Hijrah (Long March Siliwangi)
Istilah hijrah mengacu pada perjalanan panjang pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat ke Yogyakarta, yang terjadi menyusul penandatanganan perjanjian Renville antara Belanda dan Pemerintah RI pada 17 Januari 1948, di mana dua per tiga pulau Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur) dan Sumatera Timur dan Selatan diserahkan kepada Belanda (Nasution 1966: 114-116). Hal ini berarti bahwa kantong-kantong gerilya di daerah Jawa Barat yang telah terbangun harus dipindahkan ke daerah RI. Maka dengan demikian sejumlah 22.000 prajurit anggota Divisi Siliwangi dipaksa hijrah ke daerah Jawa Tengah (Djamhari 1979: 5). Hijrah di mulai pada 1 Februari hingga 22 Februari 1948.
Hijrah berlangsung melalui dua jalur, laut dan darat. Pasukan-pasukan Siliwangi Jawa Barat yang berasal dari Bogor, Cianjur, Padalarang, Purwakarta dan Ciwidey berangkat ke Cirebon menggunakan kereta api. Dari Cirebon pasukan ini diberangkatkan menggunakan kapal laut menuju Rembang. Brigade Tarumanegara dan Resimen 10 berangkat dari Tasikmalaya, sebagiannya lagi menggunakan kereta api lewat Gombong menuju Yogyakarta dan setengahnya menggunakan truk ke Cirebon, lalu disambung dengan kapal laut untuk ke Rembang. Gerakan hijrah dari Jawa Barat ini dipimpin Letnan Kolonel Mokoginta dan diketuai Arudji Kartawinata selaku Menteri Muda Pertahanan.
Penyebutan istilah hijrah ini berlandaskan pada keyakinan agama Islam. Hijrah merujuk pada strategi perjuangan Rasulullah ketika berdakwah. Beliau pergi dari Mekkah ke Madinah guna membangun basis kekuatan Islam antara kaum Muhajirin dan Ansor, sehingga ketika meraih kemenangan rombongan Rasulullah kembali lagi ke Mekkah (DSM TNI-AD 1977: 27). Pandangan tersebut menjadi semangat perjuangan pasukan Siliwangi. Hijrah bukan berarti mundur, melainkan punya nilai strategis (Iryana dan Mustofa 2021: 27-28).
Keberadaan pasukan Siliwangi di Jawa Tengah membuat mereka juga terlibat dalam konflik maupun peperangan antar faksi dan golongan terutama dengan komunis. Sebelum kedatangan, mereka sudah dianggap mengancam kesatuan etnis Jawa yang secara kultural, etnik dan linguistik berbeda dengan sebagian besar pasukan Siliwangi dari Jawa Barat. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Solo dan Madiun pada tahun 1948, pasukan Siliwangi terlibat aktif dalam upaya penyelesaian kudeta dari Muso di Madiun (PKI) dan Amir Syarifuddin di Surakarta (FDR atau Front Demokrasi Rakyat). Mereka dengan sigap menggagalkan pemberontakan itu (Iryana dan Mustofa 2021: 29-34).
Pasukan Belanda menyerbu ke wilayah Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 atau disebut Agresi Militer II. Maka, atas dasar Perintah Siasat No. 1 Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, Kolonel A.H. Nasution dan instruksi Panglima Besar Jenderal Sudirman tanggal 9 November 1948, pasukan Siliwangi (terdiri dari 11 batalyon) yang berada di Jawa Tengah diperintahkan untuk melakukan wingate (penyusupan) untuk kembali ke Jawa Barat. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Long March (Harjasaputra, 2008: 153 dan AD Indonesia, Kodam III/ Siliwangi, 1991: 285).
Long march Siliwangi merupakan perjalanan terbesar dalam sejarah militer yang melibatkan manusia, kekuatan dan peralatan, juga menjadi long march terpanjang, terjauh dan terlama dari segi jarak tempuh serta waktu perjalanannya (DHC Angkatan ’45, 2022: 187). Rombongan long march berjumlah sekitar 35.000 orang, terdiri dari pasukan TNI Siliwangi, pejabat pemerintah, tokoh politik, laskar pejuang, dan juga melibatkan keluarga. Long march ini dipimpin oleh Kepala Staf dan Panglima Divisi Siliwangi, Letkol Daan Yahya. Titik awal perjalanan long march ini dimulai dari beberapa pangkalan di antaranya Kutoarjo, Wonosobo, Yogyakarta, Magelang dan Banjarnegara.
