Hartini

From Ensiklopedia
Hartini. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.0964A

Hartini adalah salah seorang istri presiden Sukarno dari pernikahan yang keempat. Ia lahir dengan nama Siti Suhartini, dari pasangan Osan Murawi dan Mairah di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924. Hartini dilukiskan sebagai prototype perempuan Jawa tulen, yang dibesarkan dan dididik dengan nilai-nilai ke-Jawa-an yang cukup kental (Pour, 1995). Sebagai anak seorang pegawai rendahan Dinas Kehutanan, Hartini kecil sempat menikmati pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) meski harus berpindah-pindah kota, mengikuti penugasan ayahnya. Menjelang kelulusannya dari HIS Malang, Hartini diangkat anak oleh keluarga Usman, seorang Kepala Jawatan Planologi, dan pindah ke Bandung. Di kota Bandung inilah Hartini menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Selepas menyelesaikan MULO Hartini bermaksud melanjutkan pendidikan, namun hal itu terkendala terjadinya instabilitas politik karena pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Jadilah Hartini melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Tinggi Bandung. Namun, karena kondisi perang menjadikan sekolahnya kacau, sehingga Hartini hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 2. Pada tahun 1942 Hartini menikah dengan Suwondo.

Setelah menjadi nyonya Suwondo, Hartini harus mengikuti suaminya tinggal di Salatiga. Suwondo sendiri bekerja di Semarang, kota yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dari Salatiga. Di kota inilah Hartini membina rumah tangganya dan dikaruniai lima orang anak, dua orang anak lelaki dan tiga orang anak perempuan. Namun perjalan rumah tangga ini nampaknya kurang harmonis, setelah hampir sepuluh tahun mempertahankan perkawinannya, biduk rumah tangga Hartini-Suwondo karam di tahun 1952.

Pasca perceraiannya dengan Suwondo, Hartini tetap tinggal di Salatiga membesarkan anak-anaknya seorang diri. Di tahun 1952 itu juga Hartini berjumpa dengan Sukarno, Presiden RI yang pada saat itu singgah di kediaman Bupati Salatiga dalam perjalanan kenegaraannya ke Yogyakarta untuk meresmikan pemugaran kompleks Candi Prambanan dan Masjid Syuhada (Nugroho, 2009: 48). Sejak perjumpaan itu, tampaknya kedua hati mereka bertaut. Sukarno kembali jatuh cinta di usianya yang sangat matang pada seorang janda muda, 28 tahun, berdarah Jawa. Pada diri Hartini tampaknya Sukarno menemukan sosok pendamping yang memiliki jiwa mengabdi dan melayani. Sebagai perempuan Jawa Hartini lebih bisa mengenal tata cara pelayanan pada suami yang juga berdarah Jawa, mengetahui dengan baik kapan harus bersikap sebagai istri, sebagai pasangan dan sebagai ibu. Hartini dan Sukarno menikah pada 7 Juli 1954 di istana Cipanas Bogor. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki, Taufan Sukarnoputra dan Bayu Sukarnoputra.

Sosok Hartini senantiasa lekat dalam kerangka pembicaraan tentang Sukarno dan perempuan-perempuan kecintaannya, bukan saja sebagai istri yang setia menyertai suaminya namun juga sebagai pendamping perjalanan karier politik Sukarno. Sebagaimana John D. Legge (1972) menyebutkan dalam bukunya, Sukarno, Sebuah Biografi Politik, keberadaan Hartini di Istana Bogor dapat berperan tidak hanya sebatas sebagai istri namun mampu menjadi pembantu politik Sukarno. Perkawinan Hartini dan Sukarno seringkali dianggap sebagai pukulan telak terhadap gerakan perempuan Indonesia yang pada saat itu sedang giat-giatnya memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan dengan semangat anti-poligami. Gerakan perempuan yang dimotori oleh Persatuan Perempuan Republik Indonesia (Perwari) memang sudah mengangkat isu-isu anti poligami sejak tahun 1953 (Nugroho, 2009: 4). Karena penolakan keras itulah maka Hartini tidak berada di Istana Negara, melainkan menempati salah satu paviliun di istana Bogor.

Penolakan atas pernikahan Hartini dan Sukarno semakin memuncak dengan keluarnya Fatmawati dari Istana Kepresidenan, dan hal itu meluas di kalangan masyarakat khususnya aktivis gerakan anti poligami. Hal ini pula yang menyebabkan Hartini tidak bisa tinggal di istana. Meskipun Hartini tidak diperbolehkan memasuki Istana Kepresidenan di Jakarta, tetapi di Istana Bogor ia mempunyai kekuasaan penuh. Di Istana Bogor Hartini mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang bisa menemui Sukarno dan siapa yang tidak. Sejak itu kemampuan dan instingnya terutama yang berkaitan dengan keprotokoleran dan kenegaraan makin terasah. Sejak tahun 1955 Hartini dapat dikatakan berkembang secara politik (Nugroho, 2009: 7)

