Petrus Kanisius Ojong: Difference between revisions
(Created page with "Petrus Kanisius Ojong atau lebih dikenal dengan P.K. Ojong adalah seorang jurnalis cendekiawan, salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia, yang memiliki perhatian terhadap masalah-masalah keadilan, demokrasi, kemanusiaan, dan kesenian-kebudayaan. P.K. Ojong lahir di Bukittinggi pada 25 Juli 1920 dengan nama Auw Jong Peng Koen. Nama P.K. Ojong dipakai sejak 1967 ketika pemerintahan Soeharto memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa mengganti...") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
Petrus Kanisius Ojong atau lebih dikenal dengan P.K. Ojong adalah seorang jurnalis cendekiawan, salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia, yang memiliki perhatian terhadap masalah-masalah keadilan, demokrasi, kemanusiaan, dan kesenian-kebudayaan. P.K. Ojong lahir di Bukittinggi pada 25 Juli 1920 dengan nama Auw Jong Peng Koen. Nama P.K. Ojong dipakai sejak 1967 ketika pemerintahan Soeharto memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia untuk mempercepat asimilasi. Ayahnya bernama Auw Jong Pauw dan ibunya bernama Njo Loan Eng Nio (Iswara, 2014: 8, 10) | Petrus Kanisius Ojong atau lebih dikenal dengan P.K. Ojong adalah seorang jurnalis cendekiawan, salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia, yang memiliki perhatian terhadap masalah-masalah keadilan, demokrasi, kemanusiaan, dan kesenian-kebudayaan. P.K. Ojong lahir di Bukittinggi pada 25 Juli 1920 dengan nama Auw Jong Peng Koen. Nama P.K. Ojong dipakai sejak 1967 ketika pemerintahan [[Soeharto]] memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia untuk mempercepat asimilasi. Ayahnya bernama Auw Jong Pauw dan ibunya bernama Njo Loan Eng Nio (Iswara, 2014: 8, 10) | ||
P.K. Ojong memulai sekolahnya di HCS (''Hollandsch Chineesche School'') Payakumbuh. Karena ia ingin melanjutkan ke MULO (''Meer Uitgebreid Lager Onderwij''s), sementara di Payakumbuh belum ada MULO, maka P.K. Ojong pindah sekolah ke HCS di Padang dan berhasil melanjutkan ke ''Fraters'' MULO pada 1937. Meskipun ingin melanjutkan ke AMS (''Algemene Middlebare Schoo''l) agar bisa masuk ke RHS (''Rechts Hogeschool'') di Batavia, namun P.K. Ojong akhirnya melanjutkan ke ''Hollandsch Chineesche Kweekschool'' (HCK) di Meester Cornelis (Jatinegara) karena biaya sekolah yang ringan. Setelah lulus dari HCK pada Juni 1940, dua bulan berikutnya P.K. Ojong mulai mengajar di ''Hollandsch Chineesche Broederschool'' St. Johannes Berchmans di Prinsenlaan No. 135 di Batavia-stad. Meskipun telah mengajar, P.K. Ojong berusaha dan berhasil mendapatkan ijazah ''Europese Lager Akte'' (ELA) untuk meningkatkan penghasilannya (Iswara, 2014: 8, 10 dan 14-44) | P.K. Ojong memulai sekolahnya di HCS (''Hollandsch Chineesche School'') Payakumbuh. Karena ia ingin melanjutkan ke [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)|MULO (''Meer Uitgebreid Lager Onderwij''s)]], sementara di Payakumbuh belum ada MULO, maka P.K. Ojong pindah sekolah ke HCS di Padang dan berhasil melanjutkan ke ''Fraters'' MULO pada 1937. Meskipun ingin melanjutkan ke AMS (''Algemene Middlebare Schoo''l) agar bisa masuk ke [[Rechtshoogeschool te Batavia|RHS (''Rechts Hogeschool'')]] di Batavia, namun P.K. Ojong