Margono Djojohadikoesoemo

From Ensiklopedia
Margono Djojohadikoesoemo. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L0919


Margono Djojohadikoesoemo (selanjutnya ditulis Margono) merupakan seorang tokoh yang dikenal sebagai ekonom Indonesia baik masa penjajahan maupun ketika Indonesia memasuki era awal pemerintahan republik. Margono lahir di Purbalingga pada tanggal 16 Mei 1894. Margono merupakan cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyakwide atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Banyakwide, pengikut setia dari Pangeran Diponegoro, dan anak dari asisten Wedana Banyumas (Parakitri, 2006: 541). Sebagai salah satu keturunan bangsawan, Margono mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih bagus, terbukti ketika berumur enam tahun, pada tahun 1900 beliau mengenyam pendidikan dasar Europeesche Lagere School (ELS) dan berhasil menamatkan pendidikan  dasarnya pada tahun 1907. Setelah lulus dari ELS, Margono kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah calon pegawai negeri atau Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Sebelum memasuki OSVIA, Margono berhasil lulus ujian masuk yang dikenal dengan klein ambtenaar dan Margono berhasil menyelesaikan pendidikan di OSVIA selama empat tahun (Sugiarta, 1994: 23). Tidak hanya mengenyam pendidikan tersebut, sebagai seorang yang tertarik di bidang ekonomi khususnya  perkreditan dan koperasi, Margono kemudian melanjutkan pendidikannya di Belanda (Sugiarta, 1994: 83).

Setelah menyelesaikan pendidikannya di OSVIA pada tahun 1911, Margono bekerja sebagai juru tulis di Banyumas dan beberapa bulan kemudian diangkat menjadi juru tulis Asisten Wedana Banyumas di Pejawaran. Tahun berikutnya Margono diangkat menjadi juru tulis di kantor kejaksaan di Cilacap. Akan tetapi, sebelum Margono berpindah ke Cilacap, beliau sempat melamar pekerjaan pada dinas Volkscredietwezen. Beberapa bulan menjadi juru tulis di Cilacap, Margono mengikuti pelatihan sebagai pejabat Volkscredietwezen sebagai jawaban atas lamarannya di Purworejo (Sugiarta, 1994: 44).

Sewaktu di Purworejo pada tahun 1915, ketika memasuki umur 21 tahun, Margono menikahi Siti Katoemi Wirodihardjo (Soemitro, 2000: 4). Dari pernikahan ini, Margono dan Siti dikaruniai lima orang anak yakni Soemitro Djojohadikoesoemo, Soekartini Djojohadokoesoemo, Miniati Djojohadokoesoemo, Subianto Djojohadokoesoemo, dan Sujono Djojohadokoesoemo. Subianto dan Sujono adalah anak-anak Margono yang gugur dalam pertempuran Lengkong bersama Daan Mogot.

Setelah menyelesaikan pelatihan di Purworejo, Margono diterima sebagai pegawai di Dinas Perkreditan Rakyat. Sebulan kemudian, jabatan Margono naik dan menduduki jabatan yang hanya dijabat oleh orang Belanda di Madiun. Dari Madiun ia dipindahkan ke Malang dan pada tahun 1930 dipindahkan ke Jakarta bekerja di kantor besar Algemene Volkscredietbank. Di kantor yang baru, Margono bertugas membantu mengatur Jawatan Koperasi yang baru diciptakan saat itu (Sugiarta, 1994: 46).

Keberhasilan Margono dalam tugasnya membuat pejabat Hindia Belanda mengirimnya ke Belanda untuk membantu pada Kementerian Urusan Jajahan pada tahun 1937. Margono menduduki jabatan pada bagian urusan kesejahteraan yang tugas khususnya adalah mempelajari berbagai laporan dari pemerintah Hindia Belanda. Setelah mengemban tugas di Belanda, kemudian Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda memanggilnya pulang karena keterbatasan tenaga. Pekerjaan ini ia emban hingga Indonesia diduduki oleh Jepang pada tahun 1942.

