Anak Agung Gde Agung

From Ensiklopedia

Ide Anak Agung Gde Agung adalah seorang politisi, diplomat sekaligus sejarawan. Ia dilahirkan di Puri Gianyar Bali pada 24 Juli 1921, sebagai putra sulung Raja Gianyar Ide Anak Agung Ngurah Agung. Setelah ayahnya dibuang ke Lombok karena tuduhan subversi terhadap Jepang, pada 1943 Anak Agung diangkat menjadi Dyutjo (Kepala Pemerintahan Swapraja) Gianyar, sekaligus sebagai Raja Gianyar menggantikan ayahnya (Agung, 1985: 856).

Anak Agung Gde Agung memulai pendidikan di sekolah rendah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Klungkung, Bali. Setelah lulus HIS ia melanjutkan ke  di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan kemudian ke Hogere Burger School (HBS) di Malang (Agung, 1985 (I): 855). Setamat dari HBS ia meneruskan pendidikan pada Sekolah Tinggi Bidang Hukum Rechtshoogeschool/RHS) di Jakarta dan berhasil meraih gelar sarjana muda di Bulan Oktober 1941. Gelar doktoral bidang hukum berhasil diraihnya dari Universitas Indonesia pada Bulan November 1950 dan doktor bidang sejarah diperolehnya dari Universitas Utrecht pada 2 Mei 1980 (Agung, 1985 (I): 856-860).

Kiprah Anak Agung sebagai seorang politisi berawal dari keterlibatannya dalam Paruman Agung (Badan Perwakilan Rakyat Daerah Bali). Ia menjadi wakil Bali dalam Konferensi Malino Juli 1946. Kiprahnya berlanjut ketika Paruman Agung menunjuknya sebagai wakil Bali dalam Konferensi Denpasar 7-24 Desember 1946. Melalui konferensi itu lahirlah Negara Indonesia Timur (NIT). Konferensi Denpasar kemudian diubah namanya menjadi Badan Perwakilan Sementara NIT, di mana Anak Agung duduk sebagai anggotanya dan dengan demikian menjadi salah satu tokoh dalam tubuh Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).

Karir politik Anak Agung terus berkembang ketika ditunjuk menjadi Menteri Urusan Dalam Negeri NIT dalam Kabinet Nadjamoeddin Daeng Malewa pada Januari 1947 dan berlanjut dalam Kabinet Warrouw yang menggantikan Kabinet Nadjamoeddin pada awal Oktober 1947. Dalam Kabinet itu, Anak Agung ditunjuk sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri merangkap Wakil Perdana Menteri. Ketika kabinet Warouw jatuh pada tanggal 9 Desember 1947, Anak Agung ditunjuk sebagai pembentuk kabinet oleh Presiden NIT Soekawati. Kabinet tersebut terbentuk pada tanggal 15 Desember 1947 (Agung, 1985 (I): 353). Dalam kabinet itu, Anak Agung menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Urusan Dalam Negeri NIT. Posisinya sebagai Perdana Menteri dijabat sampai 19 Desember 1948, ketika Anak Agung beserta kabinetnya mengundurkan sebagai protes atas Agresi Militer Belanda II (Agung, 1985 (I): 452).

Jabatan Perdana Menteri NIT sekali lagi dipegang oleh Anak Agung ketika Tjokorda Gde Raka Soekawati menjadi presiden NIT. Setelah berunding dengan wakil-wakil fraksi dalam parlemen lebih dari sepuluh hari lamanya, Anak Agung berhasil menyusun kabinetnya. Presiden NIT Soekawati menyetujui susunan kabinet yang diajukan oleh Anak Agung pada 12 Januari 1949. Anak Agung Gde Agung dan kabinetnya kemudian dilantik pada sore harinya (Agung, 1985 (I): 483). Kabinet tersebut berakhir ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Anak Agung kemudian menjadi salah satu menteri pada kabinet Hatta, yaitu Menteri Urusan Dalam Negeri. Oleh karena itu, Anak Agung kemudian mengajukan permohonan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri NIT kepada Presiden NIT Soekawati.

Dalam posisinya sebagai PM NIT Anak Agung Gde Agung banyak terlibat hubungan diplomatik dengan para pemimpin Republik Indonesia (RI). Ia mengadakan pertemuan dengan PM RI Amir Syarifudin pada awal Januari 1948 di Jakarta. Melalui pertemuan itu, PM RI Amir Syarifudin kemudian memberikan pengakuan resmi keberadaan NIT pada 19 Januari 1948 (Agung (I), 1985: 362).  Adanya pengakuan RI terhadap keberadaan NIT menunjukkan kemampuan Anak Agung dalam berdiplomasi, sekaligus kedekatannya terhadap RI. Dukungan Anak Agung terhadap RI antara lain diperlihatkan dalam sidang BFO 15 Februari 1949 yang membahas keikutsertaan RI dalam Pemerintah Federal Sementara. NIT dengan dukungan negara-negara bagian Pasundan, Madura, Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur, berpendapat bahwa keikutsertaan RI adalah syarat mutlak dalam pembentukan Pemerintah Federal Sementara (Agung (II), 1985: 240-241). Dengan kata lain, NIT mempunyai sikap pro-RI dalam hubungannya dengan pembentukan Pemerintah Federal Sementara.