akhirnya melanjutkan ke ''Hollandsch Chineesche Kweekschool'' (HCK) di Meester Cornelis (Jatinegara) karena biaya sekolah yang ringan. Setelah lulus dari HCK pada Juni 1940, dua bulan berikutnya P.K. Ojong mulai mengajar di ''Hollandsch Chineesche Broederschool'' St. Johannes Berchmans di Prinsenlaan No. 135 di Batavia-stad. Meskipun telah mengajar, P.K. Ojong berusaha dan berhasil mendapatkan ijazah ''Europese Lager Akte'' (ELA) untuk meningkatkan penghasilannya (Iswara, 2014: 8, 10 dan 14-44) | ||
Ketika Jepang datang ke Indonesia dan menutup sekolah-sekolah, P.K. Ojong kehilangan pekerjaannya sebagai guru. Pada 1946 ia memulai karier jurnalisnya dengan bekerja di ''Star Weekly.'' Pada saat menjadi wartawan inilah P.K. Ojong melanjutkan studinya di RHS dan lulus pada 1951 ketika RHS sudah menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia diangkat menjadi Pemimpin Redaksi ''Star Weekly'' pada 6 Mei 1951 sampai majalah tersebut diberedel pemerintah pada 1961. Pada 1963 P.K. Ojong ikut mendirikan majalah ''Intisari'' dan pada 1965 bersama Jakob Oetama mendirikan harian ''Kompas.'' Selain sebagai pendiri, P.K. Ojong juga aktif menulis. Tulisan terakhir yang dimuat di media massa berjudul “''Berakhir Pekan di Australia''” dimuat dalam majalah ''Intisari'' edisi April 1980, dan P.K. Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980. | Ketika Jepang datang ke Indonesia dan menutup sekolah-sekolah, P.K. Ojong kehilangan pekerjaannya sebagai guru. Pada 1946 ia memulai karier jurnalisnya dengan bekerja di ''Star Weekly.'' Pada saat menjadi wartawan inilah P.K. Ojong melanjutkan studinya di RHS dan lulus pada 1951 ketika RHS sudah menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia diangkat menjadi Pemimpin Redaksi ''Star Weekly'' pada 6 Mei 1951 sampai majalah tersebut diberedel pemerintah pada 1961. Pada 1963 P.K. Ojong ikut mendirikan majalah ''Intisari'' dan pada 1965 bersama [[Jakob Oetama]] mendirikan harian ''Kompas.'' Selain sebagai pendiri, P.K. Ojong juga aktif menulis. Tulisan terakhir yang dimuat di media massa berjudul “''Berakhir Pekan di Australia''” dimuat dalam majalah ''Intisari'' edisi April 1980, dan P.K. Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980. | ||
Selain bidang jurnalistik, perhatian P.K. Ojong juga tertuju pada buku. Toko Buku Gramedia didirikan pada 1970 dengan semangat untuk memudahkan akses bacaan bermutu bagi para wartawan dan khalayak umum. P.K. Ojong bersama dengan Mochtar Lubis membentuk Yayasan Obor, sebuah lembaga yang sejak semula direstui oleh Adam Malik yang sedang menjabat Menteri Luar Negeri RI dan setelah menjabat Wakil Presiden RI masih tetap memberikan perhatiannya pada pekerjaan lembaga ini (Iswara, 2014: 48, 50). | Selain bidang jurnalistik, perhatian P.K. Ojong juga tertuju pada buku. Toko Buku Gramedia didirikan pada 1970 dengan semangat untuk memudahkan akses bacaan bermutu bagi para wartawan dan khalayak umum. P.K. Ojong bersama dengan [[Mochtar Lubis]] membentuk Yayasan Obor, sebuah lembaga yang sejak semula direstui oleh [[Adam Malik]] yang sedang menjabat Menteri Luar Negeri RI dan setelah menjabat Wakil Presiden RI masih tetap memberikan perhatiannya pada pekerjaan lembaga ini (Iswara, 2014: 48, 50). | ||
