Tjarda van Starkenborgh Stachouwer: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Tjarda van Starkenborgh Stachouwer adalah Gubernur Jenderal terakhir yang berkuasa di Hindia Belanda. Ia memerintah pada usia 48 tahun pada tahun 1936-1942. Starkenborgh memiliki nama lengkap Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Sebelum ditugaskan di Hindia Belanda, ia menjabat sebagai diplomat (atase) pada Juli 1915 di Kedutaan Belanda di Washington dan kemudian menjadi sekretaris kedutaan (“''An American Close-up of the N.E.I Governor Gener...")
 
No edit summary
 
(4 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
[[File:Tjarda van Starkenborgh Stachouwer - NL-HaNA 2.24.01.04 0 935-0769.jpg|center|thumb|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Sumber: [http://hdl.handle.net/10648/acba4cbc-d0b4-102d-bcf8-003048976d84 Nationaal Archief Nederlands. - 2.24.01.04 0 935-0769]]]
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer adalah Gubernur Jenderal terakhir yang berkuasa di Hindia Belanda. Ia memerintah pada usia 48 tahun pada tahun 1936-1942. Starkenborgh memiliki nama lengkap Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Sebelum ditugaskan di Hindia Belanda, ia menjabat sebagai diplomat (atase) pada Juli 1915 di Kedutaan Belanda di Washington dan kemudian menjadi sekretaris kedutaan (“''An American Close-up of the N.E.I Governor General''” 1942, 388-389). Ia menikah dengan Christine Marburg dari Baltimore, Amerika Serikat, empat bulan setelah kedatangannya di Washington.
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer adalah Gubernur Jenderal terakhir yang berkuasa di Hindia Belanda. Ia memerintah pada usia 48 tahun pada tahun 1936-1942. Starkenborgh memiliki nama lengkap Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Sebelum ditugaskan di Hindia Belanda, ia menjabat sebagai diplomat (atase) pada Juli 1915 di Kedutaan Belanda di Washington dan kemudian menjadi sekretaris kedutaan (“''An American Close-up of the N.E.I Governor General''” 1942, 388-389). Ia menikah dengan Christine Marburg dari Baltimore, Amerika Serikat, empat bulan setelah kedatangannya di Washington.


Pada masa pemerintahan van Starkenborgh, beberapa kebijakan tampak pro-Amerika Serikat. Saat itu, Hindia Belanda bergabung dengan komando koalisi ''American-British-Dutch-Australia'' (ABDA) di Asia Tenggara selama Perang Pasifik dalam periode Perang Dunia II. Tujuan koalisi tersebut adalah untuk mempertahankan kendali wilayah Semenanjung Melayu yang membentang melalui Singapura dan pulau-pulau di selatan Hindia Belanda. Koalisi itu dinilai menguntungkan van Starkenborgh karena secara efektif meringankan tugas untuk memonitor wilayah kekuasaannya (Womack, 2016: 104). Selain itu, ia juga secara rutin terlibat kontak dengan ''Koninklijk Nederlands Indisch Leger'' (KNIL) dan turut menyelesaikan perselisihan internal yang muncul pada tubuh institusi militer Belanda itu.
Pada masa pemerintahan van Starkenborgh, beberapa kebijakan tampak pro-Amerika Serikat. Saat itu, Hindia Belanda bergabung dengan komando koalisi ''American-British-Dutch-Australia'' (ABDA) di Asia Tenggara selama Perang Pasifik dalam periode Perang Dunia II. Tujuan koalisi tersebut adalah untuk mempertahankan kendali wilayah Semenanjung Melayu yang membentang melalui Singapura dan pulau-pulau di selatan Hindia Belanda. Koalisi itu dinilai menguntungkan van Starkenborgh karena secara efektif meringankan tugas untuk memonitor wilayah kekuasaannya (Womack, 2016: 104). Selain itu, ia juga secara rutin terlibat kontak dengan [[Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL)|''Koninklijk Nederlands Indisch Leger'' (KNIL)]] dan turut menyelesaikan perselisihan internal yang muncul pada tubuh institusi militer Belanda itu.


