Inggit Garnasih

From Ensiklopedia

Inggit Garnasih adalah istri pertama Sukarno yang juga ikut berkontribusi dalam pergerakan nasional Indonesia. Menurut Tito Asmara Hadi, cucu keempat Inggit dari anak angkatnya, Ratna Juami atau Omi, Inggit lahir pada pada hari Sabtu, 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Banjaran, sekitar 20 km arah selatan Bandung, Jawa Barat (Aprianti, 2008: 7). Inggit bukanlah keturunan seorang aristokrat, melainkan anak dari petani biasa. Ia merupakan anak bungsu dari pasangan Ardjipan dan Amsi (Pikiran Rakyat, 14 November 1997: 3). Inggit hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah (setara Sekolah Dasar), namun ia mampu mengasah pengetahuan dan wawasan untuk mendampingi Sukarno sebagai tokoh pergerakan nasional yang gigih melawan pemerintah kolonial Belanda (Ilmiyanti, 2018: 56-58).

Nama asli Inggit adalah Garnasih, yakni singkatan dari kata Hegar dan Asih. Hegar memiliki arti segar menghidupkan, sedangkan Asih artinya kasih sayang (Ilmiyanti, 2018: 56-58). Panggilan Inggit berasal dari sebutan para pemuda yang menggoda Inggit. Menurut mereka, mendapat senyuman manis dari Garnasih sama halnya mendapat uang seringgit. Pada saat itu, nilai satu ringgit masih sangat tinggi, jika dikonversi ke gulden setara dengan 2,5 gulden (Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 1993: 3-6). Dari situlah, nama Inggit menjadi populer dibandingkan dengan nama aslinya, Garnasih. Memasuki usia 12 tahun, tepatnya pada tahun 1900, Inggit Garnasih dinikahkan dengan seorang Kopral Residen Belanda, yaitu Nata Atmadja. Akan tetapi, pernikahannya tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1904 Inggit dan Nata memutuskan untuk bercerai.

Pada 1916 Inggit menikah lagi dengan H. Sanusi seorang saudagar kaya dari Bandung. Selain sebagai saudagar, H. Sanusi juga seorang tokoh organisasi Sarekat Islam (SI) Bandung. Inggit mulai memasuki lingkungan Pergerakan Nasional ketika mendampingi H. Sanusi. Dalam SI, H. Sanusi dikenal sebagai orang kepercayaan H.O.S Tjokroaminoto, Ketua Umum SI di Surabaya. Ketika itu, Inggit dipercaya menjadi pimpinan dapur umum untuk peserta yang datang dari beberapa daerah Indonesia (Pikiran Rakyat, 14 November 1997: 3). Dengan ketersediaan makanan yang cukup dalam koordinasi dan tanggungjawab Inggit inilah para pemuda pergerakan dapat melaksanakan agenda-agenda politik dengan baik.

Keterlibatan dalam Arus Pergerakan

Inggit sebagai istri dari tokoh pergerakan nasional, selalu ikut terlibat aktif meskipun berada pada garis ‘belakang’ dan semakin intensif setelah kehadiran Sukarno dalam hidupnya. Pada Juni 1921 Sukarno datang sebagai mahasiswa dan suami gantung dari Siti Oetari Tjokroaminoto berniat untuk tinggal sementara di rumah Inggit dan H. Sanusi (Hadi, 2000: 24). Ketika itu Sukarno menjadi mahasiswa di Technische Hooge School (THS) Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Setelah perceraian Sukarno dengan Oetari, Sukarno meminta izin pada H. Sanusi untuk menikahi Inggit dan. H. Sanusi bersedia menceraikan Inggit pada tahun 1923. H. Sanusi meyakini bahwa Sukarno akan membawa perubahan besar pada bangsa dan tanah air. Oleh karena itu, ia tidak ragu untuk melepaskan Inggit agar bisa mendampingi dan mengurus segala kebutuhan hidup Sukarno (Pikiran Rakyat, 14 November 1997: 3).

