Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet)

From Ensiklopedia

Kabinet Djuanda adalah sebuah kabinet karya (zaken kabinet) yang dibentuk pada masa Demokrasi Liberal dan merupakan kabinet terakhir dari sistem parlementer di Indonesia. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaja (1911-1963), sejak tanggal 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959. Kabinet ini disebut sebagai zaken kabinet atau kabinet extra-parlementer yaitu kabinet yang dibentuk tanpa melihat jumlah kursi di parlemen (Suprapto 1989: 185).

Kabinet Djuanda terbentuk setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh pada tanggal 14 Maret 1957. Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh karena tidak mampu memperbaiki masalah-masalah ekonomi yang menimbulkan demonstrasi buruh yang dikoordinir oleh PKI. Masalah lainnya adalah korupsi dan lesunya kinerja aparat pemerintah (Suswanta 2000: 65). Selain itu, terjadi pergolakan besar-besaran dari Aceh, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat yang mengabaikan daerah. Setiap daerah yang tidak puas melakukan perlawanan dengan membentuk organisasi militer yang bertujuan mengambil alih pemerintahan setempat. Di Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng pada 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara (Medan) tanggal 22 Desember 1956, Dewan Garuda di Sumatera Selatan pada bulan Januari-Februari 1957 dan gerakan Permesta di Makassar yang mengumumkan Piagam Perjuangan Semesta (Piagam Permesta) tanggal 2 Maret 1957. Gerakan yang disebut terakhr ini ini meliputi daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara (Kansil & Julianto 1972: 66).

Setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri, Presiden Sukarno menunjuk Soewirjo menjadi formatur dalam membentuk kabinet baru namun gagal. Dengan gagalnya Soewirjo, akhirnya Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur. Formatur Ir. Sukarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra-Parlementer dan menunjuk Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri. Kabinet Djuanda ini diberi nama Kabinet Karya (Zaken Kabinet) sebab tidak berasal dari partai politik serta memiliki dua anggota militer di dalamnya. Kabinet Djuanda berlangsung antara April 1957 hingga Juli 1959. Program kerja kabinet ini antara lain membentuk  suatu Dewan Nasional, normalisasi keadaan negara Republik Indonesia, melanjutkan  pembatalan perjanjian  Konferensi Meja Bundar, memperjuangkan Irian Barat dan mempercepat pembangunan (Kartasasmita 1995: 42).

Terbentuknya Kabinet Djuanda menandai awal dari konsepsi tentang “Demokrasi Terpimpin” yang diusulkan Presiden Sukarno sejak 21 Februari 1957. Menurutnya, konsep tersebut merupakan suatu bentuk pemerintahan yang lebih cocok dengan kepribadian nasional yang berdasarkan kabinet gotong royong dan terdiri atas partai-partai politik besar dengan sebuah Dewan Nasional yang terdiri atas berbagai golongan sebagai penasehatnya. Konsep Demokrasi Terpimpin menimbulkan pro dan kontra, beberapa partai seperti PNI, PKI, Murba dan beberapa partai kecil lainnya mendukung gagasan Sukarno, sementara partai-partai yang tidak mendukung gagasan tersebut adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI), Masyumi, NU dan Partai Katolik (Ricklefs 2008: 505).

Beberapa bulan seusai dibentuk, Perdana Menteri Djuanda berhasil membentuk Dewan Nasional. Proses pembentukan Dewan Nasional ini dimulai pada bulan Mei dan selesai pada 11 Juli 1957 dan terdiri dari 45 perwakilan golongan karya (Pemuda, Tani, Buruh, Cendikiawan, Agamawan, Daerah dan lain-lain). Ketua dari dewan ini adalah Presiden Sukarno sendiri namun urusan-urusan dewan itu dijalankan oleh wakil ketuanya Ruslan Abdulgani. Dampak dari terbentuknya Dewan Nasional adalah PKI dan Angkatan Darat semakin mengkonsolidasikan diri serta memperkuat posisi mereka masing-masing (Ricklefs 2008: 512).

Program Kabinet Djuanda untuk menyelesaikan normalisasi keadaan Republik Indonesia dimulai dengan mengadakan Musyawarah Nasional yang bekerja sama dengan Dewan Nasional. Program ini merupakan agenda tidak tertulis dari Kabinet Djuanda yang diselenggarakan pada September 1957. Topik yang dibahas mengenai militer, sipil, kewaspadaan nasional dan Irian Barat (Setyawan 2017: 282). Masa pemerintahan Kabinet Djuanda diwarnai oleh beberapa peristiwa penting menjadi tantangan bagi kabinet tersebut, yaitu pemberontakan PRRI-Permesta, Peristiwa percobaan pembunuhan Presiden Sukarno di Cikini, dan pertentangan yang tajam di tubuh Dewan Konstituante (Hanafie 2011: 47). Rangkaian peristiwa pemberontakan PRRI-Permesta bermula dari konflik internal Angkatan Darat, yaitu kekecewaan atas minimnya kesejahteraan anggota di Sumatera dan Sulawesi sehingga mendorong beberapa tokoh militer menentang kebijakan KSAD dan pemerintahan pusat. Hal ini kemudian meluas pada tuntutan otonomi daerah yang melibatkan para politisi (Tanudirjo 2011: 305).