Van Starkenborgh menolak memberikan pengakuan terhadap organisasi pergerakan nasional Indonesia, sehingga partai politik banyak dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan, ketertiban, dan stabilitas pemerintahan. Ia juga dikenal sebagai sosok yang secara terbuka mengumumkan perang kepada Jepang pada 8 Desember 1941 melalui siaran radio. Pidato itu dibuat pada lima jam sebelum pengeboman Pearl Harbour (Amal, 2007).
Van Starkenborgh menolak memberikan pengakuan terhadap organisasi pergerakan nasional Indonesia, sehingga partai politik banyak dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan, ketertiban, dan stabilitas pemerintahan. Ia juga dikenal sebagai sosok yang secara terbuka mengumumkan perang kepada Jepang pada 8 Desember 1941 melalui siaran radio. Pidato itu dibuat pada lima jam sebelum pengeboman Pearl Harbour (Amal, 2007).


Setelah terjadi pertempuran sengit pada 4 Maret 1942 antara Belanda dan Jepang, pasukan KNIL di seluruh Indonesia menghentikan perlawanan dan menyerah kepada Jepang. Hal itu menyebabkan van Starkenborgh harus menyerahkan kekuasaan kepada Panglima Tertinggi Tentara Jepang, Jenderal Hitoshi Imamura. Proses penyerahan itu berlangsung di Lapangan Militer Kalijati, yang pada saat itu telah diduduki oleh Jepang. Perundingan di Kalijati itu dihadiri oleh Letnan Jendral Ter Poorten, Panglima Tentara KNIL, dan para opsir tinggi militer Jepang (Agung, 1993: 163). Dengan pertimbangan kekuatan militer yang lemah, maka van Starkenborgh menyetujui penyerahan kekuasaan tanpa syarat kepada pemerintah militer Jepang dengan catatan ada persetujuan dari pemerintah Belanda di London (pemerintah Belanda mengungsi akibat pendudukan oleh Jerman). Jenderal Imamura menyadari bahwa hal itu hanya digunakan untuk mengulur waktu perundingan dan menekan van Starkenborgh untuk segera memastikan keputusan menyerahkan diri. Akhirnya ia terpaksa menandatangani perjanjian penyerahan kekuasaan tersebut (Agung, 1993: 154). Pada 6 Maret 1942, van Starkenborgh memerintahkan H.J. van Mook sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan 13 pegawai pemerintahan untuk meninggalkan Jawa dan menyelamatkan diri ke Australia (“''An American Close-up of the N.E.I Governor General''”, 1942: 391).  
Setelah terjadi pertempuran sengit pada 4 Maret 1942 antara Belanda dan Jepang, pasukan KNIL di seluruh Indonesia menghentikan perlawanan dan menyerah kepada Jepang. Hal itu menyebabkan van Starkenborgh harus menyerahkan kekuasaan kepada Panglima Tertinggi Tentara Jepang, Jenderal Hitoshi Imamura. Proses penyerahan itu berlangsung di Lapangan Militer Kalijati, yang pada saat itu telah diduduki oleh Jepang. [[Perundingan Linggarjati|Perundingan di Kalijati]] itu dihadiri oleh Letnan Jendral Ter Poorten, Panglima Tentara KNIL, dan para opsir tinggi militer Jepang (Agung, 1993: 163). Dengan pertimbangan kekuatan militer yang lemah, maka van Starkenborgh menyetujui penyerahan kekuasaan tanpa syarat kepada pemerintah militer Jepang dengan catatan ada persetujuan dari pemerintah Belanda di London (pemerintah Belanda mengungsi akibat pendudukan oleh Jerman). Jenderal Imamura menyadari bahwa hal itu hanya digunakan untuk mengulur waktu perundingan dan menekan van Starkenborgh untuk segera memastikan keputusan menyerahkan diri. Akhirnya ia terpaksa menandatangani perjanjian penyerahan kekuasaan tersebut (Agung, 1993: 154). Pada 6 Maret 1942, van Starkenborgh memerintahkan [[Hubertus Johannes van Mook|H.J. van Mook]] sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan 13 pegawai pemerintahan untuk meninggalkan Jawa dan menyelamatkan diri ke Australia (“''An American Close-up of the N.E.I Governor General''”, 1942: 391).  


Van Starkenborgh bersama Ter Poorten ditawan dan diasingkan di Kepulauan Formosa (saat ini dikenal dengan Taiwan). Militer Jepang juga menahan para serdadu yang berjumlah lebih dari 60.000 orang (''Madjalah Islam Soeara MIAI,'' 1943: 8). Selain itu, peralatan perang berupa pesawat terbang, meriam penangkis serangan udara, senapan, pistol, serta kendaraan militer juga turut dirampas.
Van Starkenborgh bersama Ter Poorten ditawan dan diasingkan di Kepulauan Formosa (saat ini dikenal dengan Taiwan). Militer Jepang juga menahan para serdadu yang berjumlah lebih dari 60.000 orang (''Madjalah Islam Soeara MIAI,'' 1943: 8). Selain itu, peralatan perang berupa pesawat terbang, meriam penangkis serangan udara, senapan, pistol, serta kendaraan militer juga turut dirampas.