Selain menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dan penuh risiko penghadangan oleh Belanda, pasukan Siliwangi juga mendapat tantangan serupa dari Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Banyak putra-putra Siliwangi yang terjebak kemudian dibantai oleh pasukan DI/TII. Ketika Batalyon III pimpinan Mayor Mohamad dalam perjalanan long march melalui Nyalenghor menuju Antarlina, seruan dan ajakan untuk bergabung bersama DI/TII mereka jumpai sepanjang perjalanan, namun tetap tak dihiraukan (AD Indonesia, Kodam III/ Siliwangi, 1991: 301).
Setiap pasukan Siliwangi ini dalam long march menuju Jawa Barat harus menentukan daerah tujuan yang harus dicapai dan diduduki. Mereka dalam perjalanan menuju daerah tujuan juga menyerang pos-pos Belanda yang dilalui, terkadang pula malah mereka yang diserang. Lokasi yang dituju adalah Markas Batalyon dan Kompi Staf beserta keluarga di daerah Kuningan Timur dan Kuningan Selatan, Kompi I daerah Indramayu, Kompi II daerah Kuningan Timur (Sindanglaut), Kompi III di Cirebon Kota dan sekitarnya, dan Kompi IV melewati Majalengka dan sekitarnya. Keberangkatannya pun diatur, hari pertama Peleton CPM diperintahkan menjadi “Voorpits” dipersenjatai lengkap di bawah pimpinan Letnan Iskandar, hari kedua Kompi I, hari ketiga Kompi II, kemudian hari keempat Kompi III dan IV serta Kompi Staf dan keluarga (rombongan terakhir) termasuk Kompi CPM dari Mob. Batalyon B bawahan Letnan Emon Suparman (DHC Angkatan ’45, 2022: 171).
Dalam perjalanannya rute tersebut mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan dua gangguan keamanan dari Belanda dan DI/TII Kartosuwiryo. Perjalanan Batalyon II Brigade XIII Siliwangi awalnya dipimpin oleh Mayor Umar Wirahadikusumah ditunjuk sebagai Komandan Komando Troep Staf Divisi Siliwangi, jelang long march dirinya diganti Mayor Lucas Kustaryo yang mengarahkan pasukannya ke daerah Cikampek, bukan ke Kuningan. Sementara pasukan Siliwangi yang melakukan long march lewat Kuningan adalah Batalyon Nasuhi dalam perjalanannya bergerak menuju Ciamis, melewati Cilebak, Jalatrang, Situgede, Pinara, Subang, Cinyasag-Kawali-Panawangan dan seterusnya (DHC Angkatan ’45, 2022: 188).
Kedatangan pasukan divisi Siliwangi di Jawa Barat mendapat sambutan hangat dari rakyat, selain mereka juga sepanjang perjalanan mendapat rintangan dan tantangan dari Belanda dan DI/TII pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Akan tetapi, berkat usaha dan tekad kuat, Divisi Siliwangi berhasil mengatasi segala perlawanan dari pihak musuh (Departemen Penerangan Indonesia 1953: 189).
Penulis: Akhmad Yusuf
Instansi: Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Delegasi Indonesia. Statement K.T.N (s./AC.10/CONF.2/5) Jang Dikeluarkannja di Dalam Sidang Resmi diatas Kapal Renville pada Tanggal 17 Djanuari 1948. Jakarta: ANRI, 1948.
Dewan Harian Cabang Angkatan '45. Perjuangan Rakyat Kuningan: Masa Revolusi Kemerdekaan. Bandung: Kiblat Buku Utama, 2022.
Fattah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945 – 2004, Yogyakarta : LKIS, 2005.
Harjasaputra, A. Sobana., ed. Sejarah Purwakarta. Bandung: Kiblat Buku Utama, 2022.
Indonesia, Angkatan Darat. Kodam III/Siliwangi. Album Kenangan Perjuangan Siliwangi. Jakarta: Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya, 1991.
Indonesia, Angkatan Darat. Kodam VI/Siliwangi. Dinas Sejarah. Siliwangi dari Masa ke Masa. Indonesia: Angkasa, 1979.
Iryana, Wahyu dan Mustofa, Muhammad Bisri. Histografi Perjuangan Pasukan Siliwangi Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949. Jurnal Jawi, Volume 4, No. 1 (2021), p. 17-39.
Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966, Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1982.
Nasution, A.H. 1966. Sedjarah Perdjuangan Nasional Bersendjata. Djakarta: Bookstore, 1966.
Saleh As’ad Djamhari. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945-sekarang). Jakarta: Dephankam, 1979.