Mengenai hal tersebut, Kabinet Djuanda merespon dengan menolak tuntutan pihak PRRI-Permesta serta memecat para pimpinan Tentara yang memberontak di Sumatera. Kabinet Djuanda juga berperan menghentikan impor beras dari Hongkong dan Amerika Serikat yang disabotase oleh pihak PRRI di Singapura untuk membeli senjata dan beralih pada impor beras dari Uni Soviet karena dapat langsung diterima di Pelabuhan Indonesia. Kebijakan ini berhasil melemahkan ekonomi PRRI-Permesta sehingga pasukan mereka dapat dilumpuhkan (Setyawan 2017: 283).

Tugas berat juga dihadapi oleh Kabinet Djuanda setelah terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Cikini pada tanggal 30 November 1957 (Audrey & Kahin 1997: 141). Peristiwa ini dikhawatirkan merusak hasil dari Musyawarah Nasional pada bulan September 1957. Meski begitu, Kabinet Djuanda tetap mengeluarkan kebijakan pemogokan massal para buruh perusahaan Belanda selama 24 jam sebagai tanggapan atas kegagalan PBB dalam perundingan mengenai Irian Barat. Kebijakan ini berimbas pada pengambilalihan besar-besaran perusahaan tersebut oleh para buruh serta hengkangnya banyak perusahaan Belanda dari Indonesia (Setyawan 2017: 283).

Selain itu untuk menyikapi kemandegan yang terjadi dalam Dewan Konstituante, Perdana Menteri Djuanda mengusulkan untuk kembali pada UUD tahun 1945 dan usulan itu diterima oleh Presiden Sukarno (Setyawan  2017: 285). Padahal, Dewan Konstituante sejatinya telah merampungkan 90 persen dari tugasnya namun terhambat dikarenakan terjadi pertentangan yang tajam antara partai-partai di dalam Konstituante mengenai dasar negara. Kemandegan ini menimbulkan kekecewaan dari Presiden Sukarno yang berujung pada keluarnya Dekrit Presiden tahun 1959 (Hanafie 2011: 45).

Dalam kebijakan luar negeri, Kabinet Djuanda berhasil melakukan dekolonisasi di bidang kemaritiman yakni dengan mengeluarkan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi ini membatalkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa wilayah Hindia Belanda adalah tiga mil laut dari garis laut pulau-pulau, selebihnya adalah laut bebas yang boleh dilayari negara manapun. Mr. Mochtar Kusumaatmaja kemudian mengusulkan konsep Archipelagic Principle yakni konsep negara kepulauan yang utuh dan terdiri dari tanah dan air. Konsep ini kemudian dijadikan landasan hukum pada 13 Desember 1957 (Aman 2013: 80-90)

Kabinet Djuanda berakhir demisioner ketika Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit pada bulan 9 Juli 1959. Dekrit Presiden tersebut mengenai penghapusan Konstituante dan pemberlakuan kembali Undang Undang Dasar 1945. Penghapusan itu mengakhiri era Demokrasi Liberal di Indonesia (Zulkarnain 2012: 117). Pada hari itu juga, kabinet baru bernama bernama “Kabinet Kerja” segera diumumkan dengan Sukarno sebagai Perdana Menteri dan Ir. Djuanda sebagai Menteri Utama. Setelahnya Dewan Nasional kemudian dibubarkan dan digantikan dengan Dewan Pertimbangan Agung, dengan begitu dimulailah era Demokrasi Terpimpin (Ricklefs 2008: 526).

Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Daftar Pustaka

Aman, Febta Pratama, “Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Masa Kabinet Djuanda 1957-1959”, dalam Jurnal Socia Vol. 10 No. 1, Tahun 2013.

Audrey, R & Kahin, George (1997) Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.

Suprapto, Bibit (1989) Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hanafie, Haniah & Suryani (2011) Politik Indonesia, Jakarta: Penerbit Press

Kansil, C.S.T., Julianto (1972). Sedjarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Djakarta : Erlangga.

Kartasasmita, Ginandjar dkk. (1995). 30 Tahun Indonesia  Merdeka, Jilid  I. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Setiawan, Djohan dkk, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1950-1959” dalam. Jurnal Historia Vol. 6 No. 2 Tahun 2008

Suswanta, (2000) Keberanian untuk Takut; Tiga Tokoh Masyumi dalam Drama PRRI. Yogyakarta: Avyrouz.

Tanudirdjo, Daud Aris (2011) Indonesia dalam Arus Sejarah 7: Pasca Revolusi. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Zulkarnain. (2012) Jalan Meneguhkan Negara Sejarah Tata Negara Indonesia. Yogyakarta: Pujangga Press.

Sekretaris Negara (1981) 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964, Jakarta: Cicero Indonesia

Setyawan, Ade Bagus (2017) “Djuanda Kartawidjaja: Dari Menteri hingga Perdana Menteri 1946-1959”, dalam Jurnal Avatara, Vol. 5, No. 2