Dwi Tunggal Sukarno Hatta

From Ensiklopedia

Dwi Tunggal Sukarno Hatta merupakan sebutan bagi dua tokoh proklamator Indonesia, Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta. Sebutan Dwi Tunggal juga merupakan pengakuan rakyat Indonesia terhadap dua pemimpin yang saling mengisi satu sama lain. Keduanya memiliki pola kemitraan yang unik dan saling melengkapi selama perjuangan kemerdekaan Indonesia (Irsyam, 1994:21-22).

Pertemuan kedua tokoh ini pertama kali terjadi pada tahun 1932. Ketika itu Hatta belum lama pulang dari Belanda, setelah 11 tahun menimba ilmu dan lulus jadi seorang sarjana ekonomi. Hatta ditawarkan Haji Usman untuk menemui Sukarno. Saat itu Sukarno juga belum lama keluar dari penjara sukamiskin. Keduanya bertemu di Bandung dengan perantara Haji Usman (Hatta, Jilid 2, 2011:24).

Sukarno dan Hatta merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergerak dalam jalannya masing-masing. Hatta berjuang di negeri Belanda sembari menuntut ilmu. Pada tahun 1926 Hatta menjadi ketua Perhimpunan Indonesia, sedangkan Sukarno pada 1927 mendirikan Partai Nasional Indonesia bersama enam kawannya dari Algemeene Studieclub. Keduanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dua tempat yang berbeda, namun dengan tujuan yang sama, yakni Indonesia merdeka (Hatta, Jilid 1, 2011: 249; Adams, 2007:95).

Sepulangnya ke Indonesia, Hatta melanjutkan perjuangannya pada Pendidikan Nasional Indonesia. Sedangkan Sukarno yang baru keluar dari sukamiskin akhirnya bergabung dan menjadi ketua Partai Indonesia (Partindo). Walau disebut Dwi Tunggal, hubungan antara kedua tokoh ini kerap mengalami polemik. Perdebatan merupakan hal lumrah bagi keduanya, misalnya dalam hal masuk sebagai anggota Tweede Kamer. Bagi Sukarno dan Partindo, asas nonkoperasi melarang anggotanya untuk masuk ke dalam Tweede Kamer. Sedangkan bagi Pendidikan Nasional Indonesia, masuk dan bersidang dalam Tweede Kamer tidak bertentangan dengan asas nonkoperasi. Tweede Kamer sendiri merupakan suatu parlemen bukan dewan jajahan (Hatta, Jilid 2, 2011:54).

Konsepsi kedua tokoh dalam mencapai kemerdekaan terlihat sangat berbeda. Namun, keduanya dapat bekerja sama dengan baik dengan tujuan yang sama. Hal ini terwujud dalam naskah Proklamasi Indonesia yang dibacakan pada 17 Agustus 1945. Keduanya menjadi wakil atas bangsa Indonesia dalam memproklamirkan kemerdekaan.

Sukarno-Hatta akhirnya terpilih dengan suara bulat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia pertama pada sidang PPKI, setelah proklamasi kemerdekaan. Dwi Tunggal ini saling mengisi kekurangan satu sama lain. Sukarno bertindak selaku orator unggul dengan kekuatan magnetiknya. Sementara Hatta melengkapinya dengan perencanaan dan rincian administratif. Sukarno dengan citra Muslim abangannya, sedangkan Hatta dengan citra Muslim ortodoksnya (Irsyam, 1994:30). Kepemimpinan Dwi Tunggal Sukarno Hatta akhirnya terhenti ketika Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956. Bung Hatta memberikan kesempatan kepada Sukarno untuk melaksanakan konsepsinya. Setelah Demokrasi Terpimpin dimulai, Sukarno memimpin republik sendirian. Muncul banyak pergolakan menentang pemerintahan Sukarno, seperti pemberontakan PRRI/Permesta. Namun, Bung Hatta secara tegas tidak ikut andil dalam pemberontakan itu walau ia tidak sependapat dengan Sukarno (Adam, 2012:15).

Penulis: Afriadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Irsyam, Mahrus. 1994. Dwitunggal Sukarno-Hatta: Kajian atas pola hubungan Presiden dengan Wakil Presiden. Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Depok: Fisip UI.

Hatta, Mohammad. 2011. Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi. (Jilid I, II, III) Jakarta: Penerbit Kompas

Adams, Cindy. 2007. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Pressindo.

Adam, Aswi Warman. 2012. Bung Karno & Kemeja Arrow. Jakarta: Kompas.