Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda dirumuskan oleh Perdana Menteri Indonesia Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi ini merupakan respon atas masih berlakunya undang-undang kelautan Hindia Belanda, Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkar Maritim) tahun 1939, yang dianggap merugikan eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan. Ordonansi tersebut mengatur bahwa wilayah laut Indonesia mencakup kawasan sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi setiap pulau. Deklarasi Djuanda bertujuan untuk menegaskan bentuk geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, melindungi kekayaan alam Indonesia, dan menetapkan batas lautan teritorial Indonesia. Batas laut teritorial yang ditetapkan ialah sejauh 12 mil, yang diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar setiap pulau di Indonesia.
Deklarasi Djuanda merupakan sebuah pencapaian penting bagi Indonesia karena menandai langkah resmi pertama Indonesia untuk menempatkan perairan sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia (Nugroho 2012: 80). Bagi pihak Indonesia, Deklarasi Djuanda adalah usaha untuk melindungi keamanan, pertahanan dan integritas kewilayahan. Dari segi hukum, Deklarasi Djuanda menandai awal dari usaha Indonesia untuk membangun dan mengembangkan hukum laut internasional dan hukum laut Indonesia (Puspitawati 2017: 100). Deklarasi Djuanda, dengan konsepsi Kesatuan Kewilayahannya, dianggap sebagai salah satu dari tiga pilar utama kesatuan negara dan bangsa Indonesia, bersama konsepsi Kesatuan Kejiwaan (dikemukakan di Sumpah Pemuda tahun 1928) dan Kesatuan Kenegaraan (diutarakan melalui prokalamsi kemerdekaan tahun 1945) (Djalal 2001: 347). Melalui Deklarasi Djuanda, Indonesia menetapkan dirinya sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic state) (Butcher & Elson 2017: 413).
Pada era 1950-an, Indonesia menghadapi berbagai persoalan internal dan eksternal yang mengancam keutuhan wilayahnya. Di dalam negeri terjadi berbagai pergolakan daerah, gerakan separatisme dan persoalan Irian Barat. Dalam konteks internasional, pada dekade 1950-an berbagai negara membuat klaim masing-masing atas wilayah lautnya. Oleh sebab itu, dalam pertemuan internasional tahun 1958 di Jenewa dihasilkan empat Konvensi Jenewa, yang terdiri atas Konvensi Tentang Laut Bebas dan Zona Tambahan, Konvensi tentang Laut Lepas, Konvensi tentang Perikanan dan Sumber Daya Hayati Laut Lepas, dan Konvensi tentang Landas Kontinen. Akan tetapi, masih terdapat ketidaksepahaman di antara berbagai negara tentang batas lautnya, walaupun praktik yang lazim berlaku ialah dengan menetapkan wilayah maksimal selebar 12 mil laut dari garis pangkal (Pramono 2021: 15).
Pada awalnya, batas wilayah laut Indonesia dibuat berdasarkan ketentuan TZMKO. Tiga mil merupakan jarak yang sempit dan mengakibatkan munculnya laut-laut bebas di antara pulau-pulau Indonesia. Ordonansi ini masih berlaku bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka. Ini adalah suatu ancaman dari perspektif geopolitik, pertahanan dan keamanan serta dapat membahayakan kesatuan Indonesia.
Wilayah Indonesia, dengan demikian, saling dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh perairan internasional. Kapal-kapal dari luar Indonesia dapat masuk dan keluar dengan bebas di teritori Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui Djuanda mengeluarkan Deklarasi Djuanda. Isi Deklarasi Djuanda ialah: 1) Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, 2) Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, 3) Ketentuan Ordonansi 1939 tentang Ordonansi dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Draf Deklarasi Djuanda disusun oleh seorang ahli hukum internasional Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja, yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada masa Orde Baru (Butcher & Elson 2017: 422).
Deklarasi Djuanda membuat TZMKO Tahun 1930 sudah tidak berlaku lagi. Pada tahun 1960 pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ini merupakan langkah hukum yang diambil pemerintah Indonesia agar Deklarasi Djuanda memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara internasional (Pramono 2021: 13-14).
Pada awalnya, Deklarasi Djuanda mendapat penolakan dari dunia maritim internasional. Protes antara lain datang dari Australia, Perancis, Inggris, Jepang, Selandia Baru, Belanda dan Amerika Serikat (Kwiatkowska & Agoes 1991: 132). Isi deklarasi itu dipandang bertentangan dengan hukum internasional kala itu yang hanya memberi pengakuan pada wilayah laut selebar tiga mil dari setiap pulau. Di samping itu, belum ada pula pengakuan terhadap kesatuan kewilayahan, di mana laut, pulau dan gugusan kepulauan merupakan satu kesatuan kewilayahan (Djalal dalam Djamin 2001: 343). Namun, ada dua negara lain yang mendukung deklarasi tersebut, yakni Uni Soviet dan Cina.