Pada 24 Maret 1923, Inggit dan Sukarno menikah. Inggit saat itu berusia 35 tahun dan Sukarno 22 tahun (Atmosiswartoputra 2018: 212). Sukarno adalah tokoh politik pergerakan nasional Indonesia yang sangat berpengaruh sehingga keterlibatan Inggit dalam panggung politik tidak bisa dipisahkan dari kedudukan dan kapasitasnya sebagai istri Sukarno (Putri, 2018). Inggit selalu mendampingi pada saat Sukarno berkeliling ke berbagai pelosok Bandung untuk menggembleng kader-kader Partai Nasional Indonesia yang didirikannya pada tahun 1927. Pada momen seperti itu, Inggit berperan sebagai pendamping yang loyal, sekaligus menjadi penerjemah jika masyarakat setempat hanya memahami bahasa Sunda. Ketika Sukarno pergi menghadiri rapat, Inggit juga selalu menyelipkan uang setali ke dalam saku Sukarno (Atmosiswartoputra, 2018: 214).

Sukarno juga seringkali mengapresiasi kontribusi Inggit dalam mendukung perjuangannya, misalnya pada  Kongres Indonesia Raya tahun 1931 di Surabaya, di depan khalayak ramai, Sukarno dengan yakin menyatakan bahwa Inggit Garnasih adalah Srikandi Indonesia (Ilmiyanti, 2018: 55). Solichin Salam, seorang peneliti yang telah mengenal Sukarno mengungkapkan betapa beruntungnya Sukarno memiliki seorang ‘kamerad’ teman seperjuangan, seorang “geliefde” yang setia, dan seorang “moeder” yang terpadu dalam diri pribadi seorang Srikandi yang luhur budi, yaitu Inggit Garnasih. Srikandi yang setia dalam suka dan duka. Kekuatan yang terpendam di garis belakang inilah yang sesungguhnya memberi api dan menambah kuatnya daya tahan serta daya juang Bung Karno dalam perjuangan memimpin rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan (Salam, 1984: 32).

Pendamping Setia di Tahanan dan Pengasingan

Selama 20 tahun mendampingi suami sebagai pemimpin pergerakan bukanlah masa-masa yang mudah bagi Inggit. Seringkali, keadaan memaksa Inggit untuk mengupayakan sendiri keperluan keluarga, juga keperluan Sukarno, apabila sewaktu-waktu Sukarno harus berada dalam tahanan. Terlebih lagi, gerak-geriknya selalu diawasi oleh reserse atau polisi rahasia Belanda (Dermawan, 2020: 167).

Komitmen Inggit dalam mendukung dan menyemangati Sukarno tidak pernah pudar. Inggit memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan berbagai softskill yang dimiliki, seperti menjahit pakaian, meracik bedak, dan meracik rokok lintingan daun kawung yang diberi nama “Rokok Kawung Ratna Djuami bikinan Ibu Inggit Garnasih”, meramu jamu, hingga menjadi agen sabun kecil-kecilan (Pikiran Rakyat, 6 Maret 2016: 1; Kompas.com, 6 Februari 2010). Inggit juga menjadi agen cangkul dan parang buatan Ciwidey Jawa Barat (Nuryanti, 2007: 17). Ketika Sukarno ditahan di Sukamiskin, Inggit bersedia berjalan kaki pergi-pulang Bandung-Sukamiskin sambil berjualan kecil-kecilan untuk menopang kehidupan keluarganya (Suganda, 2010: 22).

Selama dalam masa tahanan di Sukamiskin, pemerintah Belanda hanya mengizinkan Sukarno mendapatkan kiriman buku agama dan Al-Quran. Dalam masa-masa ini, Inggit mengirimkan buku-buku agama, dari buku-buku itu pula, Inggit memberitahukan kabar tentang dunia luar yang diselundupkan melalui Al-Quran. Inggit menandai kitab suci itu dengan lubang jarum pada bagian tertentu, jika dirangkai maka akan membentuk sebuah kalimat utuh, mirip seperti huruf braille. Penyelundupan pesan juga dilakukan Inggit melalui kode di makanan yang dikirimkan, misalnya jika ia mengirimkan telur asin, berarti ada kabar buruk di luar sana (Nursalim, 2020: 38-39).

