Rahmah El-Yunusiyyah

From Ensiklopedia
Revision as of 15:04, 27 August 2024 by Admin (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Rahmah El-Yunusiyyah. Sumber: ANRI Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P03-548

Rahmah El-Yunusiyyah adalah tokoh pendidikan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir pada tanggal 29 Desember 1900 di Bukit Surungan, Padangpanjang. Ayahnya adalah seorang ulama bernama Muhammad Yunus bin Imanuddin bin Hafazhah, sedangkan ibunya bernama Rafi’ah. Rahmah merupakan anak bungsu dari lima orang bersaudara, yaitu Zainuddin Labay, Mariah, Muhammad Rasyad, dan Rihanah. Rahmah dididik oleh ibu dan kakaknya, terutama Zainuddin Labay di Diniyah School. Sekolah ini telah menggunakan sistem koedukasi (Rasyad, dalam Abdullah, Eds., 1978: 220).

Cita-cita Rahmah untuk bergerak memajukan pendidikan putri didorong oleh keyakinan bahwa terdapat masalah-masalah dalam kehidupan kaum perempuan, yang penyelesaiannya hanya dapat diberikan oleh perempuan (Noer, 1980: 62). Untuk memperkuat minatnya itu, Rahmah menimba ilmu kepada ulama-ulama pembaharu, seperti Haji Karim Amrullah (Haji Rasul), Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Daud Rasyidi, dan Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin Sekolah Thawalib Padangpanjang). Dari para guru itu, Rahmah menggali ilmu dan metode mengajar mereka (Sugiantoro, 2021: 36). Ia juga mempelajari berbagai ilmu kerumahtanggaan, kesehatan, dan senam (gymnastik).

Atas anjuran Zainuddin Labay dan bantuan Persatuan Murid-Murid Diniyah School (PMDS), Rahmah mendirikan sekolah putri al-Madrasatul Diniyyah lil Banat pada tanggal 1 November 1923. Ada 71 murid, terdiri dari remaja putri dan ibu-ibu muda. Sekolah memanfaatkan serambi masjid di Pasar Usang. Satu tahun kemudian pindah ke sebuah gedung berlantai dua dekat masjid tersebut, dan saat itu sekolahnya sudah dilengkapi dengan bangku, meja dan papan tulis. Lantai dua dari bangunan digunakan untuk asrama, dan lantai dasar sebagai ruang kelas. Pada tahun 1925, asrama telah dihuni oleh 60 murid (Noer, 1980: 62-63). Rahmah kemudian mengubah nama sekolahnya menjadi Diniyyah School Putri dan populer dengan nama “Perguruan Diniyyah Puteri” (Rasyad, dalam Abdullah, Eds., 1978: 225). Bagi Rahmah kaum perempuan perlu memperoleh kesempatan menuntut ilmu sesuai kodratnya, sebagai ibu pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggung jawab untuk kemajuan dan kesejahteraan anak bangsa, serta memiliki agama yang layak (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997: 152).

Untuk membantu kaum ibu-ibu yang belum pandai tulis baca, Rahmah membuka sekolah “Menyesal School”. Sekolah ini terpaksa dihentikan setelah terjadi gempa Padangpanjang (1926) yang merobohkan bangunan sekolah. Rahmah lebih mencurahkan perhatiannya bagi murid-murid Diniyah Putri yang semakin bertambah banyak, dan melakukan penggalangan dana ke berbagai daerah sampai ke Sumatra Utara, Aceh, Semenanjung Melayu untuk pembangunan perguruannya. Pada tahun 1930-an, Diniyah Puteri semakin populer, dan murid-muridnya berasal dari  berbagai negeri  di Indonesia dan Malaya. Pada tahun 1935, telah berdiri cabangnya di Jakarta, yang juga membina beberapa sekolah.

Sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, Rahmah berperan penting dalam politik dan pergerakan nasional, namun posisi perguruannya adalah independen. Rahmah menjunjung independensi perguruannya dari berbagai pengaruh politik. Ketegasan sikap itu menyebabkan ia berseberangan dengan Rasuna Said pada tahun 1930 yang hendak membawa murid-murid Diniyah Puteri ke dalam pengajaran politik. Bagi Rahmah, politik untuk murid adalah kecintaan pada tanah air didasari iman, sedangkan Rasuna Said berpandangan murid perlu berpolitik (Rasyad 1978: 232). Ujung dari perbedaan pandangan ini menyebabkan Rasuna Said terpaksa pindah dari Diniyah Putri. Independensi lainnya adalah menolak supervisi Permi atas sekolah-sekolah golongan pembaharu di Minangkabau. Sikap ini kemudian menjadi penyelamat Diniyah Puteri dari tindakan pemerintah (Yuliantri 2015: 238).