Kedekatan Anak Agung Gde Agung pada RI juga ditunjukkan dalam sikapnya yang menuntut Belanda untuk tidak menggunakan kekuatan militer jika perundingan Belanda-RI mengalami kemacetan. Ia mengancam tidak akan terlibat dalam pembentukan Pemerintah Federal Sementara jika Belanda menggunakan kekuatan militernya. Ia menegaskan bahwa Negara Indonesia Timur akan turut dalam suatu Pemerintah Federal Sementara jika pembentukannya tidak menyebabkan terjadinya konflik dengan Pemerintah RI, dan sebaliknya bahu-membahu mewujudkan Negara Indonesia Serikat (NIS) yang merdeka dan berdaulat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Agung I, 1985: 444).

Kedekatan Anak Agung pada pihak RI sekali lagi ditunjukkan dengan kehadirannya sebagai utusan BFO untuk menemui para pemimpin RI yang diasingkan di Muntok, Bangka pada 2 Maret 1949. Pertemuan di Muntok itu merupakan gagasannya sebagai PM NIT yang berpendapat bahwa sebelum diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) perlu diadakan tukar pikiran antara BFO dan RI. Ia juga mengemukakan perlunya kebebasan bergerak yang tak terbatas bagi para pemimpin RI. Dengan dasar pemikiran itulah kemudian BFO memutuskan mengirim suatu misi penghubung untuk bertukar pikiran dengan pemimpin RI. Misi penghubung itu dipimpin Ketua BFO Sultan Hamid II dan Anak Agung sebagai Wakil Ketua BFO (Agung II, 1985: 249). Anak Agung selanjutnya terlibat dalam Konferensi Inter Indonesia untuk menyamakan pendapat antara RI dengan BFO dalam menghadapi Belanda. Konferensi itu berlangsung dua kali, yaitu di Yogyakarta pada 19-22 Juli dan Jakarta pada 30 Juli-2 Agustus. Dalam konferensi tersebut dicapai beberapa kesepakatan yang mempermudah bangsa Indonesia pada waktu diadakan KMB di Den Haag (Kahin, 1995: 547)

Kiprah politik Anak Agung dalam tubuh RIS dimulai dengan keterlibatannya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua Delegasi BFO dan Ketua Delegasi NIT. Anak Agung Gde Agung bersama dengan Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX  ditunjuk menjadi formatur kabinet oleh Presiden Republik Indonesia Serikat, Sukarno. Anak Agung bahkan kemudian duduk dalam Kabinet RIS sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri (Kedaulatan Rakyat 21 Desember 1949 & Indonesia Timur, 20 Desember 1949). Pada saat RIS diganti menjadi RI, Anak Agung dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia merangkap Republik Portugal pada tahun 1951. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1953 ia menjabat duta besar RI di Perancis. Tugasnya sebagai duta besar di Perancis berakhir tahun 1955, ketika ia dipanggil ke Jakarta untuk berdinas di Departemen Luar Negeri sebagai Kepala Direktorat Amerika (Agung I, 1985: 857). Karirnya sebagai diplomat semakin berkibar ketika pada Agustus 1955 ditunjuk menjadi Menteri Urusan Luar Negeri pada masa Kabinet Boehanoeddin Harahap. Jabatan itu diembannya sampai Maret 1956, ketika Kabinet Boerhanoeddin Harahap dibubarkan.

Setelah tidak lagi menjabat Menteri Urusan Luar Negeri, Anak Agung mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian pada lembaga pengkajian Amerika “The East West Center” di Honolulu, Hawaii pada tahun 1969. Hasilnya adalah sebuah buku berjudul Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965 yang terbit pada Desember 1973. Setelah kembali dari Hawaii Anak Agung diangkat menjadi Wakil Direktur Jenderal Hubungan Luar Negeri dan selanjutnya menjadi duta besar RI untuk Austria pada November 1969. Saat itu ia juga merangkap sebagai Kepala Perwakilan RI pada Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), sekaligus sebagai kepala perwakilan pada Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perkembangan Industri (UNIDO) di Wina (Agung (I), 1985: 859). Karir diplomatiknya di Wina berakhir pada 1974.

Kiprah Anak Agung sebagai sejarawan berawal pada Agustus 1978 ketika ia melakukan penelitian arsip di Den Haag, Belanda dalam rangka penulisan bukunya mengenai perundingan-perundingan Indonesia-Belanda dalam kurun waktu 1948-1950 yang kemudian menjadi disertasi berjudul “Renville, als keerpunt van de Nederlands-Indonesische onderhandelingen” yang dipertahankannya di hadapan senat dan para guru besar Universitas Utrecht pada Mei 1980 (Agung (I), 1985: 860).

Anak Agung Gde Agung wafat pada 22 April 1999 dalam usia 77 tahun di Gianyar, Bali. Untuk menghormati jasa-jasanya, pada 6 November 2007 pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No. 068/TK/Tahun 2007).

Penulis: Haryono Rinardi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Agung, Ide Anak Agung Gde (I). (1985).  Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Agung, Ide Anak Agung Gde (II). (1985). Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

https://www.merdeka.com/ide-anak-agung-gde-agung/profil/.

Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

“Susunan dan Program Kabinet RIS”, Kedaulatan Rakyat, 21 Desember 1949

“Tidak akan diperhatikan ukuran BFO atau RI”, Indonesia Timur, 20 Desember 1949.