Dokumen Gilchrist

From Ensiklopedia

Peristiwa Gerakan 30 September 1965, atau G30S 1965, menjadi api pemantik dari tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah ada di negara Indonesia, yang memakan korban ratusan ribu bahkan jutaan nyawa melayang sia-sia. Tragedi tersebut juga masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum dijawab tuntas hingga saat ini, salah satunya adalah siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa ini? Gugurnya enam Jenderal dan satu Letnan TNI AD, yang berujung pada pembantaian elit dan pengurus serta simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi topik yang selalu ramai dibicarakan terutama menjelang bulan September.

Salah satu dokumen penting terkait pertanyaan di atas adalah surat yang berasal dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Sir Andrew Gilchrist. “Dokumen Gilchrist”, demikian surat itu disebut, ditemukan di rumah seorang sutradara film asal Amerika Serikat (AS) Bill Palmer di kawasan Puncak, Bogor, saat rumahnya diserbu oleh Pemuda Rakyat. Dokumen surat tersebut mencatat istilah “Dewan Jenderal” di dalam tubuh TNI AD yang ingin menggulingkan Presiden Sukarno (Murtianto 2011: 23).  

Hal penting untuk ditegaskan di sini adalah bahwa isu Dewan Jenderal telah memperkuat, dan bahkan menjadi titik kulminasi, dari pertentangan antara PKI dan TNI AD, yang telah berlangsung setelah PKI berhasil menjadi satu kekuatan politik utama hasil Pemilu 1955. Mereka mulai menanamkan pengaruhnya di berbagai bidang seperti ideologi, politik, hingga militer (Sucipto 2013: 97-98; Sekretariat Negara 1994: 28), yang membawanya berhadapan dengan TNI AD. Kelompok masing-masing yang berusaha memperoleh perwakilan politiknya melalui presiden (Kasenda 2014: 113).  Pada tahun 1965, PKI menuntut diadakannya “Nasakomisasi” di tubuh TNI, dan juga mengusulkan dibentuknya Angkatan Kelima yang terdiri dari para buruh dan tani yang dipersenjatai. Ide ini tentu saja ditentang oleh pihak TNI AD, namun Presiden Sukarno Nampak menyetujuinya (Sucipto 2013: 109-110).

Pertentangan dua kekuatan politik ini semakin meningkat dengan munculnya kritikan-kritikan dari PKI terhadap para perwira elit TNI AD tentang gaya hidup mewah dan sikap reaksioner mereka (Edman 2015: 179-181). Konflik antara TNI AD-PKI berlanjut menjadi rangkaian peristiwa yang berujung pada penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh para personil Cakrabirawa yang terafiliasi oleh PKI terhadap para perwira TNI AD di Lubang Buaya, Jakarta Timur pada malam 1 Oktober 1965.

Dokumen Gilchrist berisi tentang rencana AS dan Inggris untuk menyerbu dan menggulingkan Sukarno dengan bantuan “our local army friends” yang berarti beberapa perwira pucuk TNI AD terlibat. Surat tersebut pada awalnya ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris di London jatuh ke tangan Dr. Subandrio pada bulan Mei 1965. Surat yang bertanggal 24 Maret 1965 itu tidak bertanda tangan, namun Subandrio meyakini bahwa surat itu asli dan menyerahkannya kepada Sukarno (Murtianto 2011: 94). Penemuan Dokumen Gilchrist tersebut semakin memperkuat isu Dewan Jenderal yang berisikan lima jenderal TNI AD terkemuka yang akan mengkudeta presiden. Kelima jenderal tersebut adalah A. H. Nasution, A. Yani, Suprapto, Sukendro, dan S. Parman. Sedangkan M. T. Haryono, Sutojo, dan D. I. Panjaitan dianggap tidak loyal terhadap presiden dan bersikap anti komunis (Murtianto 2014: 94).