Setelah perang usai, van Starkenborgh memiliki kesempatan untuk berbicara dan meyakinkan parlemen Belanda bahwa ada satu fakta yang harus dipahami bahwa Belanda tidak pernah bisa mendapatkan kembali posisi dominannya di Hindia Belanda. Hal itu tidak hanya disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang gagal dan terkesan meremehkan nasionalisme Indonesia, tetapi juga karena konstelasi politik internasional saat itu telah berubah secara radikal sejak perang berakhir. Meskipun van Starkenborgh telah menyatakan pengunduran diri sebagai gubernur jenderal, ia tetap menaruh perhatian pada Hindia Belanda. Ia prihatin terhadap pelaksanaan ''politionele'' ''actie'' pada tahun 1945-1947 dan telah memperingatkan parlemen Belanda untuk berhati-hati terhadap rencana menguasai kembali Hindia Belanda karena akan menimbulkan penilaian negatif terhadap Belanda sebagai kekuatan kolonial yang buruk (Ravesloot, 2010: 111).
Setelah perang usai, van Starkenborgh memiliki kesempatan untuk berbicara dan meyakinkan parlemen Belanda bahwa ada satu fakta yang harus dipahami bahwa Belanda tidak pernah bisa mendapatkan kembali posisi dominannya di Hindia Belanda. Hal itu tidak hanya disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang gagal dan terkesan meremehkan [[nasionalisme]] Indonesia, tetapi juga karena konstelasi politik internasional saat itu telah berubah secara radikal sejak perang berakhir. Meskipun van Starkenborgh telah menyatakan pengunduran diri sebagai gubernur jenderal, ia tetap menaruh perhatian pada Hindia Belanda. Ia prihatin terhadap pelaksanaan ''politionele'' ''actie'' pada tahun 1945-1947 dan telah memperingatkan parlemen Belanda untuk berhati-hati terhadap rencana menguasai kembali Hindia Belanda karena akan menimbulkan penilaian negatif terhadap Belanda sebagai kekuatan kolonial yang buruk (Ravesloot, 2010: 111).
 
Penulis: Noor Naelil Masruroh


{{Penulis|Noor Naelil Masruroh|Masyarakat Sejarah Indonesia|Dr. Endang Susilowati, M.A}}


'''Referensi'''
'''Referensi'''
Line 27: Line 30:


Womack, Tom. (2016). ''The Allied Defense of the Malay Barrier, 1941-1942''. North Carolina:Mc Farland.
Womack, Tom. (2016). ''The Allied Defense of the Malay Barrier, 1941-1942''. North Carolina:Mc Farland.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 03:22, 17 September 2024

Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Sumber: Nationaal Archief Nederlands. - 2.24.01.04 0 935-0769


Tjarda van Starkenborgh Stachouwer adalah Gubernur Jenderal terakhir yang berkuasa di Hindia Belanda. Ia memerintah pada usia 48 tahun pada tahun 1936-1942. Starkenborgh memiliki nama lengkap Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Sebelum ditugaskan di Hindia Belanda, ia menjabat sebagai diplomat (atase) pada Juli 1915 di Kedutaan Belanda di Washington dan kemudian menjadi sekretaris kedutaan (“An American Close-up of the N.E.I Governor General” 1942, 388-389). Ia menikah dengan Christine Marburg dari Baltimore, Amerika Serikat, empat bulan setelah kedatangannya di Washington.

Pada masa pemerintahan van Starkenborgh, beberapa kebijakan tampak pro-Amerika Serikat. Saat itu, Hindia Belanda bergabung dengan komando koalisi American-British-Dutch-Australia (ABDA) di Asia Tenggara selama Perang Pasifik dalam periode Perang Dunia II. Tujuan koalisi tersebut adalah untuk mempertahankan kendali wilayah Semenanjung Melayu yang membentang melalui Singapura dan pulau-pulau di selatan Hindia Belanda. Koalisi itu dinilai menguntungkan van Starkenborgh karena secara efektif meringankan tugas untuk memonitor wilayah kekuasaannya (Womack, 2016: 104). Selain itu, ia juga secara rutin terlibat kontak dengan Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) dan turut menyelesaikan perselisihan internal yang muncul pada tubuh institusi militer Belanda itu.

