Lafran Pane

From Ensiklopedia
Lafran Pane - Arsip Keluarga

Lafran Pane adalah aktivis pergerakan dan salah seorang tokoh pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia lahir pada di Padangsidimpuan dari pasangan Sutan Pangaruban Pane dan Gonto Boru Siregar. Ayahnya adalah seorang wartawan dan penulis yang juga pengusaha dan aktivis politik Partai Indonesia (PARTINDO) di daerah Sumatra Utara. Pane tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim. Neneknya adalah adik kandung dari Syekh Badurrahman Pane, ulama besar dan karismatik di Sipirok. Keluarga Lafran juga tercatat sebagai keluarga sastrawan dan seniman. Kedua kakak kandungnya, Sanusi Pane (1905-1968) dan Armijn Pane (1908-1970) merupakan tokoh sastrawan Indonesia.

Sejak remaja hingga menjelang dewasa, Lafran menjadi  anak yang mandiri dan cenderung menjadi ‘pemberontak’. Saat berumur dua tahun sang Ibu wafat, membuatnya kehilangan kasih sayang seorang Ibu. Ia menjalani pendidikan dasar tidak hanya di sekolah bercorak agama (pesantren dan sekolah Muhamadiyah) tapi juga yang bercorak nasionalis (Taman Antara di Siporok, Taman Siswa di Medan, dan Taman Dewasa Raya di Jakarta). Situasi penjajahan yang melanda Indonesia membuatnya hidup berpindah-pindah mengikuti sang Ayah bertugas, termasuk dalam urusan pendidikan. Lafran sering berpindah sekolah ketika ia tinggal di Sibolga, Sipirok, Medan, maupun di Jakarta, dan beberapa kali gagal menyelesaikannya hingga akhir. Namun di setiap sekolah yang pernah dimasukinya, Lafran dikenal sebagai sosok murid yang cerdas meskipun sering berbuat nakal.

Sebagai pribadi mandiri, Lafran terbiasa mencari nafkah untuk menyambung hidup, baik dengan menjajakan karcis bioskop hingga menjual es lilin (Sitompul, 2002: 46). Ia juga tercatat pernah bekerja di kantor Statistik Jakarta, menjadi pemimpin umum Apotek Bavosta. Karena kemahirannya berbahasa Jepang, Lafran pernah diminta bekerja di perusahaan semi-pemerintah (Prasodjo, 1957; Sitompul, 1995: 41).

Pengalaman hidup sejak kecil membuat Lafran tumbuh sebagai pribadi independen. Independensi Lafran tidak terletak pada netralitas keilmuannya, tidak pula pada pandangan keagamaannya, tetapi pada sikap kritis dan etisnya dalam memandang berbagai persoalan dengan tetap berupaya mencari kebenaran. Sebagai pencari sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak ia lalui dengan ‘normal’ dan ‘lurus’ (Azra, 2002: xiv).

Setelah mengenyam pendidikan dasar dan menengah, pada 1947 Lafran melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sejak 20 Mei 1948 berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Di STI Lafran bersentuhan dengan ide-ide keislaman modern melalui dosen-dosennya seperti Prof. KH. Abdul Kahar Muzakar, Husein Yahya, Fathurrahman Kafrawi, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, dan H.M. Rasjidi. Pergumulan dengan ide-ide modernisme Islam berlanjut ketika Lafran berpindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) Yogyakarta yang pada 19 Desember 1949 terintegrasi ke dalam Universitas Gadjah Mada (UGM). Di UGM Lafran tercatat sebagai sarjana ilmu politik pertama yang lulus pada 26 Januari 1953. Meski mendalami ilmu politik, Lafran tetap bergumul dengan berbagai wacana keagamaan yang menjadikannya sebagai pribadi akademis penuh semangat dan idealisme.

Menjaga idealisme menjadi prinsip yang dijaga Lafran sejak remaja, baik ketika ia bergabung di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) bersama D.N. Aidit saat ia masih berada di bangku SLTA, maupun ketika Lafran telah berstatus mahasiswa. Lafran turut menginisiasi kelahiran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947 bersama dengan Kartono Zarkasy, Dahlan Husein, Siti Zainah, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Gozali, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, zulkarnaen, dan Mansyur (Sitompul, 1976: 23)

Gagasan awal Lafran untuk mendirikan HMI yaitu “mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam.” Rumusan gagasan yang selanjutnya menjadi tujuan HMI tersebut sangat orisinal dan istimewa—mengetengahkan dialektika wacana kebangsaan dan keislaman yang telah dibahas tokoh-tokoh muslim seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan M. Natsir sejak awal abad ke-20. Kelahiran HMI pada gilirannya menandakan terjadinya transmisi tradisi politik intelektual muslim Indonesia. Melalui HMI, Lafran menjaga identitas dan komitmen keislaman, menyediakan lahan persemaian bagi para pemimpin Islam masa depan (Yudi Latif, 2005: 423-25).

