Bandung Lautan Api

From Ensiklopedia

Bandung Lautan Api adalah peristiwa pengosongan dan pembakaran kota Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak dijadikan sebagai markas pasukan Sekutu dan Belanda (NICA). Peristiwa heroik ini terjadi tanggal 23 Maret 1946 dan dianggap sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa bumi hangus atas kota Bandung dianggap merupakan tindakan tepat karena kekuatan Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama rakyat pada waktu itu tidak akan sanggup melawan kekuatan musuh berkekuatan militer lengkap dan lebih modern (Maeswara 2010: 92).

Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari kedatangan pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Panglima AFNEI bernama Jenderal Sir Philip Christison kemudian melakukan tipu muslihat dengan mengakui secara De facto kekuasaan Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945. Muslihat ini dilakukan agar rakyat Indonesia merasa tenang dan tidak menaruh curiga pada pasukan sekutu yang sebenarnya membonceng pasukan Belanda (Adeng dkk. 1995: 56).

Karena itu, Tentara Sekutu mendapatkan izin dari pemerintah pusat di Jakarta untuk memasuki kota Bandung. Pada 12 Oktober 1945, pasukan Sekutu dipimpin oleh Panglima Brigjen MacDonald tiba di stasiun Bandung. Untuk menghindari serangan tidak terduga dari para pejuang, pemerintah Republik Indonesia mengusulkan kepada Panglima Sekutu bahwa kedatangan mereka ke Bandung haruslah melalui kereta api istimewa dan dikawal oleh sepasukan TKR di bawah pengawasan dari seorang utusan pemerintah pusat. Usulan ini kemudian disetujui oleh Panglima Sekutu. Kedatangan tersebut disambut oleh pejabat daerah setempat beserta rakyat sambil membawa bendera merah putih kecil-kecil di pinggir jalur kereta api. Pasukan Sekutu kemudian ditempatkan di beberapa gedung di Bandung Utara serta beberapa hotel di Bandung Selatan, antara lain Hotel Savoy Homann, Hotel Preanger, dan Hotel Braga (Adeng dkk. 1995: 57-58).

Setelah menduduki kota Bandung, terbukti bahwa Jenderal Sir Philip Christison ingkar janji. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya serdadu-serdadu Belanda yang mengenakan seragam Sekutu berkeliaran di dalam kota. Para pejuang memastikannya setelah mereka dipancing untuk berbicara bahasa Belanda. Bahkan, jumlah pasukan Belanda berseragam Sekutu itu dari hari ke hari kian bertambah jumlahnya (Adeng dkk. 1995: 59). Situasi keamanan juga kian memburuk, sebab tentara NICA mempersenjatai mantan anggota KNIL yang dibebaskan dari tawanan Jepang. Mereka segera memancing kerusuhan dengan melakukan provokasi bersenjata (Poesponegoro dkk. 2008: 187).

Untuk memperkuat kedudukannya di Bandung, Sekutu mengeluarkan ultimatum pada tanggal 29 November 1945 bahwa kota Bandung harus dibagi menjadi dua, utara dan selatan dengan batas rel kereta api. Alhasil, para penduduk dari wilayah utara berbondong-bondong mengungsi ke wilayah selatan Bandung. Menanggapi ultimatum itu, para pejuang mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat. Selama bulan Desember 1945 hingga awal tahun 1946, terjadi pertempuran di berbagai wilayah Bandung. Selain itu, banyak pula serdadu India yang melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia, diantaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya. Inggris kemudian menghubungi Kolonel A.H Nasution untuk menyerahkan mereka namun Nasution menolak. Puncaknya, pada bulan Maret 1946, Sekutu Kembali mengeluarkan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar rakyat Bandung meninggalkan kota dengan radius sebelas kilometer (Poesponegoro dkk. 2008: 202).

Atas dasar ultimatum tersebut pada tanggal 23 Maret 1946, Kolonel A.H. Nasution selaku Komandan Divisi III TRI memerintahkan evakuasi Kota Bandung bagian selatan (Nasution 1977: 187). Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung meninggalkan kota. Meskipun Bandung harus dikosongkan, namun penarikan mundur itu disertai dengan pembakaran gedung-gedung penting sehingga tidak dapat dipakai oleh pasukan Sekutu sebagai markas strategis militer (Maeswara 2010: 91).  

Sembari membumihanguskan kota, para pejuang tetap melakukan perlawanan. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, di mana terdapat gudang amunisi milik tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Mohammad Toha dan Moh. Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakyat Indonesia) gugur setelah berhasil menghancurkan gudang amunisi tersebut dengan dinamit. Pada pukul 24.00 malam itu, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI, sementara kebakaran melanda seluruh kota dan terlihat seperti lautan api (Herlambang dkk. 2021: 156-170).

Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Adeng dkk, (1995) Peranan Desa dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan beberapa Desa di Bandung dan Sekitarnya 1945-1949. Jakarta: DEPDIKBUD

Nasution, A.H. (1977) Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III: Diplomasi Sambil Bertempur. Bandung: Percetakan Angkasa

Maeswara, Garda (2010) Sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950: Perjuangan Bersenjata dan Diplomasi untuk Mempertahankan Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Narasi

Herlambang, Mohamad Luthfi dkk, “Peran Mohammad Toha pada peristiwa Bandoeng Laoetan Api 1945-1946” dalam Jurnal Historiography: Journal of Indonesian History and Education, Vol 1 No. 2, 2021

Poesponegoro, Marwati Joenoed dkk (2008) Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.