Sebagai istri Bung Karno yang penyuka keindahan, Hartini dituntut harus bisa mengikuti kegemaran suami. Sukarno lebih suka Hartini berbusana kain panjang, kebaya dan tatanan rambut yang disanggul rapi. Sukarno menyukai lukisan dan gemar melukis, maka Hartini harus bisa memahami setiap lukisannya, tata letaknya dan perawatannya. Sukarno juga sangat suka akan seni musik dan berdansa, maka untuk memuaskan hatinya Hartini bersungguh-sungguh berlatih menyanyi dan berdansa. Sukarno penggemar wayang dan tari-tarian Jawa, untuk itulah Hartini mempelajari pakem dan cerita pewayangan Jawa, sebab tidak jarang Sukarno akan menanyakan tentang jalan cerita sebuah lakon atau tokoh wayang kepada Hartini. Hal lain yang dilakukan Hartini khusus untuk Sukarno adalah soal kuliner, semua makanan yang hendak disantap Sukarno selama di istana Bogor adalah hasil masakan Hartini, tidak boleh dilakukan oleh juru masak istana. Sedemikian dekatnya Hartini dengan Sukarno, membuatnya menjadi teman seiring, teman berbagi, sekaligus teman diskusi untuk bermacam hal yang dihadapi Sukarno. Secara otodidak Hartini mempelajari politik, seni dan masalah-masalah kenegaraan, maka tidak mengherankan meskipun pendidikan formal Hartini tidak tinggi, namun wawasannya cukup luas, dan terutama dukungan kasih sayang dan perhatiannya yang diberikan secara utuh kepada Sukarno dalam menghadapi berbagai masalah di kurun waktu 1950 hingga 1960-an.

Memasuki tahun enam puluhan, Hartini menunjukkan kemahirannya dalam berperan sebagai isteri dan partner politik bagi Sukarno. Kepandaian Hartini menyesuaikan diri dalam mendampingi Sukarno membuatnya dapat diterima oleh lingkaran pertemanan Sukarno, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional. Hartini juga mendapat kesempatan untuk menerima tamu-tamu negara di istana Bogor dan dari sinilah beberapa isteri anggota kabinet menjadi kawan-kawan dekatnya. Bahkan di sebuah kongres perempuan di tahun 1963, yang juga dihadiri oleh Hartini, muncul pertimbangan resolusi untuk menjadikannya The Indonesian First Lady, sang Ibu Negara (Legge, 1972). Mengingat dalam banyak kesempatan kenegaraan Fatmawati selalu tidak bersedia hadir mendampingi Sukarno. Hal tersebut juga menjadi semacam bukti bahwa keberadaan Hartini sebagai salah satu istri Sukarno mulai dapat diterima oleh publik, terutama di kalangan organisasi perempuan, yang dulu sempat menentangnya.

Peristiwa 1965 dan kondisi-kondisi sesudahnya, membawa Sukarno ke masa akhir kekuasaanya yang tragis. “Dilengserkan” oleh Suharto yang notabene pernah menjadi orang kepercayaan Sukarno adalah hal yang mungkin paling dramatis yang terjadi dalam karier politik seorang pimpinan negara. Hal tersebut berdampak pada kesehatan Sukarno yang kian hari semakin memburuk. Di saat terendah dalam hidup Sukarno, hanya Hartini yang dengan setia tetap berada di sisinya untuk merawat dan mengusahakan pengobatan meskipun sangat sulit didapatkan. Demikian juga di hari-hari terakhir Sukarno saat berstatus tahanan kota di Wisma Yaso, terisolir dari istri, anak-anak, para sahabat dan dunia luar, dengan segala upaya dan keterbatasan waktu Hartini tetap memenuhi kewajibannya. Ketulusannya yang kemudian berhasil meluluhkan kebekuan hati anak-anak Sukarno dari Fatmawati, juga merukunkannya dengan Ratna Sari Dewi, madu kesayangan Sukarno. Ketulusan itu pula yang membuatnya mampu bertahan untuk ke tujuh anak-anaknya. Meski uang pensiun sebagai janda Presiden baru dia terima 13 tahun setelah Sukarno wafat, pada 21 Juni 1970, Hartini tetap memilih untuk terus merawat kesetiaannya kepada mendiang suaminya.

Hartini selalu ingat perjalanan cintanya dengan Sukarno harus dibayar mahal, saat organisasi perempuan menyerangnya. Dia menyadari betul hal tersebut akan terjadi, pasti terjadi dan harus dihadapi, karena itulah konsekuensi mencintai seorang Sukarno. Hartini menunjukkan bahwa, “Saya bisa setia dan terus mendampingi Bung Karno dalam keadaan apapun, juga dalam kedudukannya; dan saya telah membuktikannya”. Hartini tutup usia pada Selasa 12 Maret 2002, di RS MMC Kuningan Jakarta pada usia 78 tahun. Almarhumah dikebumikan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat, dengan upacara kenegaraan.

Penulis: Nina Witasari
Instansi: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Unnes
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A

Referensi

Legge, John D. (1972) Sukarno, sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nugroho, Arifin Suryo. (2009). Srihana-Srihani. Biografi Hartini Sukarno. Yogyakarta: Ombak.

Pour, Julius. (1995). Pengalaman dan Kesaksian Sejak Proklamasi Sampai Orde Baru, Jakarta: Grasindo.