Partai Indonesia (PARTINDO)
Lahirnya Partai Indonesia (PARTINDO) merupakan respons beberapa tokoh pergerakan setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada bulan April 1931. Sebelum pembubaran tersebut, pada Januari 1930 para pemimpin PNI telah mendapat peringatan tegas dari penguasa Belanda bahwa PNI tidak akan diizinkan untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan politiknya selama tuntutan-tuntutan terhadap para pemimpinnya belum diputuskan. Setelah Sukarno dihukum, para pemimpin PNI yang lain merasa bahwa partainya telah menjadi partai terlarang. Oleh karena itu, pada akhir April 1931 Partai Indonesia (PARTINDO) didirikan oleh Mr. R. M. Sartono dengan tujuan kemerdekaan penuh tanpa kerjasama dengan Belanda, tetapi menempuh metode yang jauh lebih moderat dibanding metode yang digunakan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sartono bersama Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Ir. Anwari, Mr. Budiarto, Mr. Ali Sastroamidjojo, Dr. Sasmi Sastrowidagdo dan Mr. Sunarjo, merupakan anggota dan pengurus terkemuka dari PNI. Pendirian PARTINDO dan pembubaran PNI menuai pro kontra dari beberapa tokohnya. Salah seorang yang menolak pembubaran PNI adalah Hatta yang saat itu masih berada di negeri Belanda. Akibat dari kemelut ini, maka jumlah anggota PARTINDO pada bulan Februari 1932 hanya 3.000 orang (Ricklefs 2005).
Pada bulan Desember 1931, Sukarno dibebaskan dan dia segera berusaha mempersatukan kembali gerakan nasionalis, namun gagal. Upayanya untuk menjembatani perbedaan antara PARTINDO dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir menemui jalan buntu. Akhirnya, pada Agustus 1932, Sukarno bergabung dengan PARTINDO dengan pertimbangan memiliki naluri yang sama dalam hal aksi massa. Pada Juli 1933, PARTINDO menyatakan memiliki anggota sebanyak 20.000 orang. Dengan mengandalkan aksi massa, maka mobilisasi masyarakat dalam rapat-rapat umum merupakan hal yang sering dilakukan. Rapat-rapat umum ini segera menarik represi Belanda, para pemimpinnya ditangkap dan diasingkan dan Belanda kemudian melarang diadakannya kongres partai pada 1934.
Berbagai tekanan yang dialami PARTINDO tidak menyurutkan langkah para pemimpinnya untuk memperjuangkan tujuan partai. Melalu majalah Pikiran Rakjat dan Soeloeh Indonesia Moeda, para pemimpin partai tersebut melontarkan kritik pedas perihal situasi ekonomi, sosial, dan mengejek tindakan imperialisme Belanda. Rupanya pemerintah kolonial kebakaran jenggot atas situasi ini. Oleh karena itu, Gubernur de Jonge menjalankan kewenangan Gubernur Jenderal, yaitu exorbitante rechten dengan membuang aktivis pergerakan yang dianggap membahayakan ketenteraman negara. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Sukarno kemudian dibuang ke Ende (Flores). Pengasingan Sukarno dan larangan mengadakan rapat oleh pemerintah kolonial berdampak pada aktivitas PARTINDO. Dengan berbagai tekanan tersebut, pada bulan November 1936, PARTINDO memutuskan untuk membubarkan diri. Mereka yang tidak setuju atas pembubaran itu kemudian mendirikan Komite Pertahanan PARTINDO di Semarang dan Yogyakarta untuk menghambat pembubaran, tetapi upaya itu tidak berhasil. Akhirnya, PARTINDO benar-benar bubar pada tahun 1937, dan sebagian besar anggotanya masuk dalam Gerakan Rakyat Indonesia (Cribb dan Kahin 2012; Ricklefs 2005).
Pada tahun 1950an, PARTINDO merupakan sayap kiri kecil yang keluar dari Partai Nasional Indonesia (PNI) pada Juli 1958. Salah satu tujuannya adalah mendukung kebijakan Sukarno. Keberadaannya menjadi pembenar atas diangkatnya lebih banyak tokoh sayap kiri untuk menduduki jabatan publik yang berdampingan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Semakin lama PARTINDO semakin dekat dengan PKI dan akhirnya dilarang pada tahun 1966 (Cribb dan Kahin 2012).
Penulis: Sarkawi
Instansi: Universitas Airlangga Surabaya
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Cribb, Robert dan Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.