Ende (Tempat Pengasingan)
Pada 1933, akibat perjuagannya melawan kolonialisme Belanda di Indonesia, Sukarno diasingkan ke Ende (1934-1938). Ende adalah sebuah kota di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terletak di pesisir selatan pulau, Ende dijadikan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai tempat mengasingkan bagi tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Pulau Jawa, sebagai pusat aktivitas politik pada masa itu.
Di Ende, Sukarno tinggal di sebuah rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru yang berlokasi di Kampung Ambugaga, Kotaraja di Ende Utara. Pengasingannya ke Ende diawali ketika ia ditangkap saat bertemu dengan M.H. Thamrin di Jakarta, 1 Agustus 1933, berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge tanggal 28 Desember 1933 karena aktivitas politiknya yang dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Pada 14 Januari 1934, Sukarno diberangkatkan ke Ende bersama keluarganya, yaitu Inggit Garnasih (istri), Amsih (ibu mertua), Ratna Juami dan Kartika (anak angkat), serta Asmara Hadi (guru anak angkat), dengan kapal barang K.M. Van Riebeeck (Moentadhim dkk. [eds.] 2012). Pengasingannya di Ende berlangsung hingga 18 Oktober 1938, ketika ia dipindahkan ke Bengkulu, Sumatera (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya 2014). Hal ini dilakukan karena kondisi kesehatan Sukarno yang menurun akibat Malaria, sehingga Garnasih bersurat ke Thamrin, yang ketika itu menjabat sebagai anggota Volksraad dari Fraksi Nasional, untuk mengajukan pemindahan tersebut (Rohmadi & Warto 2019).
Semasa pengasingannya di Ende inilah Sukarno banyak menghabiskan waktu dengan membaca di perpustakaan kepastoran dan berdiskusi dengan Pastor G. Huytink dan J. Bouman, serta Bruder Lambertus (Kasenda 2012). Ia merenungkan dan menulis banyak hal, salah satunya konsep dasar negara Indonesia yang ia cita-citakan, yaitu Pancasila. Sukarno juga membuat naskah sandiwara, yang merupakan cara baginya untuk dapat berinteraksi dengan penduduk yang masih mayoritas buta huruf. Selain itu, ia juga bermaksud untuk secara terselubung menunjukkan eksistensi diri dan keberadaan semangat perjuangannya, oleh karena cara-cara lainnya akan dicurigai oleh pemerintah kolonial. Beberapa naskah sandiwara yang Sukarno ciptakan antara lain Rahasia Kelimoetoe, Taoen 1945, Nggera Ende, Koetkoetbi, dan Dr. Sjaitan. Kegiatan merenungnya dilakukan di bawah pohon sukun yang tertanam sekitar 700 meter dari rumah Haji Ambuwaru yang ditempatinya (Setiawan 2022).
Dalam koleksi arsip Ende yang berkaitan dengan masa pengasingan Sukarno, disebutkan bahwa Sukarno mendapatkan gagasan Pancasila dari proses perenungannya di bawah pohon sukun, di lokasi yang menurutnya memberikan ketenangan karena terletak di sebuah bukit yang menghadap teluk. Ombak yang pasang dan surut memberinya inspirasi bahwa revolusi berjalan seperti ombak yang terus bergulung secara abadi (Adams 2007). Hal yang sama juga dikatakan seorang peziarah Katolik dari Flores (de Jonge (2008).
Pemikirannya inilah yang kemudian termanifestasi di dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 di muka sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), bahwa bangsa Indonesia telah memiliki philosophische grondslag bagi kemerdekaannya (onafhankelijkheid). Di dalam pidato ini pula, Sukarno menyampaikan lima konsep dasar negara, yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme dan perikemanusiaan (nasionalisme yang humanis), mufakat dan demokrasi (Indonesia untuk semua), kesejahteraan sosial, serta ketuhanan yang maha esa (Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional RI, n.d.).
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Adams, Cindy (2018). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Yayasan Bung Karno.
De Jonge, Huub (2008). “Patriotism and Religion: Pilgrimages to Soekarno’s Grave”, dalam Margry, P.J., Shrines and Pilgrimage in the Modern World: New Itineraries into the Sacred. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional RI (n.d.). “Pidato Soekarno: Lahirnya Pancasila”. https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/soekarno10.pdf.
Moentadhim, Martin, dkk. (eds.) (2012). Ende, Soekarno, dan Pancasila. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan PT. Sasana Kreativa.
Rohmadi, N. & Warto (2019). “Volksraad (People Council): Radicale Concentratie Political Arena and National Fraction, 1918-1942”, Humaniora 31(2): 166-176.
Setiawan, Andri (2022). “Ende dan Perenungan Bung Karno”, Historia, 2 Juni 2022. https://historia.id/politik/articles/ende-dan-perenungan-bung-karno-vog4q/page/1.
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya (2014). “Rumah Pengasingan Ir. Soekarno di Ende”, No. RegNas CB: CB.28, SK Penetapan Nomor 285/M/2014 tanggal 13 Oktober 2014. http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2015070700009/rumah-pengasingan-ir-soekarno-di-ende.