Van Starkenborgh menolak memberikan pengakuan terhadap organisasi pergerakan nasional Indonesia, sehingga partai politik banyak dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan, ketertiban, dan stabilitas pemerintahan. Ia juga dikenal sebagai sosok yang secara terbuka mengumumkan perang kepada Jepang pada 8 Desember 1941 melalui siaran radio. Pidato itu dibuat pada lima jam sebelum pengeboman Pearl Harbour (Amal, 2007).

Setelah terjadi pertempuran sengit pada 4 Maret 1942 antara Belanda dan Jepang, pasukan KNIL di seluruh Indonesia menghentikan perlawanan dan menyerah kepada Jepang. Hal itu menyebabkan van Starkenborgh harus menyerahkan kekuasaan kepada Panglima Tertinggi Tentara Jepang, Jenderal Hitoshi Imamura. Proses penyerahan itu berlangsung di Lapangan Militer Kalijati, yang pada saat itu telah diduduki oleh Jepang. Perundingan di Kalijati itu dihadiri oleh Letnan Jendral Ter Poorten, Panglima Tentara KNIL, dan para opsir tinggi militer Jepang (Agung, 1993: 163). Dengan pertimbangan kekuatan militer yang lemah, maka van Starkenborgh menyetujui penyerahan kekuasaan tanpa syarat kepada pemerintah militer Jepang dengan catatan ada persetujuan dari pemerintah Belanda di London (pemerintah Belanda mengungsi akibat pendudukan oleh Jerman). Jenderal Imamura menyadari bahwa hal itu hanya digunakan untuk mengulur waktu perundingan dan menekan van Starkenborgh untuk segera memastikan keputusan menyerahkan diri. Akhirnya ia terpaksa menandatangani perjanjian penyerahan kekuasaan tersebut (Agung, 1993: 154). Pada 6 Maret 1942, van Starkenborgh memerintahkan H.J. van Mook sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan 13 pegawai pemerintahan untuk meninggalkan Jawa dan menyelamatkan diri ke Australia (“An American Close-up of the N.E.I Governor General”, 1942: 391).

Van Starkenborgh bersama Ter Poorten ditawan dan diasingkan di Kepulauan Formosa (saat ini dikenal dengan Taiwan). Militer Jepang juga menahan para serdadu yang berjumlah lebih dari 60.000 orang (Madjalah Islam Soeara MIAI, 1943: 8). Selain itu, peralatan perang berupa pesawat terbang, meriam penangkis serangan udara, senapan, pistol, serta kendaraan militer juga turut dirampas.

Setelah perang usai, van Starkenborgh memiliki kesempatan untuk berbicara dan meyakinkan parlemen Belanda bahwa ada satu fakta yang harus dipahami bahwa Belanda tidak pernah bisa mendapatkan kembali posisi dominannya di Hindia Belanda. Hal itu tidak hanya disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang gagal dan terkesan meremehkan nasionalisme Indonesia, tetapi juga karena konstelasi politik internasional saat itu telah berubah secara radikal sejak perang berakhir. Meskipun van Starkenborgh telah menyatakan pengunduran diri sebagai gubernur jenderal, ia tetap menaruh perhatian pada Hindia Belanda. Ia prihatin terhadap pelaksanaan politionele actie pada tahun 1945-1947 dan telah memperingatkan parlemen Belanda untuk berhati-hati terhadap rencana menguasai kembali Hindia Belanda karena akan menimbulkan penilaian negatif terhadap Belanda sebagai kekuatan kolonial yang buruk (Ravesloot, 2010: 111).

Penulis: Noor Naelil Masruroh
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A

Referensi

“An American Close-up of the N.E.I Governor General”. (1942, March 15). Netherlands News Digest.

“Hasil Pertempoeran di Poelau Djawa”. (1943, 15 Maret). Madjalah Islam Soeara MIAI.

Agung, Ide Anak Agung Gde (1993). Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Amal, M. A. (2007). Kepulauan Rempah-Rempah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Ravesloot, Marieke (2010). Jonkheer A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer 1888‐1978 Landvoogd in tijden van crisis. Tesis pada Universitas Utrecht. Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation.

Womack, Tom. (2016). The Allied Defense of the Malay Barrier, 1941-1942. North Carolina:Mc Farland.