menjelang berakhirnya negara kolonial, Nasution muda mengenyam pendidikan perwira cadangan di Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) di Bandung dan berdinas dengan KNIL dalam menghadapi serbuan Jepang. Sementara itu, Soeharto yang mencapai bintang lima di dinas militer Indonesia ternyata pernah menjadi seorang kopral KNIL (Aning 2005: 1, 201).

Nama-nama seperti Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (Kepala Staf Angkatan Perang 1945-1948), T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang 1950-1953), GPH Djatikusumo (Kepala Staf Angkatan Darat pertama), dan Kolonel Alex Kawilarang (salah satu pendiri Kopassus) juga merupakan ex-anggota KNIL. Berbeda dengan perwira TNI ex-PETA, para ex-KNIL dikenal dengan kebiasaan mereka dalam mengabadikan pengalaman operasinya dalam bentuk tulisan seperti Nasution dengan Pokok-Pokok Perang Gerilya dan Simatupang dengan Laporan Dari Banaran.

Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Aning, Floriberta. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia Di Abad 20. Jakarta: Narasi, 2005.

Cribb, R. B.., Kahin, Audrey. Historical dictionary of Indonesia. United Kingdom: Scarecrow Press, 2004.

Lohnstein, Marc. Royal Netherlands East Indies Army 1936–42. United Kingdom: Bloomsbury Publishing, 2018.

Soewito, Irna Hanny Nastoeti Hadi., Suyono, Nana Nurliana., Suhartono, Soedarini. Awal kedirgantaraan di Indonesia: perjuangan AURI 1945-1950. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia, 2008.