Selepas Deklarasi Djuanda, pemerintah Indonesia terus berupaya agar wilayah laut Indonesia diakui dunia internasional. Pada tahun 1958 Indonesia ambil bagian dalam Konferensi Hukum Laut yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaui United Nations Conference on the Law of Sea (UNCLOS) I. Konferensi tersebut diadakan di Jenewa, Swiss.
Pemerintah Indonesia berupaya agar Deklarasi Djuanda diterima dunia internasional melalui Konferensi PBB yang ke-1 tentang Hukum Laut di Jenewa, Swiss, pada Februari 1958. Namun, suara-suara yang menentang masih dominan. Oleh sebab itu, Indonesia menarik lagi usulnya dan memilih untuk memperkuat konsep yang ditawarkan dalam deklarasi tersebut. Isi Deklarasi Djuanda diundangkan secara resmi pada Februari 1960 melalui Undang-Undang/Prp No. 4/1960. Tujuannya adalah untuk menjadi bekal menuju Konferensi PBB yang kedua tentang Hukum Laut di Jenewa tahun 1960, walaupun dalam kenyataannya tema Negara Nusantara tidak didiskusikan. Sejumlah undang-undang (UU) dan Keputusan Presiden (Keppres) tentang lalu lintas laut dan perang Angkatan Laut dikeluarkan pada dekade 1960an (Djalal dalam Djamin 2001: 343-344).
Pada Konferensi Hukum Laut Internasional PBB yang ketiga, yang diadakan paada Desember 1963, Indonesia kembali mengajukan gagasan tentang Kesatuan Kewilayahan untuk Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan. Untuk mendapatkan dukungan, Indonesia melobi sejumlah negara, baik negara-negara kepulauan, negara-negara Asia-Afrika, negara-negara pantai di Asia-Afrika dan Amerika Latin serta negara-negara maju. Konsep ini menekankan bahwa kesatuan yang dimaksud bukan hanya antara darat dan laut, melainkan juga udara dan kekayaan alam di dalam bumi Indonesia. Konsepsi Kesatuan Kewilayahan Nasional ini mendapat pengakuan dalam Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982 (Djalal dalam Djamin 2001: 345).
Pada 10 Desember 1982 PBB menyelenggarakan Konvensi Hukum Laut ke-3. Hasilnya ialah UNCLOS 1982. Pemerintah Indonesia mengesahkan konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. UNCLOS sendiri berlaku mulai tanggal 16 November 1994. UNCLOS diratifikasi oleh 60 negara dan resmi berlaku. Semua negara yang meratifikasi UNCLOS terikat dengan isinya. Konvensi ini memberikan pengakuan pada konsep archipelagic nation (negara kepulauan). Di samping itu, ditetapkan pula batas wilayah laut teritorial negara kepulauan, yang lebarnya 12 mil dari garis dasar terluar dari pulau terluar, dan wilayah 200 mil laut dari garis dasar sebagai kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Pramono 2021: 16). Pengakuan dunia internasional atas Deklarasi Djuanda pada dekade 1980an ini menandai arti penting, peranan dan kontribusi Indonesia terhadap hukum laut internasional.
Dengan Deklarasi Djuanda, batas teritorial laut Indonesia bertambah secara signifikan dari 3 mil menjadi 12 mil laut. Secara simbolik, Deklarasi Djuanda berperan dalam mencegah disintegrasi kewilayahan dan meneguhkan persatuan nasional. Dalam jangka panjang, Deklarasi Djuanda memiliki konsekuensi signifikan bagi Indonesia karena memiliki posisi strategis dalam usaha bangsa Indonesia untuk mengakselerasi pembangunan dan memperkokoh kohesi nasionalnya (Djalal dalam Djamin 2001: 341).
Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Butcher, John G. & R.E. Elson (2017). Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State. Singapore: NUS Press.
Djalal, Hasim (2001). ‘Deklarasi Djuanda Menyatukan Kita’ dalam Awaloedin Djamin (ed.), Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Kwiatkowska, Barbara & Etty R. Agoes (1991). ‘Archipelagic Waters: An Assessment of National Legislation’ dalam: Rudiger Wolfrum (ed.). Law of the Sea at the Crossroads: The Continuing Search for a Universally Accepted Regime. Berlin: Duncker & Humblot.
Nugroho, Haryo Budi (2012). ‘Law of the Sea Aspects of Indonesian National Legislation on Submarine Telecommunications Cable’ dalam: Myron H. Nordquist (ed.). Maritime Border Diplomacy. Leiden & Boston: Martinus Nijhoff.
Pramono, Budi (2021). Penegakan Hukum di Perairan Indonesia. Surabaya: Scopindo Media Pustaka.
Puspitawati, Dhiana (2017). Hukum Laut Internasional. Jakarta: Kencana.