Pada 1972 P.K. Ojong mendirikan radio Sonora. Pada 1976 ia mendirikan Gramedia Film, antara lain menghasilkan film ''Suci sang Primadona'' yang mendapatkan Piala Citra. P.K. Ojong mendirikan Gramedia ''Art Gallery'' di Jakarta dan Yogyakarta untuk membantu pemasaran lukisan para pelukis muda. Ia juga membeli rumah Kudus, yang dibawa bilah demi bilah dari tempat asalnya di Jawa Tengah. Bangunan tersebut didirikan kembali di Palmerah Selatan, di seberang kantornya dan selanjutnya dikenal sebagai Bentara Budaya Jakarta. P.K. Ojong juga berperan penting dalam penerbitan majalah ''Horison'' yang diterbitkan oleh Yayasan Indonesia dan juga terlibat dalam lembaga Lingkaran Seni yang salah satu usaha utamanya adalah memasyarakatkan Taman Ismail Marzuki (Iswara, 2014: 266, 290, 293, 324-325). | Pada 1972 P.K. Ojong mendirikan radio Sonora. Pada 1976 ia mendirikan Gramedia Film, antara lain menghasilkan film ''Suci sang Primadona'' yang mendapatkan Piala Citra. P.K. Ojong mendirikan Gramedia ''Art Gallery'' di Jakarta dan Yogyakarta untuk membantu pemasaran lukisan para pelukis muda. Ia juga membeli rumah Kudus, yang dibawa bilah demi bilah dari tempat asalnya di Jawa Tengah. Bangunan tersebut didirikan kembali di Palmerah Selatan, di seberang kantornya dan selanjutnya dikenal sebagai Bentara Budaya Jakarta. P.K. Ojong juga berperan penting dalam penerbitan majalah ''Horison'' yang diterbitkan oleh Yayasan Indonesia dan juga terlibat dalam lembaga Lingkaran Seni yang salah satu usaha utamanya adalah memasyarakatkan [[Taman Ismail Marzuki]] (Iswara, 2014: 266, 290, 293, 324-325). | ||
Di bidang hukum, P.K. Ojong mendorong pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang diusulkan oleh Buyung Nasution, dan menjadi Dewan Kuratornya. Sisi lain dari P.K. Ojong adalah ketertarikannya pada tanaman. Sejak 1952 P.K. Ojong menggagas penghijauan Kota Jakarta yang disambut baik oleh Gubernur Ali Sadikin (''https://www.gramedia.com''). | Di bidang hukum, P.K. Ojong mendorong pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang diusulkan oleh Buyung Nasution, dan menjadi Dewan Kuratornya. Sisi lain dari P.K. Ojong adalah ketertarikannya pada tanaman. Sejak 1952 P.K. Ojong menggagas penghijauan Kota Jakarta yang disambut baik oleh Gubernur Ali Sadikin (''https://www.gramedia.com''). |
Revision as of 13:55, 1 August 2023
Petrus Kanisius Ojong atau lebih dikenal dengan P.K. Ojong adalah seorang jurnalis cendekiawan, salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia, yang memiliki perhatian terhadap masalah-masalah keadilan, demokrasi, kemanusiaan, dan kesenian-kebudayaan. P.K. Ojong lahir di Bukittinggi pada 25 Juli 1920 dengan nama Auw Jong Peng Koen. Nama P.K. Ojong dipakai sejak 1967 ketika pemerintahan Soeharto memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia untuk mempercepat asimilasi. Ayahnya bernama Auw Jong Pauw dan ibunya bernama Njo Loan Eng Nio (Iswara, 2014: 8, 10)