Inggit juga mengikuti suaminya ketika diasingkan ke Ende pada tahun 1934-1938, lalu ke Bengkulu, 1938-1942 (Sadji, 2020: 7). Selama di pembuangan, Inggit tetap bekerja membuat bedak, lulur, dan pakaian. Ia juga pernah dengan berani berjalan kaki menelusuri hutan dari Bengkulu ke Padang demi menemui Sukarno. Di Bengkulu, Inggit dan Sukarno mengangkat Fatmawati sebagai anak. Sebelumnya, Fatmawati adalah teman main Omi. Namun, pada tahun 1942, Sukarno meminta izin untuk menikahi Fatmawati. Dalam hal ini Inggit tidak mengijinkan dan ia meminta bercerai selanjutnya kembali ke Bandung (Aprianti, 28 Feb 2008: 7).

Inggit Garnasih, janda almarhum Sukarno, presiden RI pertama, tutup usia Jumat malam, 13 April 1984 pukul 19.10 di rumahnya Jalan Ciateul 8 Bandung dan dimakamkan di pemakaman umum Babakan Ciparay, Kodya Bandung. Inggit meninggal dalam usia 96 tahun, setelah dirawat di ruang 11 Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung akibat komplikasi penyakit yang dideritanya pada usia tua (Kompas, 28 Oktober 1982: 1; (Kompas, 14 April 1984: 1). Kepergiannya telah membangkitkan rasa hormat atas semua sumbangannya, baik kepada suaminya maupun pada perjuangan kemerdekaan Indonesia (Kompas, 21 April 1984: 4). Tidak berlebihan kiranya, jika Ramadhan Karta Hadimadja dalam novelnya Soekarno: Kuantar ke Gerbang (2014), menggambarkan Inggit sebagai perempuan tangguh di balik kesuksesan Sukarno (Hadimadja, 2014).

Penulis: Yety Rochwulaningsih
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

“Ibu Inggit Tutup Usia”, Kompas, 14 April 1984, hlm. 1.

“Inggit Garnasih Wanita Pejuang yang Tabah dan Setia: Pendamping Bung Karno Pada Masa-Masa Sulit”, Pikiran Rakyat, 14 November 1997, hlm. 3.

“Kesehatan ibu Inggit mengkhawatirkan”, Kompas, 28 Okt 1982, hlm. 1.

“Rumah Kenangan Soekarno-Inggit”, Kompas.com, 6 Februari 2010 dalam (https://regional.kompas.com/read/2010/02/06/03240458/rumah.kenangan.soekarno-inggit?page=all, diakses pada 30 Oktober 2021).

“Sobat Percil Kenalkah Pada Inggit Garnasih?”, Pikiran Rakyat, 6 Maret 2016, hlm. 1.

“Tajuk rencana: Kepergian Ibu Inggit DLL” Kompas, 21 April 1984, hlm. 4.

Aprianti, Yenti, “100 Tahun Inggit Garnasih”, Kompas Jawa Barat, 28 Feb 2008, hlm. 7.

Atmosiswartoputra, Mulyono (2018) Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah. Jakarta.  Bhuana Ilmu Populer.

Dermawan, Agus (2020) Dongeng dari Dullah. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Hadi, Tito Asmara (2000) Fajar yang Luka. Bandung: Tanpa Penerbit. 2000.

Hadimadja, Ramadhan Karta (2014) Soekarno: Kuantar ke Gerbang. Yogyakarta. Bentang Pustaka.

Ilmiyanti (2018) Soekarno is a Great Lover: Kisah Cinta Sang Putra Fajar. Yogyakarta. Anak Hebat Indonesia.

Novrin Putri (2018) “Ratu Tahta Mahkota: Inggit Garnasih dalam Panggung Politik Indonesia Tahun 1923-1943”, Skripsi pada Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro.

Nursalim, Adimitra (2020) The Remarkable Story of Soekarno. Yogyakarta. Anak Hebat Indonesia.

Nuryanti, Reni (2007) Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (1993) Perjalanan Hidup Inggit Garnasih. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Sadji, Muhammad “Surat Kepada Redaksi: Ibu Inggit” Kompas, 14 Okt 2020, hlm. 7.

Salam, Solichin (1984) Bung Karno Putera Fajar. Jakarta: Gunung Agung.

Suganda, Her (2010) “Inggit Garnasih: Sumber Inspirasi” dalam Hero Triatmono (eds) Kisah Istimewa Bung Karno. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Zulkifli, Arif; Bagja Hidayat; Dwidjo U. Maksum; Redaksi KPG (editor) (2010) Sukarno. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.