Ketika Hatta dibebaskan dari pengasingan di Banda Neira, kemudian Hatta memanggil Margono untuk bekerja di kantor koperasi yang dipimpin oleh Hatta. Pemanggilan Margono karena ilmunya tentang koperasi dan perkreditan rakyat telah mumpuni. Bekerja dengan nasionalis seperti Hatta memupuk jiwa nasionalis Margono. Akan tetapi, Margono tidak lama bekerja dengan Hatta. Setelah pemerintah Jepang mengganti dinas Volkscredietbank dengan Shomin Ginko (Bank Rakyat). Selama menjabat masa pendudukan Jepang, Margono tidak hanya mengurusi masalah perkreditan, akan tetapi juga mengurusi masalah pangan seperti penyimpanan bahan makanan atau mengurusi lumbung makanan dari petani. Tidak lama menjabat sebagai pegawai di Shomin Ginko, Margono diminta untuk membantu Mangkunegara VII untuk bekerja kepada Keraton Mangkunegaran guna membentuk Departemen Perekonomian. Tugas yang diemban ketika bekerja di Keraton Mangkunegaran adalah penyediaan bahan makanan, penyuluhan terhadap petani, mengurus jawatan peternakan, dan mengawasi rumah-rumah gadai. Bertugas mengawasi penyediaan bahan makanan masa Jepang adalah hal yang sangat berat karena banyak hasil pertanian rakyat yang harus diserahkan kepada Jepang. Atas dasar itu, Margono kemudian memanipulasi pasukan Jepang terkait hasil pertanian agar rakyat tetap aman persediaan bahan makanannya. Pada Juli 1945, atas usul Hatta, Margono kembali dipanggil ke Jakarta untuk bekerja pada kantor pusat pengawasan bahan makanan bersama dengan Mr. A.K. Pringgodigdo. Pekerjaan ini berlanjut hingga Jepang menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan (Sugiarta, 1994: 52-53).

Tidak lama setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, guna menyempurnakan struktur kenegaraan, beberapa lembaga dibentuk untuk membantu presiden dan wakil presiden di pemerintahan. Salah satu lembaga yang  dibentuk adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dimana Margono ditunjuk sebagai ketua. Margono selama menjabat sebagai ketua DPA bertugas memberikan nasihat kepada pemerintahan. Jabatan Ketua DPA yang diemban Margono tidak berjalan lama, kemudian posisinya ditukar menjadi anggota. Setelah itu kemudian pada tahun 1946, Margono membentuk Bank Negara Indonesia. Ketika pemerintah Indonesia hijrah ke Yogyakarta, Margono pun turut memindahkan BNI kesana. Pada 26 Januari 1946, ketika sehabis memimpin rapat tentang distribusi bahan makanan, ia mendapat kabar bahwa anaknya Sujono dan Subianto gugur dalam pertempuran dengan pasukan Jepang di Tangerang yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Lengkong.

Ketika Indonesia berusaha berjuang secara diplomasi untuk mendapat pengakuan secara de facto dari negara lain, Margono terlibat didalamnya. Salah satu usaha diplomasi yang dilakukan oleh Perdana Menteri Sjahrir adalah pengiriman beras ke India. Mengingat disamping menjabat sebagai direktur BNI, Margono juga berperan sebagai pejabat yang mengurusi masalah persediaan pangan bagi rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, keterlibatan Margono dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah ketika Margono menyelamatkan aset BNI berupa emas seberat  tujuh ton saat Belanda melancarkan Agresi Militer II  pada tahun 1948. Saat itu Margono berhasil  menjual emas ke Macau dan hasil penjualan diperuntukkan bagi perjuangan Indonesia, yakni masalah penyediaan bahan pangan, biaya diplomasi, serta persediaan perang melawan Belanda. Peran Margono masih berlanjut hingga Indonesia mencapai pengakuan secara de facto maupun de jure setelah dilakukannya perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada tahun 1950, Margono membentuk Yayasan Hatta yang bergerak dibidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Tujuan dibentuknya yayasan tersebut adalah untuk meningkatkan kecerdasan penerus bangsa kedepannya. Margono Djojohadikusumo meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1978 di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Dawuhan, Banyumas, Jawa Tengah (Sugiarta, 1994: 59-66).

Penulis: Handoko


Referensi

Djojohadikoesoemo, Soemitro, 2000, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Simbolon, Parakitri Simbolon, 2006, Menjadi Indonesia, Vol. 1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sriwibawa, Sugiarta, 1994, 100 Tahun Margono Djojphadikoesoemo, Jakarta: UI Press dan Yayasan Hatta.