Burhanuddin Harahap

From Ensiklopedia
Burhanuddin Harahap. Sumber : Parlaungan (Press Officer Parlemen RI), 1956.

Burhanuddin Harahap adalah politisi terkemuka dan pernah menjadi perdana Menteri  di bawah presiden Sukarno. Aktivitas politiknya dilakukan bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka melalui kiprahnya pada beberapa organisasi masa pergerakan memberi warna dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Demikian halnya pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, sumbangsihnya pun cukup besar dalam upaya pembangunan bangsa.

Burhanuddin Harahap menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, terutama pada masa Demokrasi Parlementer era Orde lama yang dipimpin Presiden Sukarno. Burhanuddin Harahap menjabat Perdana Menteri Indonesia (Kabinet Burhanuddin Harahap) tanggal 12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956) sekaligus merangkap Menteri Pertahanan (Mudjiono, 2017: 689).

Burhanuddin Harahap Kelahiran Medan, Sumatra Utara, 12 Januari  1917 dari pasangan suami istri asal Tapanuli, Muhammad Yunus dan Siti Nurfiah. Ayahnya, Muhammad Yunus adalah Mantri Polisi pada kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Timur di wilayah di Tanjung Balai (Assyaukanie, 2009: 80; Mudjiono, 2017: 689). Anak ketiga dari enam bersaudara ini dibesarkan dalam keluarga muslim. Hal inilah yang kemudian hari banyak mempengaruhi pemikiran Burhanuddin Harahap dalam setiap kebijakannya (Suswanta, 2000: 22; Ernawati 2014: 27-28).

Burhanuddin menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollands Inlandse School) di wilayah Bagan Siapi-Api, dekat Tanjung Balai. Setelah lulus dari HIS, ia kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Selepas belajar dari MULO Padang, pada tahun 1935 Burhanuddin hijrah ke Jawa untuk melanjutkan pendidikannya ke AMS A-2 (Algemene Middelbare School), di Yogyakarta. Burhanuddin mengambil Jurusan Western Klas Sieke Afdeling. Dalam usia muda yakni 19 tahun, sosok yang gemar bermain tenis ini juga aktif dalam organisasi JIB (Jong Islamieten Bond). Bahkan terpilih menjadi ketua JIB cabang Yogyakarta. Pada sela kesibukan belajarnya, Burhanuddin mengikuti les Bahasa Belanda (Ernawati, 2014: 27-28; Parlaungan, 1956: 142).

Motivasi Burhanuddin menempuh pendidikan cukup tinggi. Dibuktikan ketika lulus AMS (Algemene Middelbare School) di Yogyakarta tahun 1938, Burhanuddin melanjutkan kembali ke RHS (Rechts Hogeschool) atau sekolah tinggi Hukum di Jakarta. Pada era itu, belum ada universitas, terkecuali sekolah tinggi dengan spesialisasi kedokteran, teknik, dan hukum. Selama menjalani pendidikan di Jakarta, Burhanuddin bergabung dalam SIS (Student Islam Studi Club) serta aktif dalam PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) (Ernawati, 2014: 29-30). Burhanuddin menjadi sekretaris Student Islam Studi Club tahun 1939 (Parlaungan, 1956: 142).

Kondisi berubah ketika pendudukan Jepang tahun 1942 hingga tahun 1945. Masuknya Jepang membawa dampak besar. Bukan hanya di bidang politik tetapi bidang pendidikan. Semua sekolah yang didirikan Belanda ditutup termasuk RHS (Rechts Hogeschool) tempat Burhanuddin mengenyam pendidikan tinggi. Burhanuddin pun terpaksa berhenti dari RHS (Rechts Hogeschool).

Meskipun tidak bersekolah, mahasiswa dari luar Jawa berkumpul dalam suatu organisasi. Kegiatan mereka membantu masalah keuangan sesama mahasiswa luar Jawa yang sama-sama sekolah di Jakarta. Teman seperjuangan Burhanuddin antara lain Chaerul Saleh dan Sukarni. Pemerintah pendudukan Jepang sempat berbaik hati meminjamkan rumah kos secara gratis di daerah dekat Menteng. Akan tetapi ketika rumah kos itu akan digunakan oleh pihak tentara Jepang maka mereka semua pun diusir. Burhanuddin bersama Chaerul Saleh dan Sukarni pindah dan menyewa kost di daerah Cikini 71 (Ernawati, 2014: 29-30).