Terdapat banyak versi mengenai Dokumen Gilchrist ini. Ada yang menyebutkan bahwa dokumen ini memang benar dibuat oleh Duta Besar Sir Andrew Gilchrist, dibuat oleh PKI untuk mengkambinghitamkan TNI AD, maupun strategi dari CIA dan MI6. Namun, ada satu versi yang menarik untuk dibahas, yakni Dokumen Gilchrist merupakan hasil dari operasi intelijen Uni Soviet dan Cekoslowakia. Kesaksian ini diberikan oleh Ladislav Bittman, seorang agen intelijen Cekoslowakia yang membelot ke AS pada tahun 1968. Dalam versi tersebut dijelaskan bahwa Dokumen Gilchrist adalah tahap awal dari serangkaian operasi intelijen yang dilakukan oleh dinas intelijen Uni Soviet dan Cekoslowakia yang tergabung dalam Departemen D, yang dibentuk khusus untuk menyebarkan berita bohong. Bittman sendiri merupakan Wakil Kepala Departemen D sedangkan ketuanya adalah Mayor Louda yang sekaligus perancang operasi intelijen di Indonesia. Operasi ini diberi kode Operasi Palmer yang bertujuan untuk mengenyahkan kepentingan AS di Indonesia. Sesuai nama sandinya, operasi ini menargetkan Bill Palmer, seorang direktur film dan agen intelijen CIA yang sudah malang melintang mendukung pemberontakan-pemberontakan di Indonesia sejak tahun 1950-an (Murtianto 2014: 95).

Pada tahun 1964, agen intelijen Cekoslowakia telah membangun saluran disinformasi kepada seorang duta besar Indonesia. Melalui saluran tersebut, agen Cekoslowakia menyebarkan dokumen-dokumen anti-AS, termasuk tuduhan kepada Bill Palmer. Indonesia yang sudah tidak stabil akibat jatuhnya ekonomi, inflasi, ketegangan politik internal, dan konflik dengan Malaysia, telah menjadi sasaran empuk bagi intelijen komunis. Penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia adalah hasil dari imperialisme AS. Demonstrasi pun mulai pecah di mana-mana. Pada bulan Desember 1964, mahasiswa melakukan demonstrasi dan menggeledah Perpustakaan Badan Informasi AS di Jakarta dan Surabaya. Pada bulan Februari 1965, mahasiswa menyerang kediaman Duta Besar AS dan tak lama setelah itu, Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang merupakan organisasi kewanitaan onderbouw PKI, menuntut agar Palmer diusir dari Indonesia (Pond 1985).

Sementara itu, pihak Soviet merasa terkesan dengan operasi yang dilakukan oleh pihak Cekoslowakia. Jenderal Agayants selaku Kepala Dinas Disinformasi Uni Soviet memerintahkan agar operasi ini diperluas cakupannya dan mengawasi langsung jalannya operasi ini. Di titik ini, mereka membuat dokumen palsu yang seolah-olah ditulis oleh Duta Besar Gilchrist yang berisi rencana AS-Inggris untuk menyerang Indonesia dan mengkudeta presiden melalui Malaysia dengan bantuan “teman-teman AD” mereka. Di titik ini pula sentiment anti-AS di Indonesia mencapai puncaknya dan hal itu tentu saja merupakan sebuah keberhasilan yang besar bagi intelijen komunis (Pond 1985).

Dapat dilihat bahwa permainan intelijen dan disinformasi blok Timur sangat luar biasa. Operasi Palmer dan Dokumen Gilchrist ini hanyalah salah satu dari banyaknya operasi dan tipu daya yang mereka jalankan di berbagai belahan dunia lain selama masa Perang Dingin berlangsung.

Penulis : Satrio  priyo utomo


Referensi

Edman, P. (2015). Komunisme ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia Di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965. Yogyakarta: Buku Seru.

Kasenda, P. (2014). Sukarno, Marxisme, dan Leninisme. Depok: Komunitas Bambu.

Murtianto, T. B. (2011). Prolog G 30 S 1965: Asal-Usul Dokumen Gilchrist: Permainan Intelijen Cekoslowakia. Jakarta: Insan Merdeka.

Pond, E. (1985, Februari 27). Case Study: Jakarta, A Communist Campaign That Backfired. Retrieved from The Christian Science Monitor: https://www.csmonitor.com/1985/0227/zdis2c.html

Ricklefs, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sekretariat Negara. (1994). Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Jakarta: Rola Sinar Perkasa.

Sucipto, D. (2013). Kontroversi G 30 S. Jakarta: Palapa.