Lafran menjadi Ketua HMI pertama (Februari 1947) sebelum digantikan oleh M.S. Mintaredja (lahir 1921) pada 22 Agustus 1947 dengan wakil ketua Achmad Tirto Sudiro (lahir 1922), keduanya berasal dari UGM. Pergantian ini dimaksudkan agar HMI mampu menarik jumlah anggota yang lebih besar dari mahasiswa-mahasiswa non-STI (Yudi Latif, 2005: 427).

Setelah berhasil memperkuat prinsip dasar organisasi HMI dan membuat organisasi ini semakin dikenal luas oleh publik, Lafran kembali ke dunia pendidikan, menjadi pengajar yang bersahaja. Ia tinggal di Jalan Sosrowijayan 80 Yogyakarta di sebuah rumah kecil nan asri dengan hiasan bunga, termasuk tetumbuhan kaktus, di halaman yang tertata rapi (Prasodjo, 1957; Sitompul, 1995: 43). Bentuk kebersahajaannya terjaga hingga ia berusia lanjut. Ia tidak pernah memiliki mobil pribadi, dan hanya menggunakan sepeda onthel untuknya pergi mengajar.

Ketimbang bergabung dalam gemerlap dunia politik Lafran memilih untuk konsisten mengembangkan pendidikan bagi generasi muda berlandaskan pada semangat perjuangan nasional. Tentang hal ini ia menulis,

“Biarpun kita sudah merdeka, sudah mempunyai negara nasional, peninggalan akibat dari penindasan dan pendidikan Belanda itu tidaklah akan hilang lenyap begitu saja, terutama orang-orang yang melulu mengecap pelajaran dan pendidikan di sekolah Belanda. Dan itu mungkin baru hilang dengan pendidikan yang teratur dan keinsyafan, bahwa Belanda itu tidaklah lebih tinggi dari bangsa kita. Jadi tidaklah cukup dengan mulut saja, atau ditulis di atas kertas.” (Lafran Pane, 1949)

Pendidikan baginya perlu terus dikembangkan dengan memperkuat literasi. Hal ini ia praktikkan sejak muda. Banyak buku ia baca, ia analisis dan dijadikan acuannya untuk memahami persoalan yang terjadi di sekitarnya. Semangat belajarnya sangat tinggi; ia akan beristirahat tepat jam sembilan malam dan kembali membaca setelah bangun dan shalat Subuh. Bahkan menjelang ujian doktoral lengkap, ia rutin belajar hingga pukul sepuluh malam dengan tetap bangun sebelum waktu Subuh tiba (Prasodjo, 1957; Sitompul, 1995: 43).

Lafran dinobatkan sebagai Guru Besar (Profesor) Ilmu Tata Negara di IKIP Yogyakarta berdasarkan Keputusan Presiden 1 Desember 1966. Usul pengakatannya sebagai Guru Besar disampaikan pada 1 September 1964 namun pidato pengukuhannya baru terlaksana di hadapan Sidang Senat Terbuka IKP Yogyakarta pada 16 Juli 1976, dengan judul Perubahan Konsitusional (Sitompul, 1995:43). Sebelum menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1988-1993, ia pernah dipercaya sebagai Pembantu Dekan FKIS IKIP Yogyakarta, Pengurus Badan Wakaf UII Yogyakarta.

Ia menikah dengan Martha Dewi pada 6 Oktober 1951. Dari pernikahannya dengan perempuan asal Krui Lampung ini Lafran dikarunia tiga orang anak: Toga Fachruddin Pane, Muhammad Iqbal Pane, dan Tetti Sari Rakhmiati Boru Pane (Prasodjo, 1957; Sitompul, 1995: 42). Setelah istri pertamanya meninggal, Lafran menikah untuk kedua kalinya dengan Bisromah pada awal 1990.

Pada awal Januari 1991 Lafran Pane mulai mengalami sakit yang mengharuskannya diopname di rumah sakit Sarjito Yogyakarta. Hanya beberapa waktu ia bertahan sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 25 Januari 1991. Beberapa saat sebelum jenazah Lafran dimakamkan, Tetty Sari Rakhmiati (putri bungsu) didampingi M. Iqbal (putra) dan Martha Dewi (istri), membuka sebuah rahasia bahwa Lafran dilahirkan di Padangsidempuan pada 5 Februari 1922, namun untuk menghindari pengidentikan HMI dengan dirinya—Lafran tak ingin HMI identik dengan siapapun—ia mengubah secara administratif tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923 (Sitompul, 2002: 37)

Atas Berbagai jasa yang diberikan kepada bangsa Indonesia; menanamkan semangat bela negara, rasa cinta tanah air, dan semangat persatuan kepada kelompok mahasiswa dan masyarakat secara umum—Lafran dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, tanggal 6 November 2017.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa, Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-2. Bandung, Mizan, 2005

Sitompul, Agussalim. 1976. Sejarah Perjuangan HMI Tahun 1947-1975. Surabaya: Penerbit Bina Ilmu.

________________ 1995. Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993. Jakarta: Misaka Galiza.

________________ 2002. Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997). Jakarta: Logos.

Sudjoko Prasodjo, 1957. Majalah Media Nomor 7 Tahun III.