Burhanuddin akhirnya memulai kembali pendidikan formalnya setelah Jepang membuka kembali sekolah tinggi Hakim dalam bentuk kursus. Karier Burhanuddin Harahap juga nampak dalam bidang peradilan, dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta dan Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang (1942-1946). Setelah Jepang kalah dalam perang pasifik dan Indonesia merdeka tahun 1945, Burhanuddin melanjutkan pendidikan formalnya di UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta dan meraih gelar Sarjana Hukum (Suswanta, 2000: 22; Parlaungan, 1956: 141).

Pengabdian Burhanuddin secara formal bagi bangsa dan negara paling tidak telah dilakukan berturut-turut sejak permulaan Indonesia merdeka. Awalnya ia duduk dalam Badan Pekerja Komite Nasional Pusat bersama Mr. Assaat yang kantornya bermarkas di Purworejo. Setelah Agresi Militer Belanda II, Burhanuddin melangsungkan pernikahan dengan gadis Sangonan Godean, Sleman

Yogyakarta bernama Siti Pariyah. Hasil dari pernikahan tersebut, Burhanuddin dikaruniai dua orang anak. Selain itu Burhanuddin juga aktif di GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) dan Partai Masyumi (Ernawati, 2014: 30).

Burhanuddin Harahap aktif dalam Partai Masyumi sejak tahun 1946. Pada tahun ini terdapat peristiwa penangkapan atas beberapa orang kyai di Jawa Timur. Pada saat orang lain tak sanggup melakukan pembelaan, maka Burhanuddin tampil memberikan bantuan sehingga para kyai itu bebas, karena memang tidak bersalah (Parlaungan, 1956:  141).

Keterlibatan Burhanuddin hingga menjadi anggota aktif dalam Masyumi berawal dari sebuah ajakan Prawoto. Prawoto merupakan seseorang yang dikenalnya pada organisasi SIS (Student Islam Studi Club). Beliau merupakan ketua terakhir dari SIS. Pada Februari 1946 hingga Agustus 1950, Burhanuddin terpilih sebagai anggota BP-KNIP. Dalam perkembangannya, Komite Aksi Pemilihan Umum (KAPU) Masyumi dibentuk tahun 1948. Kemudian pada saat terjadinya reorganisasi KAPU Masyumi tahun 1952, Burhanuddin pun terpilih menjadi ketua.

Pada waktu Indonesia menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), Burhanuddin duduk dalam Parlemen. Demikian pula setelah Indonesia menjadi negara kesatuan, Burhanuddin menjadi anggota DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara)/Ketua Fraksi Masyumi (Parlaungan, 1956: 142). Posisinya di Parlemen ini terhenti karena ia harus mengemban jabatan sebagai Perdana Menteri sekaligus merangkap sebagai Menteri Pertahanan pada masa Demokrasi Liberal, menggantikan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Ernawati, 2014: 30; Mudjiono, 2017: 690).

Kabinet Burhanuddin Harahap menjabat sejak 12 Agustus 1955 sampai 3 Maret 1956 (Lentz, 2014: 1559; Sihombing, 2015: 22). Kabinet ini menggantikan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953–12 Agustus 1955) sebelumnya. Setelah jatuhnya Kabinet Ali I, sebagai gantinya Wakil Presiden Dr. Muh. Hatta menunjuk Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) sebagai formatur kabinet. Kejadian ini baru pertama kali di Indonesia, formatur kabinet ditunjuk Wakil Presiden sebagai akibat dari kepergian Sukarno naik Haji ke Mekkah. Kabinet ini terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Wakil Presiden Nomor 141 tahun 1955 tertanggal 11 Agustus 1955. Mulai bekerja setelah dilantik tanggal 12 Agustus 1955 dengan dipimpin oleh Burhanuddin Harahap. Timbang terima dengan kabinet Ali demisioner bertempat di gedung Dewan Menteri Pejambon (Mudjiono, 2017: 692).

Pelantikan Mr. Burhanuddin Harahap sebagai Perdana Menteri di Istana Negara, 12 Agustus 1955. Sumber: Ginanjar Kartasasmita, dkk, 1995, 30 Tahun Indonesia Merdeka : 1945 - 1960, hlm. 324.


