Arudji Kartawinata
Arudji Kartawinata dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Selain menjabat sebagai Menteri Pertahanan Indonesia pada masa Kabinet Sjahrir II, Arudji juga adalah politisi yang berjuang melalui kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mulai dari DPR Republik Indonesia Serikat (DPR-RIS) hingga di DPR-Gotong Royong (DPR-GR).
Arudji Kartawinata lahir di Garut pada 5 Mei 1905. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Bandung. Setelah lulus dari MULO, Arudji menjadi seorang guru hingga pada masa pendudukan Jepang, di mana dia bergabung menjadi Daidancho Pembela Tanah Air (PETA) di Cimahi (Sadiah, 2018). Saat berada di Garut, Arudji pernah menerbitkan surat kabar Bala Tentara Islam yang berfokus pada kegiatan Sarekat Islam.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Arudji Kartawinata diangkat menjadi Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Barat, yang kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi III Jawa Barat. Seluruh kegiatan Arudji Kartawinata juga mendapat dukungan dari sang istri, Sumarsih Subiyati atau lebih dikenal sebagai Yati Arudji. Yati Arudji aktif dalam berbagai gerakan perempuan mulai dari Laskar Wanita Indonesia (Laswi) (Putri, 2020), hingga menjadi anggota Yayasan Ibu Sukarno yang digagas oleh Fatmawati (Putri, 2020; Isnaeni, 2015).
Sepak terjang Arudji di dunia politik mulai terlihat sejak pertengahan dekade 1930-an ketika ia bersama W. Wondoamiseno memainkan peranan penting dalam pembentukan kembali PSII. Pada 1947, Arudji Kartawinata dan W. Wondoamiseno mengkritik sikap Masyumi yang dinilai terlalu berkompromi terhadap Belanda dan pada tahun yang sama, PSII memutuskan untuk keluar dari Masyumi. Menurut Kahin (1980) keputusan itu merupakan pilihan politik Arudji Kartawinata dan W. Wondoamiseno. Setelah keluar dari Masyumi, PSII memberikan dukungan penuh terhadap pembentukan kabinet baru pimpinan Amir Syarifudin dan PSII mendapatkan dua kursi dalam kabinet yang tentu sangat menguntungkan (Hidayat & Gumilar, 2016).
Pasca-Pemilu 1955, Arudji Kartawinata terpilih menjadi anggota DPR-GR. Selama menjadi Ketua DPR GR Arudji sering berkunjung ke luar negeri dalam rangka kunjungan kenegaraan, seperti ke Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina (RRC) dan Singapura. Mengutip The Canbera Times 7 Juni 1965, saat di RRC Arudji menyampaikan pidato tentang “bom atom” Cina yang memiliki kesamaan dengan “bom atom” Indonesia, yaitu bertujuan untuk memperjuangkan rakyat Asia dan Afrika. Sementara itu, kunjungan Arudji ke Amerika Serikat salah satunya adalah untuk mengamati Pemilihan Umum Presiden yang tentu berpengaruh terhadap hubungan Indonesia dan Amerika Serikat pada saat itu sebagaimana disinggung dalam sebuah artikel yang dirilis oleh The Straits Times berjudul “Praise for Tengku’s West Irian Efforts”. Dua uraian tersebut secara tersirat menggambarkan sikap Arudji yang mementingkan kepentingan rakyat. Konsistensi Arudji dalam memperjuangkan rakyat tersirat dalam pidato-pidatonya ketika menjadi dewan perwakilan, baik DPR RIS maupun DPR-GR.
Pada 13 Januari 1966, Arudji menyampaikan tuntutan kepada Presiden Sukarno mengenai pembubaran PKI, perombakan Dwikora, penurunan harga, dan perbaikan sandang-pangan. Tuntunan itu berarti dukungan terhadap Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Oleh karena alasan itulah Arudji diberhentikan dari perannya sebagai ketua DPR-GR pada Februari 1966. Arudji kemudian hanya menjadi anggota DPR-GR biasa (Isnaeni, 2015). Meskipun telah diberhentikan, Arudji tetap konsisten dengan pendiriannya. Hal itu tersirat dalam pidato serah terima jabatan dengan penggantinya, yaitu I Gusti Subamia. Arudji menyatakan bahwa DPR-GR selalu menjadi barometer perjuangan massa. Oleh sebab itu, pada momen penyerahan jabatan yang terjadi setelah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S), Arudji Kartawinata mencoba mengakomodasi keinginan rakyat, yaitu dengan menonaktifkan sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Keputusan itu ditegaskan olehnya bukan merupakan keputusan pribadi, melainkan telah melalui musyawarah (Daily Report, Foreign Radio Broadcasts, 1966).
Pada masa Orde Baru, Arudji diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari 1968 (Isnaeni, 2015). Pada 1970, Arudji menderita sakit radang otak hingga wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Penulis: Rafngi Mufidah
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Sadiah, S. (2018). Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri" Sultan Maulana Hasanuddin" Banten).
“China’s Bomb ‘Our Bomb’”. 7 Juni 1965. The Canberra Times.
“Praise for Tengku’s West Irian Efforts.” 12 Desember 1960. The Straits Times.
Daily Report, Foreign Radio Broadcasts. (1966). United States: (n.p.).
Putri, Khaira Ummah Junnaedi. 17 Agustus 2020. Laswi, Aksi Perempuan Sunda yang Bikin Ngeri Penjajah Belanda. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200817085552-269-536435/laswi-aksi-perempuan-sunda-yang-bikin-ngeri-penjajah-belanda pada 26 Oktober 2021.
Isnaeni, Hendri F. 21 April 2015. Yati Arudji Menjembatani Gerwani dan Islam. Diakses dari https://historia.id/politik/articles/yati-aruji-menjembatani-gerwani-dan-islam-P1BxW/page/1 pada 25 Oktober 2021.
Risalah perundingan. (1950). Indonesia: Dewan Perwakilan Rakjat.
Hidayat, A. A., & Gumilar, S. (2016). Friction in MASYUMI: A Historical Studies on Internal Conflict Event of Islamic Party in Indonesia, 1945-1960. TAWARIKH, 8(1).