Sikap independensi Rahmah itu, bukan berarti ia alergi politik. Ketika Belanda mengeluarkan dua peraturan “Ordonansi Kawin Bercatat” dan “Ordonansi Sekolah Liar”, Rahmah menyatakan penolakannya. Rahmah bahkan menjadi pemimpin Panitia Penolakan Sekolah Liar di Padang Panjang. Ia pernah didenda Belanda 100 gulden, karena dituduh membicarakan politik dalam rapat umum kaum ibu di Padangpanjang. Rahmah mempertahankan sistem yang diberlakukan di sekolahnya dan menolak rayuan subsidi pemerintah Belanda (Rasyad 1978: 225; Yunus dkk. 2012: 182)

Pada masa Jepang, Rahmah tergabung dalam organisasi Anggota Daerah Indonesia (ADI), dan melakukan penentangan menggunakan wanita Sumatra Tengah sebagai wanita penghibur bagi tentara Jepang. Rahmah menjadi Ketua Haha Nokai (Organisasi Kaum Ibu) di Padangpanjang. Menjelang berakhirnya pendudukan Jepang, Rahmah adalah anggota peninjau Sumatora Chuo Sangi In (Panitia Persiapan Kemerdekaan di Sumatra), anggota Mahkamah Syariah Bukittinggi, dan Majelis Islam Tinggi Sumatra Tengah  (Chaniago 2010: 427).

Setelah proklamasi kemerdekaan, Rahmah mempelopori pengibaran bendera merah putih di gedung Perguruan Diniyah Puteri. Ia menjadi anggota Komite Nasional Daerah (KNID) Sumatra Tengah dan memprakarsai pembentukan KNI Kota Padangpanjang. Rahmah merupakan pelopor pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 2 Oktober 1945 dan  mendirikan dapur umum, serta menyediakan pakaian tentara yang dijahit oleh ibu-ibu di bengkel tenun perguruannya (Rasyad 1978: 237).

Pada masa Agresi II, Gedung Perguruan Diniyah Puteri difungsikan sebagai Rumah Sakit Umum di bawah pimpinan dr. Atos dan Mantri Umar, sehingga tidak jadi diduduki Belanda. Rahmah menggabungkan diri dengan tentara RI di luar kota, sambil tetap menyediakan dapur umum. Basis gerakan Rahmah berada di lereng Gunung Singgalang. Pada tanggal 7 Januari 1949, Rahmah ditangkap Belanda dan dibawa ke Padangpanjang, terus ditahan di kota Padang. Rahmah bebas pada bulan September 1949. Setelah bebas mengikuti Konferensi Pendidikan di Yogyakarta dan tinggal di Jakarta hingga penyerahan kedaulatan (Rasyad 1978: 239).

Setelah kembali lagi ke Padangpanjang, Rahmah aktif berpolitik, tetapi sosoknya sebagai pendidik tetap menonjol. Pada tahun 1956, Rahmah dianugerahi gelar Syeikhah dalam sidang Guru Besar Universitas Al-Azhar, Kairo. Gelar kehormatan agama yang tertinggi itu merupakan gelar pertama yang diterima perempuan Indonesia. Pada tahun 1950-an, Rahmah termasuk tokoh Masyumi di Minangkabau yang duduk sebagai anggota DPR mewakili Sumatra Tengah (1955-1958). Perhatian utamanya dalam dunia pendidikan tidak pernah padam. Cita-cita untuk mendirikan Universitas Islam khusus putri terwujud tahun 1967, yaitu dengan berdirinya Fakultas Darasiah Islamiyah (Fakultas Tarbiyah dan Dakwah). Dua tahun setelah itu, pada tanggal 26 Februari 1969, Rahmah El-Yunusiyyah dipanggil Yang Maha Kuasa dalam usia 68 tahun.

Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan

Referensi

Chaniago, Hasril. 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Padang: Citra Budaya Indonesia.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van  Hoeve.

Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S.

Rasyad, Aminuddin. “Rahmah El Yunusiyyah: Kartini Perguruan Islam”, dalam Abdullah, Taufik (Eds.). 1978. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3S.

Sugiantoro, Hendra. 2021. Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Metapadi Pressindo.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria, dkk. 2015. Tokoh Pemikir Karakter Bangsa. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Yunus, Yulizal, dkk. 2012. Beberapa Ulama Sumatera Barat II. Padang: Museum Negeri-Pemda Sumbar.