Kabinet Burhanuddin Harahap merupakan kabinet koalisi yang terdiri atas beberapa partai, hampir merupakan Kabinet Nasional sebab jumlah partai yang tergabung dalam koalisi kabinet ini berjumlah 13 partai diantaranya PSI dan NU (Ricklefs, 2005: 495). Kabinet ini termasuk kabinet koalisi, ini dikarenakan masih ada beberapa partai oposisi yang tidak duduk dalam kabinet seperti PNI dan beberapa partai lainnya yang membentuk oposisi.

Pada Era kepemimpinan Burhanuddin Harahap sebagai Perdana Menteri, cukup banyak program kerja yang digagas, dilaksanakan serta dilanjutkan kabinet berikutnya. Walaupun masa kabinet ini cukup singkat yakni hanya 7 bulan,  hasil yang menonjol adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk kali pertama bagi bangsa Indonesia. Berlangsung pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Pelaksanaan pemilihan umum juga berjalan secara aman, tertib dan demokratis. Masyarakat yang ketika kampanye terpecah belah sesuai dengan garis kepartaian, ketika hari pelaksanaan pemilu berangkat ke kotak-kotak suara dengan tertib dan disiplin.

Kemudian mengembalikan kewibawaan (Gezag) moril pemerintah, terutama kepercayaan Angkatan Darat dan Masyarakat kepada Pemerintah. Selanjutnya menyelesaikan perundang-undangan desentralisasi dalam tahun 1955 serta menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan inflasi. Kabinet ini dipandang cukup berhasil mengadakan perbaikan ekonomi termasuk di dalamnya keberhasilan mengendalikan harga dan mencegah terjadinya inflasi. Dapat dikatakan kehidupan rakyat semasa kabinet cukup makmur, harga barang tidak melonjak naik akibat inflasi. (Mudjiono, 2017: 688; Sihombing, 2015: 28).

Berikutnya ia memberantas korupsi dengan mengadakan penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai seperti tokoh PNI (Ricklefs, 2005: 495), termasuk Djody Gondokusumo bekas Menteri Kehakiman masa Kabinet Ali. Kabinet Burhanuddin Harahap juga mengadakan kampanye korupsi dan menindak tegas siapapun tanpa pandang bulu jika ia terbukti terlibat korupsi bahkan menyeretnya ke tahanan (Mudjiono, 2017: 698).

Semasa pemerintahannya, Burhanuddin Harahap berusaha menstabilkan kondisi sosial, ekonomi dan politik Indonesia pada saat itu. Diantaranya meneruskan perjuangan mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia. Kabinet ini juga mengembangkan politik kerjasama Afrika-Asia, berdasarkan politik bebas aktif menuju perdamaian. Seluruh program itu mendapat persetujuan hampir mutlak dari Parlemen. Pada masa kabinet ini, kondisi ekonomi relatif baik, upaya pemberantasan korupsi digalakkan, yakni dengan dibuatnya RUU anti korupsi.

Pada kabinet sebelumnya, terdapat peristiwa tanggal 27 Juni 1955 yang menjadi penyebab kegagalan dari Kabinet Ali. Hal ini berhasil diselesaikan Kabinet Burhanuddin Harahap dengan solusi A.H Nasution diangkat kembali menjadi Kepala Staf Angkatan Darat/KSAD (Ernawati, 2014:32). Kabinet Burhanuddin Harahap pun berhasil mendapat simpati dan dukungan dari kalangan Angkatan Darat serta masyarakat. Pada masa ini hubungan antara Angkatan Darat dengan Pemerintah juga terjalin dengan baik

Hal lainnya yang dicapai kabinet ini adalah pembubaran Uni Indonesia-Belanda.Meskipun tidak mendapat dukungan dari Presiden Sukarno, kabinet mempunyai keberanian untuk membubarkan Uni Indonesia Belanda secara unilateral (sepihak) pada tanggal 13 Februari 1956 dan akan mengadakan tindakan lebih lanjut berhubungan dengan persetujuan KMB. Parlemen, tanpa PNI dan PSII menerima Undang-Undang Pembatalan Uni. Hambatan muncul ketika Presiden tidak bersedia menandatangani undang-undang itu dengan alasan bahwa pembatalan persetujuan KMB hendaklah menyeluruh dan menanti kabinet yang didukung oleh parlemen hasil pemilu (Mudjiono, 2017: 698).

Kabinet Burhanuddin Harahap memang mencatat sederet prestasi. Walaupun demikian dalam perjalanannya ternyata kabinet ini juga mengalami hambatan hambatan yang menyebabkan demisioner. Apalagi Kabinet Burhanuddin Harahap merupakan kabinet peralihan dari DPR Sementara ke DPR hasil pemilihan umum.

