Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa Islam yang berdiri pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta. Lafran Pane (lahir 1922) menjadi inisiator pendirian bersama beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta. Mereka bekerja sama mendirikan HMI setidaknya karena beberapa alasan: 1) adanya kebutuhan penghayatan keagamaan di kalangan mahasiswa Islam di peguruan tinggi yang cenderung tidak mengintegrasikan disiplin ilmu umum dengan agama; 2) tuntutan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan; 3) situasi umat Islam yang terpecah belah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik di tengah-tengah umat yang miskin dan bodoh; 4) Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang berdiri pada 1946, cenderung berorientasi sekuler, menjadi sayap partai sosialis, dan bahkan berhaluan komunis sehingga jauh dari nuansa spiritual; dan 5) adanya STI yang selain menghimpun potensi mahasiswa Islam juga mengembangkan pemikiran modern yang berorientasi pembaruan. STI diharapkan menjadi basis gerakan dalam mewujudkan cita-cita mengubah kondisi umat muslim dan bangsa Indonesia (Sitompul 1986: 69-70).
Hal ini yang menjadi prinsip dasar dan nilai perjuangan HMI, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajar rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam. Gagasan ini selanjutnya menjadi tujuan HMI seperti tercatat dalam Anggaran Dasar (AD) HMI pasal IV hasil kongres pertama di Yogyakarta pada 30 November 1947, yaitu: 1) Mempertegak dan mengembangkan ajaran Islam; dan 2) Mempertinggi derajat rakyat dan negara Republik Indonesia (Sitompul 1995: 246). Rumusan gagasan tersebut sangat orisinal dan istimewa—mengetengahkan dialektika wacana kebangsaan dan keislaman yang telah dibahas tokoh-tokoh muslim seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan M. Natsir sejak awal abad ke-20. Kelahiran HMI menandakan terjadinya transmisi tradisi politik dan intelektual muslim Indonesia. Melalui HMI diharapkan identitas dan komitmen keislaman mahasiswa muslim terjaga (Latif 2005: 423-25).
Ketua HMI pertama adalah Lafran Pane (bertugas sejak Februari 1947). Pada 22 Agustus 1947 M.S. Mintaredja (lahir 1921) mengantikan posisi Lafran Pane sebagai ketua HMI dengan wakil ketua Achmad Tirto Sudiro (lahir 1922), keduanya berasal dari UGM. Pergantian ini dimaksudkan agar HMI mampu menarik jumlah anggota yang lebih besar dari mahasiswa-mahasiswa non-STI (Latif 2005: 427). Jika di awal pendirian HMI hanya memiliki 4 cabang dengan jumlah anggota sebanyak 8 orang, pada 1969 jumlah cabang HMI berkembang pesat menjadi 110 cabang dengan ratusan ribu anggota (Sitompul 2002: 220).
Pada perjalanannya HMI mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, ditandai dengan kesiapan organisasi ini merespons berbagai tantangan yang juga dihadapi bangsa Indonesia, seperti Madiun Affair (1948), Agresi Militer Belanda (1949), Perlawanan terhadap organisasi underbouw PKI yakni Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) 1960-1965, Pemberontakan G30/S (1965), termasuk Azas Tunggal Pancasila (1985) yang membuat internal HMI terbelah menjadi dua kelompok: HMI Dipo (diambil dari nama jalan sekretariat PB HMI) dan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI.
Serangkaian tantangan tersebut tidak menyurutkan langkah HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam yang menjadi basis gerakan perjuangan, ruang kaderisasi, laboratorium demokrasi, penguatan konstituen Islam, serta perumusan ide dan gagasan keagamaan. HMI kokoh sebagai sebuah organisasi, bertransformasi menjadi kekuatan kelas menengah muslim yang berkontribusi dalam pembangunan dan kemajuan bangsa, terutama melalui kerja-kerja birokrasi dan pemerintahan, Selain melahirkan kelompok aktivis muslim berpendidikan Barat, produktif berkarya, dan memperoleh rekognisi internasional, HMI juga tercatat berhasil membentuk kelompok aktivis muslim yang concern dalam agenda peningkatan kesejahteraan; menjadi pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Hal ini sesuai dengan cita-cita awal HMI, membentuk manusia-manusia muslim yang berkepribadian integral dan konsisten, yaitu pribadi ulama-intelek dan intelek-ulama sekaligus sehingga mampu beramal ilmiah dan berilmu amaliah (Madjid, Majalah Panji Masyarakat, 1967).
Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa, Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-2. Bandung, Mizan, 2005
Madjid, Nurcholish, 1967, “20 Tahun HMI Berjuang” Majalah Panji Masyarakat, No.11, Maret 1967).
Sitompul, Agussalim. 1976. Sejarah Perjuangan HMI Tahun 1947-1975. Surabaya: Penerbit Bina Ilmu.
________________ 1986. Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam dan Relevansinya dengan Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: Integrita Dinamika Press.
________________ 1995. Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993. Jakarta: Misaka Galiza.
________________ 2002. Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997). Jakarta: Logos.
Sudjoko Prasodjo, 1957. Majalah Media Nomor 7 Tahun III.