Kabinet 100 Menteri

From Ensiklopedia
Pelantikan Kabinet Dwikora II oleh Presiden Sukarno, 24 Februari 1966. (http://civitasbook.com Foto ke. 72, diakses 11 Juli 2022)


Kabinet 100 Menteri adalah nama untuk kabinet yang dipimpin Sukarno dalam merespons krisis sosial, ekonomi, dan keamanan akibat perlawanan terhadap kepemimpinannya pasca-Gerakan 30 September 1965. Kabinet ini dikenal dengan “Kabinet Dwikora yang disempurnakan” atau “Kabinet Dwikora II”, yang beranggotakan lebih dari 100 menteri, namun bagi pihak yang berseberangan dengan Presiden dinamai “Kabinet Gestapu” (Poesponegoro 1984: 409; Satari 1991: 565). Masa tugas kabinet ini berlangsung singkat, dari 24 Februari 1966 hingga 27 Maret 1966.

Pasca-peristiwa G30S, khususnya antara Oktober 1965-Maret 1966, kalangan pemuda pelajar dan mahasiswa melakukan banyak aksi demontrasi memprotes berbagai program pemerintah yang dianggap menyengsarakan rakyat. Pelajar dan mahasiswa menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI, dan turunkan harga/perbaikan ekonomi (Poesponegoro 1984: 404). Pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Sukarno melakukan reshuffle Kabinet Dwikora I dengan mempertahankan tokoh-tokoh PKI dan simpatisannya, seperti Subandrio, Surachman, Oei Tjoe Tat, Suryadarma, Sudibjo, dan lain-lain. Beberapa tokoh penentang PKI, seperti Jenderal A.H. Nasution, Martadinata, Arudji Kartawinata, Artati Marzuki, dan lain-lain justru tidak masuk dalam kabinet (Gie 1995: 9-10 ). Hal ini menimbulkan kekecewaan para mahasiswa, masyarakat dan pihak Angkatan Bersenjata  anti komunis.

Presiden dalam pelantikan Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966) menegaskan kepada anggota kabinetnya untuk menciptakan landasan yang kuat dan luas untuk bertahan, serta mengefektifkan perjuangan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya (Setiyono & Triyana eds. 2014: 446; Toer & Prasetyo, eds. 1995: 203).  Sebaliknya para pelajar dan mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang sejak Januari 1966 melakukan protes keras atas kebijakan kenaikan harga BBM dan harga bahan pokok, kembali turun ke jalan untuk menggagalkan acara pelantikan. Namun, acara pelantikan tetap berlangsung, bahkan seorang mahasiswa UI, Arief Rahman Hakim (anggota KAMI) gugur terkena peluru Pasukan Pengamanan Presiden “Tjakrabirawa” (Gie 1995: 11).

Sukarno menafsirkan aksi-aksi para demonstran sebagai upaya mendongkelnya dari jabatan Presiden. Ia kemudian membentuk “Barisan Sukarno”. Pimpinan Angkatan Darat (ABRI) menyatakan seluruh rakyat adalah Barisan Sukarno, sehingga tidak diperlukan adanya pembentukan Barisan Sukarno secara fisik. ABRI dan Front Pancasila mendukung Tritura sebagai jalan untuk penyelesaian politik. Untuk mengatasi krisis politik yang makin tidak menentu, maka Sukarno mengundang Front Pancasila untuk bertemu bersama wakil-wakil partai, NU, PSII, IPKI, Perti, Partai Katolik, Parkindo, PNI-Asu, Partindo, dan Muhammadiyah pada tanggal 10 Maret 1966. Pertemuan ini tidak memuaskan kedua pihak, karena permintaan pembubaran PKI tidak dipenuhi (Poesponegoro 1984: 411).

Sidang terakhir “Kabinet 100 Menteri” diadakan pada 11 Maret 1966. Para menteri diminta berkumpul di Istana pada sore hari tanggal 10, menginap semalam di guesthouse Istana. Sidang kabinet dipimpin langsung oleh Presiden. Presidium hadir lengkap, yaitu Soebandrio, Leimena, dan Chairul Saleh. Hampir semua menteri dari Angkatan Bersenjata hadir, kecuali Menteri Panglima Angkatan Darat Mayjen Soeharto (Toer eds. 1995: 205). Presiden tidak sampai pada pengumunan tentang penyelesaian tuntas G30S, karena ada informasi terkait keamanan presiden, sehingga meninggalkan ruang sidang. Bertempat di Istana Bogor, Presiden kemudian mengeluarkan “Surat Perintah 11 Maret” (dikenal dengan Supersemar), yang memberikan kebebasan bertindak bagi Soeharto mengatasi situasi dan kondisi keamanan. Pada bulan Maret 1967, dalam sidang MPRS, Sukarno dibebaskan dari semua kekuasaan dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden. Bangsa Indonesia berada di bawah Orde Baru.

Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan

Referensi

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI.  Edisi ke-4. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-PN Balai Pustaka

Setiyono, Budi & Bonnie Triyana (Eds.). 2014. Revolusi Belum Selesai Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Gie, Soe Hok. 1995. Zaman Peralihan.  Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Toer, Pramoedya Ananta dan Prasetyo, Stanley Adi, (Eds.). 1995. Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Sukarno. Jakarta: Hasta Mitra.