Setelah hasil pemungutan suara diumumkan dan pembagian kursi di DPR diumumkan pada tanggal 2 Maret 1956, pada tanggal yang sama dalam sidangnya kabinet Burhanuddin Harahap memutuskan menyerahkan mandatnya kepada Kepala Negara tanggal 3 Maret 1956. Pada tanggal 3 Maret 1956, penyerahan mandat oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap pun diterima Presiden Sukarno, dan kabinet dinyatakan demisioner. Namun Kabinet Harahap masih melaksanakan tugasnya seperti biasa sampai terbentuknya kabinet baru. (Mudjiono, 2017: 698). Kabinet Burhanuddin Harahap kemudian digantikan Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang menjabat 20 Maret 1956 - 14 Maret 1957. Ali Sastroamidjojo kembali diserahi mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956.

Roda politik terus mengalami dinamika. Pada era tahun 1962-1966, bersama para tokoh penentang Presiden Sukarno, Burhanudin Harahap dikenakan karantina politik. Dituduh terlibat dalam gerakan PRRI/Permesta. Demikian juga pada masa Orde Baru era pemerintahan Soeharto, Burhanuddin Harahap dianggap anti pemerintah karena menandatangani Petisi 50 yang mengkritik Presiden Soeharto (Vickers, 2013: 239).

Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang berisi protes terhadap penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto sebagai senjata politik terhadap lawan-lawan politiknya. Petisi ini diluncurkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "ungkapan keprihatinan" dan ditandatangani oleh 50 tokoh terkemuka Indonesia. Termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul, Haris Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso, mantan Gubernur DKI, Jakarta Ali Sadikin, serta dua mantan Perdana Menteri RI, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir (Sjahdeini 2021: 233).

Mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap pada Tahun 1987. Sumber: dok. Tempo/Ali Said, 1987.

Burhanuddin juga aktif di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang didirikan sejumlah tokoh Masyumi. Aktivitasnya mulai berkurang ketika Burhanuddin mulai mengidap jantung sejak tahun 1976. Kerap keluar masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatan. Akhirnya, seperti diberitakan Majalah Tempo (1987), Burhanuddin meninggal dunia pada tanggal 14 Juni 1987 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta dalam usia 70 tahun. 

Penulis: Mansyur
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Assyaukanie, Luthfi. 2009. Islam and the Secular State in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

DS Karma, "Perdana Menteri Tanpa Dasi" (Artikel di Majalah Tempo Edisi 20 Juni 1987) dalam Pusat data dan Analisa Tempo 2020. Melihat Pembentukan Dewan dakwah Islam Indonesia (DDDI) dan Kontribusinya. 2020. Jakarta: Pusat data dan Analisa Tempo.

Ernawati, Yuli. 2014. “Kondisi Sosial Politik Indonesia Pada Masa Pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1956”. Skripsi Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Kartasasmita, Ginanjar, dkk. 1995. 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945 - 1960 Cet.1. Jakarta: Sekretariat Negara.

Lentz, Harris M. 2014, Heads of States and Governments Since 1945, A Worldwide Encyclopedia of Over 2.300 Leaders 1945 Through 1992. Taylor & Francis.

Mudjiono, Achmad. 2017. “Kabinet Burhanuddin Harahap Tahun 1955-1956. Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 5, No. 3, Oktober 2017

Parlaungan. 1956). Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen. Hasil Pemilihan Umum Pertama, 1955 di Republik Indonesia. Jakarta: Gita.

Ricklefs, Merle Calvin. 2005. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Sihombing, Nedia Lestari, 2015. “Peranan Boerhanoedin Harahap Pada Masa Demokrasi Liberal(1955-1956)”. Skripsi Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.

Sjahdeini. Sutan Remy. 2021. Sejarah Hukum Indonesia, Seri Sejarah Hukum (Jakarta: Prenada Media).

Suswanta. 2000. Keberanian untuk Takut: Tiga Tokoh Masyumi dalam Drama PRRI. Yogyakarta: Avyrouz.

Vickers, Adrian. 2013. A History of Modern Indonesia. second edition, New York: Cambridge University Press.

Zed, Mestika & Hasril Chaniago. 2001. Ahmad Husein, Perlawanan Seorang Pejuang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.