P.K. Ojong memulai sekolahnya di HCS (Hollandsch Chineesche School) Payakumbuh. Karena ia ingin melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sementara di Payakumbuh belum ada MULO, maka P.K. Ojong pindah sekolah ke HCS di Padang dan berhasil melanjutkan ke Fraters MULO pada 1937. Meskipun ingin melanjutkan ke AMS (Algemene Middlebare School) agar bisa masuk ke RHS (Rechts Hogeschool) di Batavia, namun P.K. Ojong akhirnya melanjutkan ke Hollandsch Chineesche Kweekschool (HCK) di Meester Cornelis (Jatinegara) karena biaya sekolah yang ringan. Setelah lulus dari HCK pada Juni 1940, dua bulan berikutnya P.K. Ojong mulai mengajar di Hollandsch Chineesche Broederschool St. Johannes Berchmans di Prinsenlaan No. 135 di Batavia-stad. Meskipun telah mengajar, P.K. Ojong berusaha dan berhasil mendapatkan ijazah Europese Lager Akte (ELA) untuk meningkatkan penghasilannya (Iswara, 2014: 8, 10 dan 14-44)
Ketika Jepang datang ke Indonesia dan menutup sekolah-sekolah, P.K. Ojong kehilangan pekerjaannya sebagai guru. Pada 1946 ia memulai karier jurnalisnya dengan bekerja di Star Weekly. Pada saat menjadi wartawan inilah P.K. Ojong melanjutkan studinya di RHS dan lulus pada 1951 ketika RHS sudah menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Star Weekly pada 6 Mei 1951 sampai majalah tersebut diberedel pemerintah pada 1961. Pada 1963 P.K. Ojong ikut mendirikan majalah Intisari dan pada 1965 bersama Jakob Oetama mendirikan harian Kompas. Selain sebagai pendiri, P.K. Ojong juga aktif menulis. Tulisan terakhir yang dimuat di media massa berjudul “Berakhir Pekan di Australia” dimuat dalam majalah Intisari edisi April 1980, dan P.K. Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980.
Selain bidang jurnalistik, perhatian P.K. Ojong juga tertuju pada buku. Toko Buku Gramedia didirikan pada 1970 dengan semangat untuk memudahkan akses bacaan bermutu bagi para wartawan dan khalayak umum. P.K. Ojong bersama dengan Mochtar Lubis membentuk Yayasan Obor, sebuah lembaga yang sejak semula direstui oleh Adam Malik yang sedang menjabat Menteri Luar Negeri RI dan setelah menjabat Wakil Presiden RI masih tetap memberikan perhatiannya pada pekerjaan lembaga ini (Iswara, 2014: 48, 50).
Pada 1972 P.K. Ojong mendirikan radio Sonora. Pada 1976 ia mendirikan Gramedia Film, antara lain menghasilkan film Suci sang Primadona yang mendapatkan Piala Citra. P.K. Ojong mendirikan Gramedia Art Gallery di Jakarta dan Yogyakarta untuk membantu pemasaran lukisan para pelukis muda. Ia juga membeli rumah Kudus, yang dibawa bilah demi bilah dari tempat asalnya di Jawa Tengah. Bangunan tersebut didirikan kembali di Palmerah Selatan, di seberang kantornya dan selanjutnya dikenal sebagai Bentara Budaya Jakarta. P.K. Ojong juga berperan penting dalam penerbitan majalah Horison yang diterbitkan oleh Yayasan Indonesia dan juga terlibat dalam lembaga Lingkaran Seni yang salah satu usaha utamanya adalah memasyarakatkan Taman Ismail Marzuki (Iswara, 2014: 266, 290, 293, 324-325).
Di bidang hukum, P.K. Ojong mendorong pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang diusulkan oleh Buyung Nasution, dan menjadi Dewan Kuratornya. Sisi lain dari P.K. Ojong adalah ketertarikannya pada tanaman. Sejak 1952 P.K. Ojong menggagas penghijauan Kota Jakarta yang disambut baik oleh Gubernur Ali Sadikin (https://www.gramedia.com).
Penulis: Asti Kurniawati
Referensi
Iswara, Helen (2014) PK Ojong. Satu dari Dua Pendiri Kompas Gramedia. Hidup Sederhana Berfikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Agnar, Albin Sayyid, “Mengenang Seabad P.K. Ojong dan Sumbangsihnya untuk Indonesia”, https://www.gramedia.com.