Maklumat No. X Tahun 1945
Maklumat No. X yang dikeluarkan Wakil Presiden Muhammad Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 merupakan dekrit tentang perubahan status Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari badan pembantu presiden menjadi badan legislatif (Soejono dan Leiriza, 2019: 163). Terbitnya Maklumat No. X merupakan peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pada awal kemerdekaan. Maklumat No. X adalah langkah pertama menuju perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer.
Terbitnya Maklumat No. X dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketidakpuasan kalangan pemuda, terutama kelompok Sutan Syahrir, terhadap pemerintahan Sukarno yang cenderung totaliter. Kelompok pemuda juga tidak puas dengan susunan kabinet yang didominasi politisi tua yang pernah bekerja sama dengan Jepang (Kahin 2013: 219). Ketidakpuasan itu memunculkan suatu konsensus di kalangan anggota muda KNIP bahwa pemerintahan yang totaliter dan aristokratis harus diakhiri, dan cara mengakhirinya hanya dapat dilakukan dengan merombak pemerintahan (Anderson, 1988: 198). Untuk mencapai tujuan tersebut, lima puluh anggota KNIP menandatangani petisi yang menuntut agar KNIP diberi kekuasaan legislatif, dan menteri kabinet harus bertanggung jawab kepada KNIP, bukan kepada presiden. Petisi itu diserahkan kepada Sukarno pada tanggal 7 Oktober 1945 (Kahin 2013: 220; Mrazek 1996: 487).
Pada dasarnya Sukarno dan Muhammad Hatta tidak menentang perubahan status KNIP, dan bersedia untuk memenuhi tuntutan petisi (Kahin 2013: 220). Pada sidang KNIP tanggal 16 Oktober 1945, Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat No. X, sebuah keputusan yang memberikan KNIP kekuasaan legislatif bersama dengan presiden. Isi maklumat menyatakan “bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Madjelis Permusjawaratan Rakjat dan Dewan Perwakilan Rakjat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara, serta menjetudjui bahwa pekerdjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnja keadaan didjalankan oleh sebuah Badan Pekerdja jang dipilih diantara mereka dan jang bertanggung djawab kepada Komite Nasional Pusat” (Anderson, 1988: 201). Berdasarkan isi maklumat, dapat dikatakan bahwa kekuasaan Presiden Sukarno telah berkurang karena ia harus membangi kekuasaan yang dimilikinya bersama dengan KNIP.
Sesuai dengan keputusan Maklumat No. X, Badan Pekerja dalam KNIP dibentuk pada tanggal 17 Oktober 1945. Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin, dua tokoh terkemuka Republik yang anti-Jepang, masing-masing ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua. Mereka memilih 13 orang dari anggota KNIP untuk menjadi anggota Badan Pekerdja. Semua anggota yang mereka pilih merupakan pendukung kuat mereka (Kahin, 2013: 220). Dengan terbentuknya Badan Pekerja, maka kekuasaan politik dari KNIP yang terlalu besar segera bergeser ke Badan Pekerja yang lebih kecil dan efisien (Mrazek 1996: 487). Kebijakan-kebijakan Badan Pekerja di bawah kepemimpinan Sutan Syahrir cenderung mengarahkan pada perubahan pemerintahan ke sistem parlementer. Pada tanggal 11 November 1945, kabinet menjadi bertanggung jawab kepada KNIP, dan bukan lagi kepada presiden. Akhirnya, pada tanggal 14 November 1945 dibentuklah suatu kabinet baru yang dipimpin oleh Syahrir sebagai perdana menteri (Ricklefs 2007: 439-440).
Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Anderson, Ben. (1988) Revolusi Pemuda: pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa. 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kahin, Goerge McTurnan. (2013) Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Mrazek, Rudolf. (1996) Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricklefs, M.C. (2007) Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Soejono, R.P dan Leirissa, R.Z. (2019) Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (±1942-1998), Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.